Pangeran Bernhard
tahun 1950 mau mengkudeta Sukarno

 

Hal ini diungkapkan dalam buku yang baru diluncurkan di Den Haag, Belanda
pada 30 November 2009.

Buku dengan judul “ZKH. Hoog spel aan
het hof van Zijne Koninklijke Hoogheid” (Permainan Tinggi di Istana Kerajaan
Yang Mulia) ditulis oleh jurnalis Jort Kelder dan sejarawan Harry Veenendaal, 
berdasarkan catatan harian dari I.Gerrie
van Maasdijk.

Maasdijk pernah menjadi staf dari Pangeran bernhard.

Bernhard berkeinginan
menjadi Raja Muda (Viceroy) di
Indonesia, seperti halnya Lord Mountbatten, yang di akhir tahun 40-an menjadi 
Raja
Muda di India.

Hal ini terungkap dalam
surat-surat dari pangeran Bernhard yang ditujukan antara lain ke Jenderal USA
Douglas MacArthur.

Dari pemeriksaan pasukan
elit kepolisian, Marrechaussee
(Marsose), juga terungkap, adanya kontak antara staf pangeran Bernhard dengan
Kapten Raymond Paul Pierre Westerling.

Sejarah mencatat, pada 23
Januari 1950 Westerling mencoba melakukan kudeta terhadap pemerintah Republik
Indonesia Serikat (RIS), yang baru menerima kekuasaan dari pemerintah Belanda
pada 27 Desember 1949.

Dalam kudeta yang gagal
tersebut, yang melibatkan pasukan elit Reciment
Speciaale Troepen (RST), yang juga melibatkan Sultan Hamid II, 94 anggota
TNI yang tak bersenjata, dibantai di Bandung, termasuk Letkol Lembong.

Setelah kudeta tersebut gagal, pemerintah RIS akan menangkap Westerling,
namun pimpinan tertinggi sipil dan militer Belanda terlibat konspirasi
menyelamatkan Westerling keluar dari Indonesia.

Pada waktu itu, Duta Besar Belanda untuk Amerika, van Kleevens mengatakan,
masyarakat di Amerika telah menuding kudeta Westerling itu digerakkan oleh “de 
zwarte hand van Nederland” (tangan
hitam dari Belanda).

Beberapa bulan yang lalu, sejarawan Belanda, Cees Fasseur, yang pernah menjabat
sebagai sekretaris tim antar departemen yang menyusun laporan pemerintah
Belanda tahun 1969, mengenai kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh tentara
Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, menyatakan, bahwa laporan
tersebut harus ditulis ulang karena banyak terdapat manipulasi di dalamnya.

Hasil penelitian yang dilakukan secara terburu-buru atas tuntutan pihak
oposisi di Tweedekamer (parlemen
belanda), disusun dalam laporan berjudul “Nota
betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië
begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”,
disingkat menjadi De Excessennota.
Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jongke parlemen belanda
pada 2 Juni 1969.

Dalam De Excessennota
dilaporkan sekitar 140 kejahatan yang dilakukan oleh tentara Belanda di
Indonesia, namun angka-angkanya dikecilkan. Misalnya,
pembantaian di Sulawesi Selatan, menurut Indonesia jumlahnya mencapai 40.000
orang, dalam laporan tersebut disenut hanya 3000 orang. Pembantaian di desa
Rawagede pada 9 Desember 1947, menurut penduduk desa Rawagede, korban
pembantaian adalah 431 orang, dalam laporan disebut hanya 20 orang.

Nama-nama komandan dan
pelakunya tidak ada yang disebutkan.

Bulan Mei tahun 2009,
terungkap nama komandan yang memerintahkan pembantaian di desa Rawagede, yaitu
Mayor Alfons Wijnen. Ternyata pada tahun 1948 dia mendapat
pengampunan (impunity) dari
pemerintah Belanda.

Pada bulan Juni 2009, tiga anggota parlemen
belanda, Harry van Bommel (Partai Sosialis), Martijn van Dam (PvdA) dan Mariko
Peters (GroenLinks)
mengajukan mosi, menuntut pemerintah Belanda meminta maaf atas pemberian
pengampunan tersebut. Namun pemerintah belanda menolak meminta maaf.

