KH Abdullah Faqih, Langitan – Tuban, Jawa Timur

Sosok Kiai Waskita



[image: Abdullah Faqih.jpg]



Pondok Pesantren Langitan itu berada di bawah jembatan jalan raya Babat
Lamongan jurusan Tuban, Jawa Timur. Tepatnya di Desa Widang. Sepintas, dari
jalan raya memang tidak tampak pesantren, karena tertutup perkampungan. Tapi
begitu masuk, terasalah denyut kehidupan pesantren yang berada di atas areal
sekitar 6 hektar itu.



Meskipun termasuk pesantren salaf [1], kebersihan lingkungannya tampak
sangat terjaga. Apalagi, beberapa pohon mangga dan jambu dibiarkan tumbuh
subur, hingga memberi rasa teduh. Agak masuk ke dalam, ada sebuah rumah
kecil terbuat dari kayu berwarna janur kuning, sederet dengan asrama santri
dan rumah pengasuh lain. Di situlah KH Abdullah Faqih (67), tokoh yang
sangat disegani di kalangan NU, tinggal.



Di belakang rumah itu memang ada bangunan berlantai dua. Tapi, menurut
keterangan salah seorang santrinya, gedung itu untuk tinggal putri-putrinya.
"Kiai sendiri tetap tinggal di di rumah kayu itu," kata santri yang tak mau
disebut namanya.



Berukuran sekitar 7x3 meter, di dalamnya ada seperangkat meja kursi kuno dan
dua almari berisi kitab-kitab. Lantainya dilambari karpet. Ada juga
kaligrafi dan dua jam dinding. Itu saja. Dan di situ pula Kiai Faqih
—panggilan akrabnya— menerima tamu-tamunya. Baik dari kalangan bawah,
pengurus NU, maupun pejabat. Menteri Agama Tolchah Hasan, awal Desember
lalu, adalah salah satu di antara pejabat yang pernah sowan ke kiai yang
sangat berpengaruh di kalangan NU ini. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU yang
baru, juga termasuk tokoh yang rajin sowan ke Kiai Faqih.



Nama Kiai Faqih mencuat menjelang SU MPR lalu, terutama berkaitan dengan
pencalonan KH Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Saat itu di tubuh kaum
Nahdliyin terjadi perbedaan, ada yang mendukung pencalonan Gus Dur —demikian
mantan ketua PBNU itu populer dipanggil— yang dipelopori kelompok Poros
Tengah, dan ada yang bersikap sebaliknya. Sementara dua kandidat utama yakni
BJ Habibie dan Megawati sama-sama mengandung risiko cukup tinggi, terutama
para pendukung fanatiknya. Menghadapi situasi seperti itu, beberapa kiai
sepuh NU mengadakan beberapa pertemuan di Pondok Pesantren Langitan. Dari
sinilah kemudian muncul istilah `Poros Langitan', karena memang suara para
kiai itu sangat berpengaruh kepada pencalonan Gus Dur.



Toh beberapa hari menjelang pemilihan presiden, restu para kiai itu belum
turun juga. Hingga akhirnya dua hari menjelang pemilihan presiden, Hasyim
Muzadi (sekarang ketua PBNU) datang menemui Gus Dur, membawa pesan Kiai
Faqih. Pesannya adalah pertama, kalau memang Gus Dur maju, ulama akan
mendo'akan. Kedua, Gus Dur harus menjaga keutuhan di tubuh PKB yang saat itu
sudah mulai retak. Dan ketiga, menjaga hubungan baik warga NU dengan warga
PDI-Perjuangan.



Begitu gembira mendengar restu itu, Gus Dur berdiri memeluk Hasyim Muzadi
sembari meneteskan air mata. Dengan isak tangis cucu pendiri NU KH Hasyim
Asy'ari ini berkata, "Sampaikan salam hormat saya kepada Kiai (Faqih).
Katakan, Abdurrahman sampai kapanpun tetap seorang santri yang patuh kepada
ucapan kiai."



