Yth. Peserta Diskusi ZOA-BIOTEK-2001


Berikut ini kami postingkan bagian pertama dari dua bagian paper 
dari rekan kita Agus Supriyanto, dengan judul:
Aplikasi Wastewater Sludge Untuk Proses Pengomposan Serbuk Gergaji

yang merupakan telaah aplikatif yg menarik.

Untuk versi web, silakan klik di: 
http://sinergy-forum.net/zoa/paper/html/paperAgusSupriyanto.
html

Silakan simak dan selamat berdiskusi.

Moderator ZOA-Biotek Sesi Lingkungan
SinergY-PPI-Tokodai

Dhany Arifianto
Son Kuswadi
----------------------------------------------------------------------



Aplikasi Wastewater Sludge Untuk Proses Pengomposan Serbuk Gergaji 
Agus Supriyanto
PT NovartisBiochemie, Citeurep Bogor Indonesia 

Ringkasan
Pengomposan bukanlah suatu ide atau hal yang baru. Pengomposan merupakan 
suatu proses penguraian mikrobiologis alami dari bahan buangan organik 
maupun dari wastewater sludge. Saat ini proses pengomposan dari bahan 
buangan tersebut menjadi suatu produk akhir yang lebih bernilai telah 
berkembang dengan pesat, terutama oleh mereka yang lebih peduli terhadap 
pelestarian lingkungan; karena proses ini dipandang sebagai alternatif 
terbaik dalam management pengelolaan sampah padat.
Berdasarkan komposisi konstituen dasar dari bahan buangan organik 
dan wastewater sludge, kombinasi pemanfaatan kedua jenis bahan tersebut 
merupakan synergi yang saling melengkapi. Bahan buangan organik seperti 
limbah serbuk gergaji dari perajin tradisional masih belum dimanfatkan 
secara optimal sedangkan wastewater sludge dari industri yang ramah 
lingkungan umumnya masih dibuang percuma dan belum menemukan bentuk 
penyelesaian masalah secara tuntas.
Dasar utama dari pencampuran awal adalah faktor C/N ratio, moisture 
content, populasi mikroba dan porositas campuran. Selama proses, 
faktor temperatur dan kondisi kandungan oksigen harus diamati untuk 
menjamin berlangsungnya proses pengomposan secara aerobik. Pembalikan 
tumpukan massa kompos bersamaan dengan pengontrolan moisture content 
perlu dilakukan secara terjadwal untuk optimalisasi dan efisiensi 
proses.
Produk kompos yang dihasilkan dari bahan yang ramah lingkungan dan 
melalui proses yang terkontrol tersebut akan sangat berguna sebagai 
"soil conditioner" dengan prospek aplikasi yang sangat luas dan cerah 
di masa yang akan datang. Kerjasama dan dukungan semua pihak dan 
lapisan masyarakat, terutama terhadap solusi masalah limbah sebagai 
bagian dari siklus alami harus segera dirintis sebagai suatu bagian 
yang terintegrasi dan tak terpisahkan dari mata rantai kegiatan, 
baik industri, produksi maupun kehidupan masyarakat umum.

1. Pengomposan

Dalam usaha untuk mengatasi masalah wastewater sludge yang semakin 
meningkat jumlahnya dan cara-cara penanganan serta pembuangan akhir 
yang lebih tepat untuk masa mendatang, ada beberapa alternatif utilisasi 
dan pembuangan akhir dari wastewater sludge tersebut yang dapat dipertimbangkan,
yaitu:

Land-filling, masalah dengan keterbatasan kapasitas, tempat yang 
cocok dan aman, biaya dlsb. 
Incineration/ pembakaran, ada berbagai masalah berdasarkan pada pengalaman 
sebelumnya akibat dari pembakaran sampah/ limbah padat. 
Pengomposan, dipandang sebagai alternatif terbaik dengan pertimbangan 
sbb: 
Biaya investasi relatif lebih murah 
Pengoperasiannya dapat digabung dengan operasional pengolahan wastewater 

