Ass Wr Wb
Berikut ini, makalah poster yang juga berkaitan dengan permasalahan
medis. Makalah ini disusun oleh Sdr. Abdul Waris, Mahasiswa tingkat
doktoral di Tokyo Institute of Technology Japan dalam bidang Teknik
Nuklir. Silakan mendiskusikan makalah ini untuk mengetahui sejauh
mana
peranan Kedokteran Nuklir dari sudut pandang seorang ilmuwan teknik
nuklir.
Makalah Lengkapnya dapat dilihat di:
http://sinergy-forum.net/zoa/paper/html/posterwaris.htm
Wassalam
Ahmad Rusdiansyah
----------------
Moderator
Nuclear Medicine: Medicine For Today And The Future
Abdul Waris
Dept. of Physics, Institute of Technology Bandung
Dept. of Nuclear Engineering, Tokyo Institute of Technology
Abstak
Nuclear science and technology plays an important role in society
today. In medicine, radioisotopes are extensively used for imaging,
diagnostic and therapeutics. This paper introduces what called nuclear
medicine and reviews some recent developments on this interdisciplinary
field..
1. Pengantar
Disadari atau tidak, ilmu dan teknologi nuklir memainkan peranan
yang sangat penting dalam kehidupan manusia sekarang, jauh lebih
besar dari sekedar sebagai sumber energi listrik yang dihasilkan
dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Hasil survei ekonomi
di Amerika Serikat tahun 1992 menunjukkan bahwa, profit ekonomi yang
diperoleh dari pekerjaan yang berhubungan dengan pemanfaatan ilmu
dan teknologi nuklir di bidang kesehatan, manufaktur, penelitian,
radiasi makanan, pengolahan limbah, transportasi, dan sejenisnya,
mencapai 4-5 kali lebih besar dari benefit ekonomi yang dihasilkan
oleh PLTN 1).
Memasuki abad ke-21 ini peranan tersebut akan makin dominan seiring
dengan kemajuan baik dalam ilmu dan teknologi nuklir itu sendiri
maupun pengaruh kemajuan bidang-bidang lain. Karena banyak persoalan-
persoalan interdisiplin yang hanya bisa dipecahkan dengan melibatkan
teknologi nuklir. Pada kesempatan ini penulis mencoba memperkenalkan
suatu bidang interdisiplin dari hasil simbiosis antara teknologi
nuklir dan biologi yang kemudian melahirkan bidang lain yang dikenal
dengan kedokteran nuklir (KN). Tulisan ini hanyalah merupakan studi
literatur belaka.
2. Apa itu Kedokteran Nuklir?
Menurut Society of Nuclear Medicine (SNM), kedokteran nuklir adalah
bidang keahlian dalam kedokteran yang menggunakan isotop radioaktif
secara aman, tanpa sakit, dan murah, baik untuk pencitraan maupun
untuk pencegahan dan pengobatan penyakit 2). Jadi ada 2 fokus utama
dalam KN. Yang bertama adalah pencitraan organ tubuh. Pencitraan
disini unik karena bisa menggambarkan fungsi dan struktur organ tubuh
sekaligus. Dengan cara ini dapat diperoleh informasi medis tanpa
melalui operasi, yang dengan cara lain mungkin tidak bisa dilakukan,
membutuhkan operasi atau biaya diagnosa yang lebih mahal. Karena
kemampuan untuk menggambarkan fungsi dan struktur organ (bukan struktur
saja), maka banyak penyakit yang bisa dideteksi lebih dini, dengan
demikian pengobatannyapun menjadi lebih efektif.
Pencegahan dan pengobatan penyakit merupakan fokus utama yang lain
dari kedokteran nuklir. Beberapa penyakit yang lazim diobati dengan
terapi kedokteran nuklir adalah thyroid (kelenjar gondok), prostate
cancer (kanker prostat), hyperthyroidism, cancer bone pain, polycythaemia
(kelainan sel darah merah dan kenaikan jumlah darah) dan leukemia
(kenaikan jumlah sel darah putih) serta banyak penyakit lainnya.
Untuk Eropa terapi KN bahkan sudah lazim diterapkan dalam pengobatan
arthritis (radang sendi). Aplikasi secara klinis dari isotop radioaktif
dimulai tahun 1937 untuk penanganan penderita leukemia di University
of California di Berkeley.
3. Kedokteran Nuklir vs Kedokteran Konvensional
Beberapa kelebihan KN terhadap prosedur kedokteran konvensional adalah
sebagai berikut:
a. Prosedur-prosedur KN tidak sakit dan tidak membutuhkan anesthesia.
b. Prosedur-prosedur KN sangat aman dan hemat biaya
c. Jumlah radiasi yang digunakan dalam prosedur-prosedur KN adalah
sebanding dan bahkan lebih kecil dari yang diterima pasien jika menggunakan
diagnosis sinar-X.