Siapa sesungguhnya Kiai Faqih, kok Gus Dur yang begitu dipuja orang-orang di
NU itu begitu hormatnya? Publik selama ini tidak banyak tahu, karena Kiai
yang mengasuh sekitar 3000 santri ini memang tidak suka publikasi. Banyak
wartawan yang ingin wawancara dengan Kiai Faqih, semuanya pulang dengan
tangan hampa. "Kami memang mendapat pesan, Kiai tidak bersedia menerima
wartawan," ujar salah seorang pengurus pesantren.



Di kalangan NU dikenal istilah kiai khos atau kiai utama. Ada syarat
tertentu sebelum seorang kiai masuk kategori khos. Antara lain, mereka harus
mempunyai wawasan dan kemampuan ilmu agama yang luas, memiliki laku atau
daya spiritual yang tinggi, mampu mengeluarkan kalimat hikmah atau anjuran
moral yang dipatuhi, dan jauh dari keinginan-keinginan duniawi. Dengan kata
lain, mereka sudah memiliki kemampuan waskita. Nah, Kiai Faqih termasuk
dalam kategori kiai waskita itu. Tentu saja organisasi sebesar NU punya
banyak kiai khos. Tapi, Kiai Faqihlah yang kerap jadi rujukan utama di
kalangan Nahdliyin , baik itu PBNU maupun PKB, terutama menyangkut
kepentingan publik. Hal itu dibenarkan Effendy Choirie, salah satu petinggi
DPP PKB. "Rasanya memang begitu," ujarnya.



Di mata Gus Dur sendiri, Kiai Faqih adalah seorang wali. "Namun, kewalian
beliau bukan lewat thariqat atau tasawuf, justru karena kedalaman ilmu
fiqhnya," kata Gus Dur yang kini jadi Presiden, sebagaimana ditirukan
Choirie. Kedekatan Gus Dur dengan Kiai Faqih, kabarnya mulai Muktamar NU di
Cipayung dulu. Contoh begitu hormatnya ketua Forum Demokrasi (Fordem) itu
kepada Kiai Faqih, adalah ketika ia meminta Gus Dur mencium tangan KH Yusuf
Hasyim, pamannya, pada acara tasyakuran atas membaiknya kesehatan mata Gus
Dur, satu bulan sebelum SU MPR. Tanpa banyak cakap, putra KH Wakhid Hasyim
ini manut saja. Maka rujuklah dua bangsawan Bani Hasyim yang sudah
bertahun-tahun `bermusuhan'.



Kiai Faqih lahir di Dusun Mandungan Desa Widang, Tuban. Saat kecil ia lebih
banyak belajar kepada ayahandanya sendiri, KH Rofi'i Zahid, di Pesantren
Langitan. Ketika besar ia nyantri pada Mbah Abdur Rochim di Lasem, Rembang,
Jawa Tengah. Tapi tidak lama.



Sebagaimana para kiai tempo dulu, Faqih juga pernah tinggal di Makkah, Arab
Saudi. Di sana ia belajar kepada Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki, ayahnya
Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Rupanya selama di Arab Saudi Faqih punya
hubungan khusus dengan Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Buktinya, setiap
kali tokoh yang amat dihormati kalangan kiai di NU itu berkunjung ke
Indonesia, selalu mampir ke Pesantren Langitan. "Sudah 5 kali Sayid Muhammad
ke sini," tambah salah seorang pengurus Langitan.

Pesantren Langitan memang termasuk pesantren tua di Jawa Timur. Didirikan
l852 oleh KH Muhammad Nur, asal Desa Tuyuban, Rembang, Langitan dikenal
sebagai pesantren ilmu alat. Para generasi pertama NU pernah belajar di
pesantren yang terletak di tepi Bengawan Solo yang melintasi Desa Widang
(dekat Babat Lamongan) ini. Antara lain KH Muhammad Cholil (Bangkalan), KH
Hasyim Asy'ari, KH Wahab Hasbullah, KH Syamsul Arifin (ayahnya KH As'ad
Syamsul Arifin), dan KH Shiddiq (ayahnya KH Ahmad Shiddiq).