Penjualan produk akhir kompos dapat mengurangi biaya operasional 
Mengembalikan produk kompos ke dalam tanah dengan biaya yang lebih 
kompetitif dibanding cara land-filling ataupun incineration. Secara 
ekosistem, cara ini lebih alami dalam mengikuti siklus kehidupan 
dan daur ulang. 
Sejak awal dekade 1970-an, pengomposan mulai mendapat perhatian sebagai 
alternatif yang cost-effective dan environmentally sound untuk proses 
stabilisasi dan pembuangan akhir dari wastewater sludge. Semakin 
ketatnya peraturan tentang polusi udara dan persyaratan tentang sludge 
disposal serta antisipasi makin sulit dan keterbatasan lahan landfill 
telah mempercepat pengembangan proses pengomposan sebagai suatu opsi 
yang viable dari wastes management secara umum, khususnya sludge 
management.

Proses pengomposan itu sendiri merupakan biodegradasi dari bahan 
organik menjadi suatu produk yang stabil. Proses pengomposan yang 
sempurna akan menghasilkan produk yang tidak mengganggu baik selama 
penyimpanan maupun aplikasinya, seperti bau busuk, bakteri pathogen.
Selama proses pengomposan, temperatur akan mencapai range pasteurization 
dari 50 - 70 oC, sehingga bakteri pathogen dari wastewater sludge 
(jika dari pengolahan limbah domestic atau municipal) akan mati. 


Meskipun proses pengomposan dapat berlangsung dalam kondisi aerobik 
maupun anaerobik, proses aerobik lebih cocok diaplikasikan pada pengomposan 
dari wastewater sludge, terutama dari municipal. Proses pengomposan 
aerobic lebih mempercepat proses penguraian dan berlangsung pada 
temperatur yang relatif tinggi sehingga sekaligus berguna untuk menghilangkan 
bakteri pathogen yang berasal dari kotoran manusia. Disamping itu 
pengomposan aerobik juga meminimalkan potensi bau yang ditimbulkan.


Secara umum kompos sangat bermanfaat sebagai soil conditioner dengan 
adanya kandungan bahan organik yang tinggi, karena sifat kestabilannya 
maka bahan organik dalam kompos akan terdegradasi secara perlahan 
dan tertahan secara efektif untuk waktu yang lebih lama dibandingkan 
bahan organik dari limbah yang belum dikomposkan. Kandungan makro 
dan mikro nutrisi yang berasal dari wastewater sludge sangat bermanfaat 
untuk pertumbuhan tanaman, baik perkebunan, pertanian maupun hortikultura 
& hobbies. Disamping itu produk kompos juga akan meningkatkan kualitas 
tanah yang berpasir, tanah liat maupun kondisi tanah yang telah jenuh 
(more balance soils). Sedangkan dari sisi mikrobanya, aplikasi kompos 
sangat bermanfaat untuk reklamasi dari tanah yang telah kehilangan 
atau rusak top soilnya, seperti akibat cutting-filling pada pembukaan 
lahan untuk industri dan real-estate, akibat aktivitas pertambangan 
terbuka atau pada tanah yang sebelumnya terlalu banyak menggunakan 
pupuk kimia karena akan meningkatkan populasi mikroba tanah yang 
berfungsi untuk penyediaan nutrisi yang siap diserap oleh akar tanaman.


Peningkatan sifat-sifat tanah dari penggunaan kompos antara lain:

Meningkatkan kandungan air dan retensi air untuk kondisi tanah berpasir.