Pada 28 Oktober 2009, Heinrich
Boere, 88 tahun, mantan tentara Jerman, dimajukan ke pengadilan di Aachen,
Jerman, karena tahun 1944 di Belanda, dia membunuh 3 (!) orang pendudk sipil
belanda. Berarti setelah 65 tahun, kasusnya tidak kadaluarsa. Tahun 2009, telah
ada tiga orang mantan tentara Jerman, semuanya berusia di atas 85 tahun,
dimajukan ke pengadilan atas kejahatan perang yang mereka lakukan selama perang
dunia kedua antara tahun 1941 – 1945.

Di Internationa Criminal
Court (Pengadilan Kejahatan
Internasional) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda, ada 3 jenis kejahatan
yang tidak mengenal kadaluarsa, yaitu Genocide (pembantaian etnis), War Crimes 
(kejahatan perang) dan Crimes Against Humanity (kejahatan atas kemanusiaan).

Sangat menarik, apa lagi yang
akan terbongkar mengenai masa agresi militer belanda di Indonesia antara tahun
1945 – 1950.

Yang patut menjadi catatan,
semua hal tersebut dibongkar sendiri oleh jurnalis dan sejarawan orang Belanda.


Bahkan anggota parlemen
belanda juga bereaksi keras atas temuan-temuan tersebut.

Sementara itu, pembantaian
ratusan ribu rakyat Indonesia selama agresi militer belanda yang dilakukan
setelah usai perang dunia kedua, tidak ada yang mempedulikan, baik pemerintah
belanda, maupun pemerintah Indonesia.

Yang bereaksi hanya satu LSM
di Indonesia, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), yang dibantu oleh
beberapa anggota parlemen Belanda dan pers Belanda.

Apakah anggota DPR RI, para
diplomat RI, sejawawan dan jurnalis Indonesia tidur saja? Samasekali tidak
memberikan reaksi atas temuan-temuan baru di belanda sehubungan dengan masa 
agresi
militer belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950?

 

Terlampir di attachment berita dari Belanda, dan tulisan saya mengenai
pembantaian yang dilakukan oleh Westerling dan pasukannya dalam “kudeta
Westerling” pada 23 Januari 1950 yang gagal.

 

Batara R. Hutagalung

Weblogs:

http://batarahutagalung.blogspot.com

http://indonesiadutch.blogspot.com

 

 

======================================================

 

Motie van Harry van Bommel,
Martijn van Dam, Mariko Peters

 

overwegende, dat in de
politionele acties door sommige Nederlandse militairen

ernstige schendingen van
de mensenrechten onder de bevolking van

Indonesië zijn gepleegd,
zoals in december 1947 in
het dorp Rawagede op

Java;

 

overwegende, dat de
Nederlandse regering in augustus 2005 spijt heeft

betuigd over de
«pijnlijke en gewelddadige scheiding der wegen van

Indonesië en Nederland»
en betreurt dat het aan «de verkeerde kant van

de geschiedenis» terecht
is gekomen;

 

constaterende, dat de
Commissie van Goede Diensten van de Verenigde

Naties in 1948 heeft
geoordeeld dat de massamoord in Rawagede “opzettelijk en meedogenloos” was;

 

tevens constaterende,
dat op basis van recent vrijgekomen documenten niet alleen blijkt dat
Nederlandse militaire en politieke autoriteiten in 1948 op hoogte waren van het
oorlogsmisdrijf in Rawagede, maar toen ook besloten de verantwoordelijke
commandant van vervolging vrij te stellen;

 

van mening, dat deze
handelwijze uit het oogpunt van respectering van het internationaal recht zoals
dat toen gold en het huidige Nederlandse mensenrechtenbeleid te betreuren valt;

 

verzoekt de regering
excuses aan te bieden voor het niet vervolgen van de verantwoordelijke
militaire commandant van de massamoord in Rawagede

 

en gaat over tot de orde
van de dag.

 

Van Bommel

Van Dam

Peters

 

* i.v.m. wijziging in de
ondertekening

 


      

Kirim email ke