syukron ...nice articel...

2010/6/8 Arifin Efendi <arifin.efe...@gmail.com>

> *ALLAH MASIH SAYANG ...
> *
>
> Hujan kian deras mengguyur bumi. Sesekali aku harus memeluk Dafa yang masih
> bayi ketika suara guruh menggedor-gedor pintu langit dengan kerasnya. Aku
> memandang sayu ke arah anak-anakku yang tertidur di atas tikar pandan.
> Duhai.. alangkah indah dan sucinya wajah mereka. Kutatapi wajah mereka satu
> persatu dengan nikmatnya. Demikiankah wajah bidadari kecil dari syurga
> Allah?
>
> Sejenak aku terlupa betapa seperempat jam yang lalu ketiga bidadariku itu
> menangis karena lapar yang tidak tertahankan. Zakia yang paling besar
> menangis dengan keras sekali sambil menghentak-hentakka n kaki.
>
> "Zakia lapar, Umi. Lapaar..mana nasinya?" Sementara Yamin yang masih tiga
> tahun hanya bisa merengek-rengek panjang dengan kosa kata yang terbatas,
> "Umi, mo mamam, Umi."
>
> Kutatapi segenggam beras yang masih tersisa. Subhanallah. .teringat aku
> kepada Mas Darman, Abinya anak-anak. Tadi pagi ia berangkat tanpa sarapan
> apapun kecuali segelas air sumur yang kumasak dengan kayu api. Bagaimana
> kalau hari ini Abi tidak berhasil membawa seliter beraspun seperti kemarin.
>
> Abi cuma kuli upahan yang membawa cangkul ke mana-mana. Syukur sekali jika
> ada truk yang menawarkan kerjaan menurunkan pasir atau mengisi tanah merah.
> Dari kerja ikut truk biasanya Abi bisa dapat uang delapan ribu rupiah.
> Alhamdulillah cukup untuk beli beras dua tiga liter.
>
> Kemarin Abi juga hanya sarapan segelas air sumur. Kuselipkan di saku
> celananya yang lusuh uang seribu rupiah. Malam harinya Abi pulang dengan
> seulas senyum kepasrahan.
>
> "Dapat kerjaan tadi, Bi?"
>
> "Alhamdulillah, belum, Mi."
>
> "Tadi siang sempat makan, nggak?"
>
> "Umi kan ngasih uang seribu rupiah. Abi belikan roti tujuh ratus rupiah.
> Nih sisanya masih tiga ratus."
>
> "Memang masih ada roti harga tujuh ratus?"
>
> "Ada, tapi kayaknya harga aslinya seribuan deh. Mungkin Mas Budi ngasih
> diskon ke Abi.".
>
> Abi tersenyum manis kepadaku sambil menyerahkan sisa uang tiga ratus ke
> tanganku. Laa hawla walaa quwwata illa billaah[1]. Berarti hari ini Abi cuma
> makan sepotong roti tujuh ratusan. Dan itu juga berarti besok tidak bisa
> beli beras. Kuamati sisa beras yang cuma tinggal dua genggam lagi dan tiga
> keping uang logam seratusan di telapak tanganku yang diam membisu.
>
> ********
>
> Pagi itu aku tidak tega membiarkan Abi memanggul cangkulnya dengan perut
> berisi air sumur. Kutanak beras segenggam dengan air yang agak banjir dan
> kucampur dengan beberapa sendok tepung gandum. Rasanya? Aduh..jangan tanya
> deh. Yang penting ada kalori yang mengisi badan suamiku. Kasihan..sudah dua
> hari perutnya tidak diisi apa-apa.
>
> "Umi, biar saja nasi itu buat anak-anak kita." Kata suamiku.
>
> Aku tersenyum manis kepadanya dengan meredam seluruh kesedihan dan
> kecemasanku di hari itu.
>
> "Nggak, yang ini untuk Abi. Nanti buat anak-anak Umi siapkan pisang rebus".