Meningkatkan sifat agregasi. 
Meningkatkan aerasi, permeability dan sifat infiltrasi air untuk 
kondisi tanah liat. 
Meningkatkan daya tembus akar. 
Meningkatkan populasi mikroba tanah. 
Menurunkan tingkat kekerasan lapisan permukaan tanah. 
Disamping berbagai faktor positif tersebut, sisi negatif dari kompos 
yang berasal dari wastewater sludge juga harus diwaspadai. Keberadaan 
senyawa organik yang persistent atau nonbiodegradable, bakteri pathogen 
ataupun logam berat di dalam sludge yang telah dikomposkan merupakan 
hambatan untuk pembuangan akhir ataupun aplikasi akhir ke lingkungan 
dan tanaman, terutama yang dikonsumsi untuk manusia, baik langsung 
maupun tidak langsung. Untuk itu perlu dilakukan pengujian dan evaluasi 
kualitas wastewater sludge sebelum dikomposkan, mulai dari proses 
pengolahan sludge, karakteristik limbah sebelum diolah, sampai bahan 
kimia yang digunakan dalam proses manufacturing sampai sludge dewatering,
interaksi dan sifat-sifat bahan kimia tersebut.

@

Proses pengomposan wastewater sludge sedikit berbeda dibandingkan 
proses pengomposan sampah. Secara prinsip ada beberapa keuntungan 
dari pengomposan wastewater sludge dibandingkan sampah pada umumnya,
yaitu:

Tidak membutuhkan material management yang kompleks 
Tidak memerlukan teknik pemisahan yang rumit 
Lebih seragam dalam komposisi 
Proses operasionalnya lebih mudah 
Tidak terkontaminasi oleh bahan buangan lain, seperti: plastik, logam,
kaca, dll. 
Hasil komposnya lebih cocok untuk dipasarkan. 
Disamping itu dari sudut ekonomis, pengomposan sludge sering hanya 
dipandang sebagai metoda alternatif dan tidak dievaluasi pada potensial 
profitabilitinya, seperti pada operasional pengomposan sampah.

2. Proses Mikrobiologi

Pengomposan merupakan proses penguraian aerobik - thermophilic dari 
konstituen organik (misalnya dari sampah / buangan organik alami 
dan excess sludge dari biological wastewater treatment) menjadi produk 
akhir yang relatif stabil, menyerupai humus. Ada 3 group mikroorganisme 
yang berperan, yaitu: bakteria, actinomycetes dan fungi. Fungsi bakteria 
akan mengurai senyawa golongan protein lipid dan lemak pada kondisi 
thermophilic serta menghasilkan energi panas. Actinomycetes dan fungi 
yang selama proses pengomposan berada pada kondisi mesophilic dan 
thermophilic berfungsi untuk mengurai senyawa-senyawa organik yang 
kompleks dan selulosa dari bahan organik atau dari bulking agent.
Faktor kondisi lingkungan selama operasional sangat berpengaruh 
terhadap aktivitas mikroorganisme dalam proses oksidasi - dekomposisi 
tersebut dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kecepatan dan siklus 
proses pengomposan serta kualitas kompos yang dihasilkan.

Selama proses pengomposan ada 3 tahapan berbeda dalam kaitannya dengan 
temperatur yang diamati, yaitu: mesophilic, thermophilic dan cooling 
(tahap pendinginan). Pada tahap awal mesophilic temperatur proses 
akan naik dari suhu lingkungan ke ~ 40 oC dengan adanya fungi & bacteria 
pembentuk asam. Temperatur proses akan terus meningkat ke tahap thermophilic 
antara 40 - 70 oC, dimana mikroorganisme akan digantikan oleh bakteria 
thermopilic, actinomycetes dan thermophilic fungi. Pada range thermopilic 
temperatur, proses degradasi dan stabilisasi akan berlangsung secara 
maksimal. Tahap pendinginan ditandai dengan penurunan aktivitas mikroba 
dan penggantian dari mikroorganisme thermophilic dengan bacteria 
& fungi mesophilic. Selama tahap cooling, proses penguapan air dari 
material yang telah dikomposkan akan masih terus berlangsung, demikian 
pula stabilisasi pH dan penyempurnaan pembentukan humic acid.