Ketiga hal di atas dapat dijelaskan kurang-lebih sebagai berikut:
Penggunaan isotop radioaktif dalam KN (diistilahkan dengan radiopharmaceutical,
kadang radio-nuklida atau tracer) dapat dengan cara in vivo, yakni
sejumlah radiopharmaceutical dimasukkan secara langsung ke dalam
tubuh pasien, atau secara in vitro, dimana diagnosa dilakukan dalam
test tube. Dalam prosedur in vivo, radiopharmaceutical dapat bekerja
sama dan tidak dianggap sebagai benda asing oleh tubuh manusia. Mengapa
demikian? Karena radiopharmaceuticals itu sendiri adalah unsur-unsur
(baca elemen) yang terdapat dalam tubuh manusia. Bedanya kedalam
unsur tersebut telah ditambahi dengan sedikit (<10-6M) radiopharmaceutical
dari unsur yang sama. Seperti kita ketahui isotop-isotop dari suatu
unsur memiliki sifat kimia yang 100% sama. Sebagai ilustrasi kita
ambil contoh unsur yodium (I, iodine). Sejak tahun 1915 telah diketahui
bahwa dalam tubuh manusia I berakumulasi dalam kelenjar gondok. Terdapat
sekitar 40 isotop I dan satu-satunya isotop yang stabil (non-radioaktif)
adalah 127I. Salah satu isotop radioaktif dari yodium, 123I, memiliki
waktu-paroh pendek (T1/2 =13 jam) dan memancarkan radiasi sinar-g
dengan dosis rendah adalah sangat optimal untuk pencitraan kelenjar
gondok. Isotop yang lain, 131I merupakan pemancar sinar-b dengan
waktu-paroh yang lebih panjang (T1/2 = 8 hari) dan dapat mentransfer
radiasi dalam jumlah besar ke sel-sel tumor dengan meninggalkan kerusakan
sangat kecil pada jaringan di sekitarnya 3).
Dalam prosedur in vitro, radioimmunoassay (RIA) merupakan tipe khusus
prosedur in vitro yang mengkombinasi penggunaan radio-nuklida dengan
antibody untuk mengukur level hormon, vitamin dan obat dalam darah
pasien.
d. Prosedur-prosedur KN adalah yang paling aman diantara prosedur
pencitraan untuk diagnosa yang ada.
e. Tersedia hampir 100 prosedur pencitraan dalam KN.
f. Pencitraan dengan prosedur in vivo dalam KN adalah eksklusif karena
bisa memberikan informasi tentang fungsi dan morfologi dari organ
yang dipelajari sekaligus. Hal ini sangat berbeda dengan prosedur
radiologi biasa (sinar-X), computed tomography (CT) maupun nuclear
magnetic resonance imaging (MRI) yang hanya bisa menggambarkan stuktur/anatomi
saja.
4. Kedokteran Nuklir untuk PENCITRAAN
Ada beberapa teknik pencitraan yang ditawarkan oleh KN. Peralatan
utama yang lazim digunakan dalam pencitraan KN adalah Gamma Camera.
Gamma Camera adalah detector yang dikembangkan oleh Hal Anger (1958)
untuk pencitraan dan studi fungsional.
Dalam pencitraan planar KN, konsentrasi radiopharmaceutical dalam
suatu bagian volume tertentu dari tubuh dipetakan ke dalam citra
2-D. Studi dinamik dapat dilakukan dengan akusisi dari deretan cepat
citra-citra planar, yang diikuti oleh pendefinisian bagian yang ingin
diamati dan pemrosesan komputer.
Akusisi radial sekitar obyek dan rekonstruksi memungkinkan pemetaan
tomografi yang dapat direkam. Metodologi ini, ketika digunakan bersama
single-photon detection dikenal dengan single-photon emission computerized
tomography (SPECT) dan memberikan kontras yang lebih baik dibanding
citra planar. Dengan tersedianya gamma camera yang dapat berputar
dengan harga yang terjangkau telah memungkinkan SPECT dipakai secara
meluas dalam KN. Peralatan pencitraan yang lain yang paling handal
tapi masih relatif mahal adalah positron emission tomography (PET)
scanner. PET adalah teknik diagnosa dan investigasi yang memungkinkan
studi in vivo kuantitatif dari jaringan metabolisme lokal, biokimia
dan farmakologi. PET tidak menggunakan metode tidak langsung atau
parameter fisik untuk mempelajari fungsi suatu organ atau untuk memperoleh
visualisasinya. PET mencakup detekti, visualisasi dan kuantisasi
dari distribusi radioaktif dari molekul-molekul pemancar positron
yang menyusun suatu fungsi biologis. Karenanya PET memberikan representasi
hidup dari obyek yang sedang dipelajari.
5. Kedokteran Nuklir untuk Diagnosa Penyakit
Suatu citra dalam KN adalah pemetaan dari distribusi radiopharmaceutical
selama set waktu akusisi data. Syarat utama dalam pencitraan KN adalah
radiopharmaceutical tidak boleh termetabolis atau terbawa saat akusisi
data. Hal ini penting untuk pencitraan 3-D yang menggunakan SPECT.