> Dalam hati aku bergumam, pisang rebus dari mana? Pisang mentah yang dibawah
> Mas Darman kemarin sudah habis dimakan anak-anak. Namun setidaknya bujukanku
> berhasil. Mas Darman mau memakan sarapan nasi campur tepung gandum itu.
>
> Pagi itu aku tidak memberikan sarapan kepada anak. Kurebus saja air campur
> sedikit gula jawa yang masih tersisa. Kuberikan semuanya kepada mereka. Aku
> cuma membasahi tenggorokan dengan seteguk air. Tetapi jam sepuluh pagi
> anak-anakku yang sedang dalam masa pertumbuhan itu mulai merengek-rengek
> minta makan. Mereka bahkan secara dramatis menguji kesabaranku dengan
> menunjuk-nunjuk tukang bubur dan ketupat tahu yang lewat di depan rumah
> petak kami. Padahal tidak pernah sekalipun aku menyuapi mereka dengan
> makanan semewah itu. Ya Allah ..mungkin rasa lapar yang mendesak mereka
> bersikap secara natural seperti itu.
>
> Kubujuk mereka dengan kepandaianku bercerita. Mereka suka mendengar
> ceritaku sehingga tersenyum-senyum gembira. Untuk beberapa saat rasa lapar
> dapat kami lupakan.. Namun setelah sholat Zuhur mereka kembali menyuarakan
> pesan yang dihembuskan dari lambung-lambung yang kosong. Kutatap segenggam
> beras terakhir yang menjadi tapal batas pertahanan terakhirku. Kumasak
> segenggam beras menjadi bubur yang sangat cair. Kububuhkan sedikit garam ke
> dalamnya Anak-anakku makan dengan lahap sekali. Nafas mereka
> mendengus-dengus saking lahapnya. Sayang mereka harus menggigit jari saat
> meminta tambahan. Bubur itu sudah habis. Kubawa panci itu kebelakang dan
> kusapu sisa bubur itu dengan jari-jariku. Kemudian akupun kembali mengisi
> kekosongan perut dengan air sumur yang dingin.
>
> Anak-anakku tertidur pulas. Melihat wajah mereka saat tidur merupakan salah
> satu hiburan yang mewah bagi jiwaku yang sedang kalut dan cemas.
> Mudah-mudahan Mas Darman cepat pulang dan membawa sedikit beras untuk
> makanan mereka.
>
> ***********
>
> Awal menikah dengan Mas Darman yang sekarang menjadi ayah anak-anakku,
> masalah ini tidak pernah terjadi. Dulu semua orang termasuk diriku sendiri
> heran bin ajaib, mengapa anak seorang tentara seperti aku kok jatuh 
> cintadengan Darman yang cuma tukang bakso. Dilihat dari tampang memang tidak 
> ada
> seorangpun yang dapat menafikan kegantengannya. Tapi suer ..aku naksir dia
> bukan karena kegantengannya.
>
> "Melangkah ke jenjang rumah tangga itu tidak cukup hanya dengan berbekal
> cinta." Papa menegurku dengan bahasa yang klise.
>
> "Pokoknya Mama cuma mau kamu nikah sama Gunawan yang calon dokter itu. Lain
> orang Mama tidak setuju". Mama menyebut-nyebut lagi nama Mas Gunawan.
> Padahal semua orang tahu dia sudah punya pacar. Apa belum ada yang bilang ke
> Mama.
>
> Berhari-hari mereka membujukku dengan berbagai cara. Akhirnya mereka
> meminta kak Mita, kakakku yang sudah menikah untuk membujukku. Hmm..Kak Mita
> sangat sayang padaku dan pasti akan senantiasa membelaku. Kesempatan itu
> justru akan kugunakan untuk balik membujuk kak Mita.
>
> "Yuli sayang..bagaimana sih ceritanya kok kamu bisa kecantol sama Mas
> Darman?"