2.1. Deskripsi Proses

Proses pengomposan dapat diklasifikasikan dalam 2 sistem, yaitu:

Sistem terbuka (Unconfined process): 
Windrow (Turned windrow) 
Aerated static pile (Forced aeration static windrow) 
Individual pile 
Extended pile 
Sistem tertutup (Confined processes) 
Sistem terbuka bukanlah tidak tertutup sama sekali tetapi masih memerlukan 
atap untuk perlindungan terhadap hujan. Pada sistem terbuka umumnya 
digunakan peralatan/ mesin yang portable untuk proses pencampuran 
dan pengadukan/ pembalikan. Sedangkan pada sistem tertutup digunakan 
fasilitas kontainer atau reaktor tertutup.

Meskipun setiap teknik pengomposan mempunyai ciri tersendiri, tetapi 
proses dasarnya serupa. Tahap dasar proses pengomposan adalah sebagai 
berikut:

Jika diperlukan, ditambahkan bulking agent sebagai fungsi pengatur 
/ pengontrol porositas dan moisture, atau 
Penambahan bahan organik lain sebagai sumber nutrisi, umumnya sumber 
senyawa Karbon (contohnya serbuk gergaji, jerami, sekam dan kulit 
padi dll.) yang dicampurkan ke wastewater sludge untuk mendapatkan 
campuran yang sesuai bagi kelangsungan proses pengomposan. Campuran 
tersebut harus cukup berpori, stabil secara struktural dan proses 
pengomposan dapat berlangsung dengan sendirinya. 
Temperatur dapat mencapai 55 - 65 oC sehingga bakteri pathogen akan 
mati, disamping itu juga untuk mendorong proses penguapan sehingga 
kandungan air dari produk akhir akan menurun. 
Kompos disimpan selama beberapa waktu kemudian untuk stabilisasi 
pada temperatur rendah, mendekati temperatur sekeliling. 
Jika diperlukan, pengaliran udara kering pada cured compost yang 
terlalu basah untuk kemudahan transportasi dan aplikasi selanjutnya.

Pemisahan bulking agent, jika pada awalnya digunakan dan akan didaur-
ulang. 
Pengomposan merupakan wujud aktivitas kerjasama dari berbagai mikroorganisme 
(bakteria, actinomycetes dan fungi) yang didukung oleh berbagai kondisi 
/ faktor penting dari lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses 
mikrobiologis, yaitu:

Moisture (kandungan air) 
Temperature 
pH 
Konsentrasi Nutrient 
Ketersediaan dan supply Oksigen 
A. Moisture (Kandungan air)

Penguraian senyawa organik sangat tergantung pada faktor moisture.
Limit terendah dari aktivitas bakteria adalah antara 12 - 15 %; 
meskipun sebenarnya moisture content < 40 % merupakan batas dari 
kecepatan penguraian optimum. Idealnya kandungan moisture antara 
~ 50 - 60 %. Jika moisture content dari campuran > 60 % maka integritas 
struktural yang baik juga tidak akan dicapai. Selama proses pengomposan 
sebagian air akan teruapkan sehingga perlu dilakukan pengaturan dengan 
penyemprotan, misalnya bersamaan dengan pembalikan pada proses windrow,
untuk menjaga kondisi moisture content yang optimum selama proses 
pengomposan. Pada kondisi akhir, tahap pendinginan, moisture content 
diharapkan supaya terus menurun untuk mencapai mendapatkan produk 
akhir yang lebih mudah penanganannya, penyimpanan dan aplikasi akhir.


Dewatered wastewater sludge umumnya masih terlalu basah untuk mencapai 
kondisi optimum pengomposan. Untuk menurunkannya, umumnya digunakan 
campuran bahan lain seperti serpihan kayu, serbuk gergaji atau bahan 
organik lain yang relatif kering. Pendekatan yang paling praktis 
- ekonomis dari setiap lokasi harus didasarkan pada beberapa faktor,
yaitu:

Perhitungan kesetimbangan massa yang masih memungkinkan terjadinya 
proses pengomposan berlangsung secara optimum dan efisien 
Kemudahan operasional dan tenaga kerja, 
Periode waktu yang dibutuhkan 
Luas lahan yang dibutuhkan 
Kondisi dan faktor lingkungan secara keseluruhan 
B. Temperature