Syarat lain bagi suatu radiopharmaceutical yang ideal adalah memiliki
energi sinar-g yang sedang, stabil secara kimiawi, spesifik untuk
suatu jaringan, bisa merefleksikan status fisiologi dari jaringan
target sehingga bila terjadi kelainan dengan cepat dapat diidentifikasi.
Tabel 1 mentabulasi beberapa radiopharmaceutical dan aplikasinya
dalam diagnosa penyakit. Dari Tabel 1 ini jelas terlihat bahwa untuk
diagnosa dalam KN, penggunaan 99mTc sangat dominan. 99mTc (T1/2 =
6 jam) dapat diperoleh dari peluruhan 99Mo (T1/2 = 67 jam). Semua
isotop Tc adalah radioaktif dengan 99Tc (T1/2 = 2.1 x 105 tahun)
sebagai isotop dengan waktu paroh paling panjang.
Flouro-deoxi-glucose yang ditempelkan/ditandai (labeled) dengan 18F
(18FDG) merupakan isotop yang paling sering digunakan dalam labeling
molekul yang digunakan dalam PET dengan tujuan untuk lokalisasi dan
evaluasi aktivitas metabolisme. Disamping 18FDG, banyak molekul yang
diberi label dengan pemancar positron dan telah dipakai secara luas
dalam studi metabolisme.
Tabel 1. Important radiopharmaceuticals and diagnostic application
in nuclear medicine4)
Radioisotope
Diagnostic application
99mTc
Thyroid scintigraphy; brain-blood barrier; blood pool
Renal function; renal imaging
Liver and spleen; lymphatic imaging
Hepatobiliary scintigraphy; bone metastases, fractures
Myocardial imaging
Lung perfusion
Lung ventilation
123I
Thyroid function
D2 receptor studies
Neurocrest tumours
Tumour imaging
133Xe
Lung ventilation
81mKr
Lung ventilation
67Ga
Infection, inflammation; sarcoidosis;lymphoma
201Tl
Myocardial perfusion; tumour scintigraphy
111In
Tumour scintigraphy (prostate, colon, etc)
6. Kedokteran Nuklir untuk TERAPI Penyakit
Terapi metabolis menggunakan radio-nuklida merupakan? metode yang
ampuh untuk pengobatan kanker. Dosis radiasi untuk jaringan target
dipilih secara selektif melalui mekanisme sistematis, dan tidak menyebar
(non-invasive). Hal ini dapat direncanakan secara seksama karena
biasanya didahului dengan studi perunutan (tracer study) sehingga
kemungkinan penerimaan (uptake) dan penyimpanan (retention) dalam
tomur telah dipelajari lebih dulu.
Keberhasilan suatu terapi menggunakan radio-nuklida bergantung pada
baik dan terpilihnya konsentrasi serta lamanya penyimpanan radio-
nuklida oleh tumor dengan penerimaan minimal pada jaringan normal
sekitarnya.
Sekarang ini banyak sekali radiopharmaceuticals yang bisa mendeteksi
tumor dengan mekanisme target yang berbeda. Deposisi dari radio-nuklida
dalam hubungan dengan inti sel yang akan diiradiasi sangat penting
dalam pemilihan label sesuai dengan selang energi efektif dari partikel
beta. Table 2. menggambarkan penggunaan isotop radioaktif untuk terapi
berbagai penyakit.
Laporan terbaru dari Nature Medicine menunjukkan bahwa isotop yodium
berpeluang untuk dimanfaatkan dalam terapi kanker payudara (breast
cancer) 5).
Tabel 2. Therapeutic applications of radioisotopes 4)
Radioisotope
Therapeutic application
131I
Thyrotoxicosis; thyroid cancer and thyroid metastasis
Neuroblastome; pheochromocytoma; paraganglioma
89Sr
Terminal bone pain; bone metastases (palliation)
90Y
Synoviorthesis (knee); malignant pleural/peritoneal effusions
32P
Polycythemia vera rubra; essential thrombocythemia
186Re
Synoviorthesis (medium-size joints)
Bone metastases (palliation)
131I
90Y
67Cu
A variety of tumours
7. PENUTUP
Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu dan teknologi nuklir memainkan
peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia sekarang. Kedokteran
nuklir sebagai salah satu turunan dari teknologi nuklir menjadi salah
satu indikator bagi peran tersebut. Kedokteran nuklir yang merupakan
hasil usaha multidisiplin yang mencakup fisiologi, instrumentasi,
radiofarmasi, matematika modeling, ilmu komputer, radiobiologi,
proteksi radiasi, statistik dan aplikasi klinik akan terus berkembang
sejalan dengan perkembangan bidang-bidang ilmu penopangnya. Semoga
tulisan ini bisa menjadi pengantar diskusi dalam seminar on air ini.
Reference:
Graham J, Progress in Nuclear Energy, 32, 225 (1998)
Society of Nuclear Medicine, http://www.snm.org/
Sattelberger, A. P., et. al., Nature Biotechnology, 17, 849 (1999)
De Lima, J. J. P., Eur. J. Phys, 19, 485 (1998)
Gilbert, H. D., et. al., Nature Medicine, 6, 859 (2000)