>
> "Hmm..Tepatnya aku sendiri tidak tahu, kak. Tapi aku merasa terpesona
> dengan keindahan suaranya ketika mengumandangkan azan Subuh. Tentang ini
> Papa juga setuju lho sama aku".
>
> "Terus.."
>
> "Suatu hari aku memberhentikan gerobak baksonya. Aku beli semangkok bakso
> sambil mengucapkan terima kasih karena telah membangunkanku setiap Subuh."
>
> "Terus.."
>
> "Dia cuma menjawab, Ya sambil terus menundukkan pandangan. Semua
> pertanyaanku dijawabnya singkat tanpa berani menatap mataku. Melihat
> sikapnya yang sopan itu hatiku jadi berbunga-bunga. Kayaknya di situlah
> hatiku mulai tersangkut, kak Mitaku sayang."
>
> "Terus.."
>
> "Ya..sejak hari itu akupun bergerilya untuk menawan hatinya. Alhamdulillah,
> dia akhirnya mengirim sepucuk surat kepadaku."
>
> "Tapi Ya Allah, Yuli..dia kan cuma tukang bakso. Gerobak aja masih belum
> punya sendiri. Asal-usulnya dari Brebes juga nggak jelas." Kak Mita berdiri
> menghindari pelukanku. Panas juga kupingku mendengar kak Mita merendahkan
> Mas Darman. Nampaknya usahaku untuk menjadikan Kak Mita pendukung cintaku
> tidak berhasil.
>
> "Dia bukan cuma tukang bakso, kak. Dia tukang bakso yang soleh."
>
> "Adikku yang manis .. dengar sini baik-baik, ya. Pikirkan dulu dong
> masak-masak. Kamu yakin si Darman itu bisa membahagiakan kamu dan mencukupi
> keperluan kamu?"
>
> "Kalau membahagiakan Yes, aku yakin. Tapi kalau mencukupi keperluan,
> bukankah keperluan kita selama ini Allah yang memberi, kak?"
>
> "Yuli, menjalani kehidupan rumah tangga itu sangat sulit. Tidak bisa kita
> terus hidup hanya dengan setumpuk cinta di dada. Emangnya makanan pokok kamu
> cinta, apa?"
>
> "Cinta memang tidak bisa dimakan, kak. Yang bisa dimakan itu nasi. Tapi
> makan nasi di depan orang yang tidak kita cintai juga pasti tidak enak 
> kankak."
>
> Kak Mita benar-benar tidak mengerti lagi bagaimana menghadapiku. Dia bilang
> sejak aku sering taklim pemikiranku jadi aneh dan tidak karuan. Aku bilang
> justru sekarang aku merasa bahagia karena akibat taklim kini aku bersikap,
> berpikir dan bertindak hanya menurut kehendak Allah saja.
>
> Keluargaku menyadari kekerasan hatiku dalam masalah pilihan hidup. Mereka
> merasa tidak akan pernah bisa mengalahkanku. Papa takut juga ketika kuancam
> bahwa dosa cinta kami akan Papa tanggung jika kami dihalangi menikah.
> Padahal, aku cuma nakut-nakuti doang. Tapi 'gerilyaku' berikut ancaman itu
> membuahkan hasil. Papa akhirnya setuju untuk menerima kedatangan keluarga
> Mas Darman ke rumah kami.
>
> Mas Darman memberanikan diri ke rumah ditemani Ibunya yang baru datang dari
> kampung. Papa hanya menahan nafas melihat buah tangan yang dibawa keluarga
> Mas Darman; sekarung bawang merah dari Brebes. Sementara Mama tidak
> memperlihatkan mukanya sampai Mas Darman dan ibunya pulang.
>
> Dua bulan kemudian kami pun resmi menikah. Pernikahan kami berlangsung
> secara sederhana sekali. Mas Darman cuma bisa ngasih satu setengah juta
> rupiah. Maka setelah Ijab Kabul[3], kami cuma mengadakan doa selamat dengan
> mengundang tetangga dan keluarga terdekat saja
>
> Seusai acara Papa mengajakku berbicara empat mata.