Kondisi paling optimum pengomposan dari pencapaian temperatur antara 
55 - 65 oC, tetapi harus < 80 oC. Kondisi temperatur tersebut juga 
diperlukan untuk proses inaktivasi dari bakteri pathogen di dalam 
sludge (jika ada). Moisture content, kecepatan aerasi, ukuran dan 
bentuk tumpukan, kondisi lingkungan sekitar dan kandungan nutrisi 
sangat mempengaruhi distribusi temperatur dalam tumpukan kompos. 
Sebagai contoh, kecenderungan temperatur akan lebih rendah jika kondisi 
moisture berlebih karena panas yang dihasilkan akan digunakan untuk 
proses penguapan. Sebaliknya kondisi moisture yang rendah akan menurunkan 
aktivitas mikroba dan menurunkan kecepatan pembentukan panas.

C. pH

Kondisi pH optimum untuk pertumbuhan bakteria pada umumnya adalah 
antara 6.0 - 7.5 dan 5.5 - 8.0 untuk fungi. Selama proses dan dalam 
tumpukan umumnya kondisi pH bervariasi dan akan terkontrol dengan 
sendirinya. Kondisi pH awal yang relatif tinggi, misalnya akibat 
penggunaan CaO pada sludge, akan melarutkan Nitrogen dalam kompos 
dan selanjutnya akan diemisikan sebagai ammoniak. Tidaklah mudah 
untuk mengatur kondisi pH dalam tumpukan massa kompos untuk pencapaian 
pertumbuhan biologis yang optimum, dan untuk itu juga belum ditemukan 
kontrol operasional yang efektif.

D. Konsentrasi Nutrient

Unsur Karbon dan Nitrogen keduanya dibutuhkan sebagai sumber energi 
untuk pertumbuhan mikrorganisme, yaitu 30 bagian Karbon (C) dan 1 
bagian Nitrogen (N) atau C/N ratio = 30 dalam perbandingan berat.
Untuk itu maka proses pengomposan yang paling efisien mempersyaratkan 
kebutuhan C/N ratio antara 25 - 35 sebagai perbandingan yang paling 
ideal. Unsur C dalam ratio tersebut dipandang sebagai biodegradable 
carbon. Ratio C/N yang rendah, atau kandungan unsur N yang tinggi 
akan meningkatkan emisi dari Nitrogen sebagai ammoniak. Sedangkan 
ratio C/N yang tinggi, atau kandungan unsur N yang relatif kurang 
/ rendah akan menyebabkan proses pengomposan berlangsung lebih lambat 
dan Nitrogen menjadi faktor penghambat (growth-rate limiting factor).
Tidak ada macro-nutrients atau trace-nutrients lain yang ditemukan 
sebagai faktor penghambat pada proses pengomposan wastewater sludge.


E. Kebutuhan Oksigen

Persyaratan konsentrasi optimum dari oksigen di dalam massa kompos 
antara 5 - 15 % volume. Peningkatan kandungan oksigen melewati 15 
%, misalnya akibat pengaliran udara yang terlalu cepat atau terlalu 
sering dibalik akan menurunkan temperatur dari sistem. Setidaknya 
diperlukan kandungan Oksigen > 5 % untuk menjaga kestabilan kondisi 
aerobik, meskipun pada kondisi konsentrasi oksigen di dalam tumpukan 
yang hanya ~ 0.5 % tidak didapati adanya kondisi anaerobik.