Kiai Faqih (generasi kelima) memimpin Pesantren Langitan sejak l971,
menggantikan KH Abdul Hadi Zahid yang meninggal dunia karena usia lanjut.
Kiai Faqih didampingi KH Ahmad Marzuki Zahid, yang juga pamannya.



Di mata para santrinya, Kiai Faqih adalah tokoh yang sederhana, istiqomah
dan alim. Ia tak hanya pandai mengajar, melainkan menjadi teladan seluruh
santri. Dalam shalat lima waktu misalnya, ia selalu memimpin berjamaah.
Demikian pula dalam hal kebersihan. "Tak jarang beliau mencincingkan
sarungnya, membersihkan sendiri daun jambu di halaman," tutur Choirie yang
pernah menjadi santri Langitan selama 7 tahun.



Meski tetap mempertahankan ke-salaf-annya, pada era Kiai Faqih inilah
Pesantren Langitan lebih terbuka. Misalnya, ia mendirikan Pusat Pelatihan
Bahasa Arab, kursus komputer, mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK) dan Taman
Pendidikan Al-Qur'an (TPA). Dalam hal penggalian dana, ia membentuk Badan
Usaha Milik Pondok berupa toko induk, kantin, dan wartel.



Lebih dari itu lagi, ayah 12 orang anak buah perkawinannya dengan Hj
Hunainah ini juga mengarahkan pesantrennya agar lebih dekat dengan
masyarakat. Di antaranya ia mengirim da'i ke daerah-daerah sulit di Jawa
Timur dan luar Jawa. Setiap Jum'at ia juga menginstruksikan para santrinya
shalat Jum'at di kampung-kampung. Lalu membuka pengajian umum di pesantren
yang diikuti masyarakat luas.



Dalam hubungan dengan pemerintah Orde Baru, Kiai Faqih sangat hati-hati.
Meski tetap menjaga hubungan baik, ia tidak mau terlalu dekat dengan
penguasa, apalagi menengadahkan tangan minta bantuan, sekalipun untuk
kepentingan pesantrennya. Bahkan, tak jarang, ia menolak bantuan pejabat
atau siapapun, bila ia melihat di balik bantuan itu ada `maunya'. Mungkin,
karena inilah perkembangan pembangunan fisik Langitan termasuk biasa-biasa
saja. Moeslimin Nasoetion, saat menjabat Menteri Kehutanan dan Perkebunan
dan berkunjung ke Langitan pernah berucap, "Saya heran melihat sosok Kiai
Abdullah Faqih. Kenapa tidak mau membangun rumah dan pondoknya? Padahal,
jika mau, tidak sedikit yang mau memberikan sumbangan."



Tetapi bila terpaksa menerima, ini masih kata Effendy Choirie, bantuan itu
akan dimanfaatkan fasilitas umum di mana masyarakat juga turut menikmatinya.
Kiai Faqih, kata Choirie, juga tak pernah mengundang para pejabat bila
pesantrennya atau dirinya punya hajat. "Tetapi kalau didatangi, beliau akan
menerima dengan tangan terbuka," tambah Choirie yang pernah menggeluti
profesi wartawan ini.



Di mata anggota DPR ini, Kiai Faqih adalah sosok yang berpikir jernih dan
sangat hati-hati dalam setiap hendak melangkah atau mengambil keputusan.
Pernah pada suatu kesempatan, Gus Dur ingin sowan (menghadap) ke Langitan.
Demi menghindari munculnya spekulasi yang macam-macam, apalagi saat itu
menjelang pemilihan presiden, Kiai Faqih menolak. Justru dialah yang menemui
Gus Dur di Jombang, saat Gus Dur berziarah ke makam kakeknya.



Catatan Kaki:

[1] Pesantren Salaf, yaitu pesantren yang menggunakan metode tradisional
sorogan, di mana sang kyai/ustadz membacakan materi pelajaran dari suatu
kitab, dan para santri duduk mengelilinginya sambil membubuhkan catatan di
sana-sini dengan bimbingan sang kyai.


-- 
yasir wa la tu’asir

Sent from Androiddd

<<clip_image001.jpg>>

Kirim email ke