>
> "Yuli, sekarang kamu telah menetapkan kehidupan kamu sendiri. Berbaktilah
> kepada suamimu dengan sepenuh hati. Tanggung jawab menafkahimu kini beralih
> kepada suamimu. Papa tidak boleh terlalu mencampuri urusan keluargamu. Tapi
> nak, ini ada uang tiga puluh juta. Memang dari dulu Papa sengaja nabung
> untuk keperluan kamu setelah menikah. Gunakanlah uang ini sebaik-baiknya. "
>
> Aku terharu menyadari betapa sayangnya Papa padaku. Aku menerima uang itu
> dengan tangan bergetar. Uang dari papa itu kami gunakan untuk membeli sebuah
> rumah petak kecil di kawasan perkampungan. Sisanya dipakai Mas Darman untuk
> modal jualan bakso.
>
> Berkat ketekunannya usaha Bakso Mas Darman cukup maju. Mulai dari
> berjualan bakso dengan gerobak dorong Mas Darman menapak selangkah demi
> selangkah sampai akhirnya mampu menyewa sebuah tempat untuk warung bakso.
> Kami menamakannya warung bakso 'Tawakal', sesuai dengan prinsip hidup Mas
> Darman.
>
> Pelanggan warung bakso Tawakal bertambah hari demi hari. Disamping bakso
> Tawakal enak dan ngegres[4], Mas Darman juga sangat ramah kepada pelanggan.
> Ketika usaha bakso itulah kami dianugerahi Allah tiga orang anak-anak yang
> lucu. Rasanya sempurna sudah kebahagiaan yang kurasakan bersama Mas Darman.
>
> Namun benar kata Nabi Muhammad saw; jika Allah sayang kepada seseorang maka
> Dia akan mengujinya. Ujian yang kami terima di tengah sepoi angin
> kebahagiaan itu tidak tanggung-tanggung. Warung Bakso Tawakal dituduh telah
> mencampuri baksonya dengan daging tikus! Ya Allah .Ya Gusti. Alangkah
> jahatnya fitnah itu. Aku sendiri sempat membaca selebaran fitnah itu yang
> katanya juga disebarkan melalui milis internet. Di situ tertulis pengalaman
> seorang bekas pelanggan bakso Tawakal yang mengaku melihat sendiri
> kepala-kepala tikus saat kebetulan numpang pipis ke belakang. MasyaAllah!
> Keji betul fitnah itu. Mana mungkin Mas Darman yang setiap pagi azan Subuh
> di masjid mencampuri daging baksonya dengan daging tikus!
>
> Dampak fitnah yang keji itu sungguh luar biasa. Warung Bakso Tawakal yang
> tadinya bisa menjual minimal tiga puluh mangkok sehari turun drastis. Untuk
> dapat lima mangkok sehari saja susahnya bukan main. Sampai akhirnya Mas
> Darman mengover kreditkan sewa warung ke orang lain. Usaha warung bakso kami
> resmi gulung tikar.
>
> Seperti biasanya Mas Darman tetap senyum dan optimistis. Sisa uang yang ada
> dibelikan gerobak dan mulailah ia kembali mendorong baksonya keliling
> kampung.
> Sayang ternyata citra buruk itu tidak hanya melekat ke warung bakso Tawakal
> yang sekarang sudah 'almarhum'. Bagaikan bayang-bayang badan, fitnah itu
> tetap menyertai Mas Darman ke manapun ia pergi. Alih-alih mendapat untung,
> gerobak bakso yang didorong Mas Darman keliling kampung malah menjadikan
> mulut orang gatal. Fitnah itu kian kuat tersebar. Bahkan pernah ada
> seseorang yang dulunya penggemar Bakso Mas Darman meludah jijik di depan
> gerobak. Saat itulah hati Mas Darman benar-benar pedih. Hari itu juga ia
> memutuskan untuk berhenti jualan bakso dan menjual gerobak dorongnya ke
> orang lain.