F. Kriteria perencanaan dan prosedur

Kriteria pokok untuk keberhasilan pengomposan adalah:

Material & campuran yang akan dikomposkan cukup berpori 
Stabil secara struktural 
Mengandung bahan yang mudah untuk diurai secara mikrobiologis sehingga 
proses penguraian akan dapat berlangsung dengan sendirinya. 
Dengan demikian maka panas yang dihasilkan dari oksidasi volatile 
material cukup untuk mencapai temperatur reaksi dan mencapai kekeringan 
tertentu yang dibutuhkan. Reaksi pengomposan akan berlangsung dengan 
sendirinya jika perbandingan dari massa antara total air pada awal 
proses dan total zat organik yang terurai selama pengomposan, sebagai 
simbol W < 10. Faktor penting lain yang perlu dipertimbangkan dalam 
proses perencanaan adalah faktor fleksibilitas, seperti perubahan 
dan fluktuasi solid content dalam sludge, volume, perubahan supply 
dan kualitas bahan organik lain serta hambatan akibat kerusakan peralatan.


Untuk menjamin proses pengomposan berlangsung sesuai prosedur, temperatur 
dan kandungan oksigen dalam tumpukan massa kompos harus sering dimonitor 
secara terus menerus dan teratur. Disamping itu pemantauan kandungan 
logam berat, bakteri pathogen dan parameter lingkungan seperti kualitas 
udara dan air serta kesehatan kerja pelaksana lapangan perlu dilakukan 
untuk menjamin kualitas kompos yang dihasilkan dan proses operasional 
yang aman.

Pada windrow dan pengomposan mekanis, porositas dan stabilitas struktural 
diatur dengan cara pencampuran sludge dengan recycled compost atau 
bulking agent untuk mencapai moisture content ~ 40 - 60 %. Pada aerated 
pile umumnya digunakan serpihan kayu sebagai bulking agent. Setelah 
proses pengomposan selesai, bulking agent dapat diayak dan dipisahkan 
untuk digunakan kembali. Bagian yang halus akan terikut dalam fraksi 
kompos sehingga harus dikompensasi dengan sejumlah tertentu bulking 
agent baru pada titik pencampuran awal.

Tingkat degradability campuran dapat ditingkatkan dengan penambahan 
bahan organik yang mudah terurai dengan kandungan unsur karbonnya 
tinggi. Material ini diharapkan relatif kering sehingga akan menekan 
nilai W dengan meningkatkan fraksi volatile dan menurunkan fraksi 
moisture dari campuran.

Persamaan umum:

Xr = [ Xc ( Sm-Sc )   Xa ( Sm-Sa )   Xb ( Sm-Sb ) ] / ( Sr-Sm ) ( 
1 )  dan 
W = [ Xc ( 1-Sc )   Xa ( 1-Sa )   Xb (1-Sb )   Xr ( 1-Sr ) ]/[XcScVcKc 
XaSaVaKa   XbSbVbKb   XrSrVrKr ] ( 2 )

dimana : X = Total berat per hari , S = Fraksi solid content, V = 
Volatile solid content, K = Fraksi volatile solid yang terdegradasi,
c = sludge cake basah, a = amandment atau bahan organik lain, r 
= recycle, b = external bulking agent, dan m = mixture atau campuran

Jika W < 10 maka campuran kompos mempunyai cukup energi untuk meningkatkan 
temperatur dan penguapan air. Nilai ratio W tersebut bukanlah persyratan 
mutlak karena kondisi iklim setempat juga berpengaruh terhadap termodinamika 
system. Pada daerah panas dan kering nilai W boleh > 10 sedangkan 
pada musim dingin nilai W harus < 10. Nilai W dapat diturunkan dengan 
penambahan bahan organik lain yang relatif kering. Jika masih juga 
belum tercapai < 10 maka penambahan tersebut dapat ditingkatkan dan 
nilai fraksi yang direcycled dapat dihitung kembali sampai nilai 
W tercapai. Harus diingat juga persyaratan C/N ratio !

Jika petunjuk tersebut dijalankan maka campuran akan mempunyai cukup 
energi untuk terjadinya proses pengomposan. Nilai aktual dari parameter 
proses tersebut sangat spesifik untuk tiap lokasi sehingga design 
yang paling ekonomis tergantung pada keakuratan data dari karakteristik 
pengomposan yang akan berpengaruh terhadap kesetimbangan massa dan 
termodinamika.

Bersambung ke bagian 2/terakhir







Reply via email to