Siaran Pers Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) langkah mundur Jaminan Kesehatan Masyarakat Aceh. Gembar-gembor program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang di luncurkan oleh Pemerintah Aceh ternyata hanya “ pil pahit” bagi jamiman kesehatan masyarakat Aceh yang di kemas dengan pencitraan yang bagus seakan-akan JKA adalah segalanya. LABNA dari awal dimunculkanya program JKA ini telah menolak dengan tegas, bahkan surat menyurati I Badan Anggaran yang membahas anggaran SKPA Dinkes Aceh yang membahas Anggaran kesehatan, namun kepentingan dana aspirasi Dewan dan kepentingan politik telah mengalahkan kepentingan rakyat. Saat ini pemerintah Aceh melalui jajarannya sampai ke tingkat kecamatan gencar mensosialisasikan JKA, namun yang anehnya Pedoman Pelaksanaan (Manlak) nya sampai saat ini belum selesai dibuat, dan menjadi pertanyaan apa yang di sosialisasikan ke masyarakat. Gembar-gembor Gubernur Irwandi Yusuf tentang JKA, bahwa seluruh masyarakat Aceh akan gratis berobat, baik kaya maupun miskin, namun apa kenyataannya sekarang…….rakyat semakin sengsara. Beberapa alasan LABNA menolak JKA 1. Menurut kami, program JKA memberatkan anggaran APBA, karena selama ini sudah ada program Jamkesmas yang memberikan jaminan kesehatan gratis kepada masyarakat secara total, dalam aturannya Jamkesmas selain menggunakan APBN juga menggunakan subsidi silang dari APBD Propinsi (untuk RSU ditingkat Propinsi) dan APBD Kab/Kota (untuk RSU tingkat Kab.Kota), sehingga kalau JKA ini dijalankan akan menimbulkan tumpang tindih anggaran. 2. Program Jamkesmas sudah sangat jelas dan bagus dan sangat membantu masyarakat, hanya dalam pelaksanaanya saja yang bermasalah di RS, seperti di RSUZA, masih banyak pasien peserta Jamkesmas dipungut biaya, padahal sesuai dengan Pedoman pelaksanaan Jamkesmas tahun 2008/2009 ditegaskan bahwa “ peserta Jamkesmas tidak dibolehkan iur biaya untuk pembelian obat-obatan dan alat medis habis pakai”. 3. Pada pelaksanaannya Jamkesmas saja yang sudah jelas pedoman pelaksanaannya masih banyak masalah, apalagi JKA yang belum jelas bagaimana pelaksanaannya termasuk sandaran yuridisnya. Gebernur selalu mengandalkan premi JKA lebih besar dari premi Jamkesmas, tetapi tidak melihat dan menjelaskan bagaimana manfaat dan pelaksanaan program tersebut, karena dalam Jamkesmas biarpun preminya hanya Rp.12.000,-. Tetapi masyarakat dibebaskan dari segala pungutan dari Rumah sakit, ini sangat berbeda dengan JKA yang hanya menanggung obat-obatan yang masuk dalam formularium/DPHO JKA, di luar dari itu masyarakat harus membeli sendiri, dan ini merugikan dan memberatkan masyarakat, khususnya masyarakat miskin di Aceh, ini telah terbukti dari hasil investigasi lapangan yang dilakukan LABNA di RSU ZA. 4. Kalaupun nanti ada masyarakat miskin yang tidak mendapatkan kartu Jamkesmas itu dapat ditanggulangi dengan APBD yang teknisnya juga sudah diatur dalam pedoman pelaksanaan Jamkesmas tahun 2008/2009 yang jika ada masyarakat miskin berobat tidak mempunyai kartu Jamkesmas, itu di setiap Rumah Sakit ada tim verifikasi yang akan memverifikasi dan menetapkan status apakah masyarakat yang miskin yang tidak mempunyai kartu Jamkesmas ini dapat dikatagorikan masyarakat miskin atau tidak. Jadi tidak diperlukan lagi JKA yang sampai saat ini belum jelas aturan mainnya. SIKAP LABNA TERHADAP JKA Menolak program JKA karena tidak memberikan kepastian kesehatan bagi masyarakat Aceh. Meminta Pemerintah Aceh dan DPRA agar tidak melakukan pembohongan publik dengan program-program yang menghabiskan dana rakyat tetapi tidak bermanfaat bagi rakyat.meminta kepada Pemerintah Aceh dan DPRA untuk menghentikan program JKA dan mengalihkan seluruh dana JKA untuk dana pendamping Jamkesmas agar pelayanan kesehatan bagi masyarakat Aceh terlayani sepenuhnya.meminta masyarakat agar tidak memanfaatkan program JKA ini karena jika ada tindakan medis, obat-obatan dan bahan habis pakai yang di luar formularium/DPHO JKA itu tidak ditanggung oleh JKA dan harus di beli dengan uang pribadi, hal ini sangat berbahaya dalam proses pengobatan/pelayanan medis karena apabila proses pengobatannya sedang berjalan dan diperlukan obat-obatan yang diluar JKA sedangkan masyarakat tidak mempunyai dana untuk membeli obat-obatan tersebut dan harus dibeli dengan uang pribadi, dan jika tidak mempunyai dana maka akan terhambat proses pengobatan yang sedang berjalan. Wassalam LABNA Safaruddin, SH Ketua Dewan Pembina