>
> Mulailah kami menghitung hari dengan sisa uang yang ada. Keran pengeluaran
> kuperketat habis-habisan. Pengeluaran hanya untuk makan dan tidak ada
> pengeluaran untuk yang lain. Meskipun tetap mengumbar senyum manisnya
> kepadaku, Mas Darman sering juga tertekan memikirkan pekerjaan apa yang
> dapat dilakukannya untuk tetap menghidupkan dapur keluarga. Aku sering
> menemaninya berdiskusi tentang mata pencaharian baru.
>
> "Pekerjaan yang Abi tahu dari dulu Cuma jualan bakso, Umi."
>
> "Abi kan bisa jualan lain, seperti gorengan misalnya, atau ketoprak?",
> kataku.
>
> "Umi benar. Tetapi untuk jualan makanan rasanya masyarakat sudah tidak bisa
> lagi mempercayai Abi. Biarlah Abi coba cara lain."
>
> "Cara lain seperti apa?", tanyaku.
>
> "Begini, dulu di Brebes Abi sering bantuin petani bawang merah di kebun.
> Jadi Abi cobalah membawa cangkul kita ini untuk mencari nafkah. Kebetulan di
> ujung jalan depan suka ada truk yang berhenti mencari kuli cangkul."
>
> "Kuli cangkul? Apa nggak ada pekerjaan lain, Abi?"
>
> "Ya, buat saat ini rasanya hanya itu yang rasional. Persediaan beras kita
> juga sudah semakin tipis, kan?"
>
> Ucapan Mas Darman bahwa sewaktu di Brebes dia biasa nyangkul, tidak
> sepenuhnya bisa kupercaya. Setahuku dia itu anak sekolahan yang drop out
> karena kekurangan biaya dan akhirnya memberanikan diri merantau ke Jakarta.
> Aku tidak yakin badannya tahan dipakai untuk nyangkul.
>
> Ternyata kecurigaanku benar. Sore harinya Mas Darman pulang dengan badan
> keletihan dan telapak tangan mengelupas. Aku hanya bisa menangis sambil
> memijiti tubuhnya dan melumuri tangannya yang melepuh dengan tumbukan daun
> keladi dicampur putih telur.
>
> Dalam kepedihan itu, Mas Darman masih mengajakku untuk beryukur kepada
> Allah. Memang Allah telah menebarkan dalam dirinya kekayaan hati. Justru
> ketabahan dan kepasrahan Mas Darman sering menjadikan tangisku berhenti.
>
> *******
>
> "Umi, mana makannya. Zakia lapar.". Suara Zakia tidak lagi sekeras tadi.
> Matanya yang kuyu memandangiku dengan setengah keyakinan. Justru
> adik-adiknya yang kini malah menangis tak henti-hentinya. Yamin kelaparan
> dan Dafa menangis karena tidak mendapatkan apa-apa pada puting susuku.
> Kugagahkan langkah menuju dapur. Tidak ada apa-apa lagi di sana kecuali
> beberapa sendok tepung gandum. Kutatapi gandum putih yang saat ini nilainya
> sama dengan nyawa anak-anakku. Ya Allah.. berat benar bahasa cinta-Mu kepada
> kami. Jadikanlah kami orang-orang yang memahami embun-embun cinta yang Kau
> nyatakan dalam bahasa lapar ini.
>
> Sebenarnya tiga sendok gandum itu kusediakan untuk Mas Darman. Entah
> mengapa aku tidak yakin hari ini ia berhasil dapat kerjaan. Tapi keluhan
> anak-anakku benar-benar hampir memutuskan tali jantungku. Maka kurebuslah
> tiga sendok gandum itu dengan air sumur dan sedikit garam dapur.
>
> Hanya bubur gandum yang cair itu saja yang dapat kuhidangkan untuk mereka.
> Tanganku menyuapi mereka dengan setengah gemetar menahan lapar. Mulut mereka
> menerimanya dengan lemah dan mata yang kuyu. Belum sampai ke suapan terakhir
> ketiga-tiganya telah berbaring keletihan dan tertidur.
>
> Kuseret langkah ke kamar mandi. Kubasahi wajah dengan air wudhuk. Aku
> tidak sabar untuk merintihkan semua luka ini kepada Yang Maha Pencipta.
> Akupun terbenam khusyuk dalam sujud-sujud yang panjang. Setelah salam,
> kuangkat tangan tinggi-tinggi dan kurintihkan sederet doa agar Allah segera
> meringankan kami sekeluarga dari penderitaan ini. Semoga doaku tidak
> terhalang oleh bunyi hujan yang masih turun dengan derasnya. Keletihan
> membuat badanku terkulai dan tertidur di atas sajadah.
>
> *********
>
> Aku tersentak bangun. Rupanya hujan sudah lama berhenti. Kutatapi jarum jam
> tua yang hampir mendekati angka sebelas. Mengapa Mas Darman belum pulang
> juga? Hatiku bertambah risau dan cemas. Apa yang menimpanya hari ini? Oh..
> ya Allah aku jadi sangat merinduinya. Detik-detik terasa kian menyiksa dalam
> menanti kepulangannya.
>
> Alhamdulillah tidak berapa lama kemudian kudengar suaranya mengetuk pintu.
>
> "Umi, Umi..buka pintu sayang." Akupun bergegas membuka pintu. Mas Darman
> berdiri di pintu dengan senyuman yang manis. Hah.. Subhanallah ada bau
> masakan yang sangat menggoda perut laparku dalam bungkusan yang dibawanya.
>
> "Nah Umi pasti belum makan, kan? Ayo sekalian bangunkan anak-anak. Ini Abi
> bawakan dua bungkus sate padang dan dua bungkus serabi manis. Pas seperti
> Manna dan Salwa[5] hidangan Allah untuk mereka yang soleh."
>
> "Subhanallah, dari mana Abi dapat uang membelinya?"
>
> "Makan dulu sayangku. Nanti Abi ceritakan. InsyaAllah yang ini Halalan
> Toyyiban[6]. "
>
> Maka anak-anakpun aku bangunkan. Mereka juga rindu dengan Abinya. Mas
> Darman memeluk mereka dalam canda yang ceria. Setiap pulang Mas Darman
> membawa kebahagiaan dalam hati anak-anak kami. Kami pun menikmati makanan
> itu dengan lahapnya. Aku bahagia sekali melihat mata anak-anakku
> berbinar-binar menikmati kue serabi yang manis.
>
> "Enak ya, Umi. Terima kasih ya Abi sudah belikan Zakia serabi." Zakia
> berbicara dengan mulut penuh dengan makanan.
>
> "Ya sayang. Zakia harus rajin berdoa ya agar Allah terus menerus memberi
> kita rezeki seperti ini."
>
> "Baik Abi. Umi juga sudah ngajarin Zakia cara berdoanya."
>
> ************ *
>
> Malam itu aku berbaring di atas lengan Mas Darman. Kucubiti perutnya supaya
> dia menceritakan kepadaku asal usul makanan itu. Sebab dari tadi dia cuma
> bilang dari Allah..dari Allah.
>
> "Tentu saja semuanya dari Allah, Abi. Tapi tentu ada sebabnya?" kataku.
>
> "Ya, ya..baik ndoro puteri. Begini ceritanya ..Dari pagi tadi Abi sudah
> setengah putus asa menunggu truk-truk pasir itu. Ada beberapa yang lewat
> tapi tidak mau mengambil Abi. Alasannya sekarang mereka sudah punya pekerja
> tetap di pool pasir. Akhirnya menjelang sore Abi bawa kaki melangkah ke mana
> saja ia ingin melangkah. Menjelang sholat Ashar Abi menyahut panggilan azan
> dari sebuah masjid dalam kompleks perumahan. Abi kenyangkan perut dengan air
> keran supaya jangan ingat makanan ketika sholat. Duh..segar benar rasanya.
> Kemudian Abi pun ikut sholat berjamaah. Setelah sholat ada seorang jamaah
> masjid yang bertanya.
>
> "Mas bawa-bawa cangkul mau kemana?"
>
> "Saya mau cari kerjaan, Pak. Apa saja."
>
> "Bisa membersihkan dan merapikan taman?"
>
> "InsyaAllah bisa, Pak."
>
> Maka Abipun ikut bapak itu ke rumahnya untuk membersihkan taman. Menjelang
> Maghrib pekerjaan itu selesai. Bapak itu memberikan uang cukup banyak, Mi.
> Lima puluh ribu! Nah, sebelum pergi, Abi melihat bapak itu meringis
> memegangi punggungnya. Rupanya bapak itu mengalami sakit punggung. Abi
> tawarkan kepadanya untuk diurut."
>
> "Memangnya Abi bisa ngurut?" Aku menyela dengan sebuah pertanyaan.
>
> "Ya itulah salah satu kemahiran Abi yang agak ajaib. Sebenarnya Abi tidak
> pernah belajar mengurut. Tapi Ibu bilang urutan Abi enak dan menyehatkan.
> Maka banyak juga dikampung orang yang minta diurut sama Abi. Nah, Umi
> rupanya urutan Abi juga mengena ke urat bapak ini. Dia merasa enak dan lega
> setelah diurut sama Abi. Umi tahu apa yang terjadi? Subhanallah, dia
> mengeluarkan lagi uang lima puluh ribu!"
>
> Aku memandang mata Mas Darman dengan penuh haru. Kulihat ada secercah
> harapan pada bola matanya. Kami berdua berpelukan bahagia sambil terus
> menggumamkan pujian kepada Allah.
>
> "Ya Allah betapa besar syukur kami kepadaMu. Engkau bawa kami ke puncak
> cobaan, agar dapat lebih mensyukuri sedikit rezki yang Engkau teteskan hari
> ini. Kami sangat memahami ya Allah, bahwa Engkau masih tetap sayang kepada
> kami."
>
> Semoga rintihan doa kami berdua dapat terus mi'raj menembus langit menuju
> pangkuan Ilahi, dan tidak lagi terbenam dalam deru hujan yang kembali turun
> dengan derasnya.
>
> Cikarang, 25 Juli 2007.
>
> Sebait cinta untuk isterik
>
> --
> Warm regards,
> Arifin Efendi
> Ratu Prabu 2
> Jl. Letjend. TB Simatupang Kav. 1B
> 12430.
>
> --
> you have this email because you join to "aga-madjid" GoogleGroups.
> to post emails, just send to :
> aga-madjid@googlegroups.com
> to join this group, send blank email to :
> aga-madjid-subscr...@googlegroups.com
> to quit from this group, just send email to :
> aga-madjid-unsubscr...@googlegroups.com
> if you wanna know me, please visit my facebook at aga8...@gmail.com
> or add me in Yahoo Messenger at aga.mad...@yahoo.com
> thanks for joinning this group.
>



-- 
r4n1

-- 
you have this email because you join to "aga-madjid" GoogleGroups.
to post emails, just send to :
aga-madjid@googlegroups.com
to join this group, send blank email to :
aga-madjid-subscr...@googlegroups.com
to quit from this group, just send email to :
aga-madjid-unsubscr...@googlegroups.com
if you wanna know me, please visit my facebook at aga8...@gmail.com
or add me in Yahoo Messenger at aga.mad...@yahoo.com
thanks for joinning this group.

Kirim email ke