syukron ...nice articel... 2010/6/8 Arifin Efendi <arifin.efe...@gmail.com>
> *ALLAH MASIH SAYANG ... > * > > Hujan kian deras mengguyur bumi. Sesekali aku harus memeluk Dafa yang masih > bayi ketika suara guruh menggedor-gedor pintu langit dengan kerasnya. Aku > memandang sayu ke arah anak-anakku yang tertidur di atas tikar pandan. > Duhai.. alangkah indah dan sucinya wajah mereka. Kutatapi wajah mereka satu > persatu dengan nikmatnya. Demikiankah wajah bidadari kecil dari syurga > Allah? > > Sejenak aku terlupa betapa seperempat jam yang lalu ketiga bidadariku itu > menangis karena lapar yang tidak tertahankan. Zakia yang paling besar > menangis dengan keras sekali sambil menghentak-hentakka n kaki. > > "Zakia lapar, Umi. Lapaar..mana nasinya?" Sementara Yamin yang masih tiga > tahun hanya bisa merengek-rengek panjang dengan kosa kata yang terbatas, > "Umi, mo mamam, Umi." > > Kutatapi segenggam beras yang masih tersisa. Subhanallah. .teringat aku > kepada Mas Darman, Abinya anak-anak. Tadi pagi ia berangkat tanpa sarapan > apapun kecuali segelas air sumur yang kumasak dengan kayu api. Bagaimana > kalau hari ini Abi tidak berhasil membawa seliter beraspun seperti kemarin. > > Abi cuma kuli upahan yang membawa cangkul ke mana-mana. Syukur sekali jika > ada truk yang menawarkan kerjaan menurunkan pasir atau mengisi tanah merah. > Dari kerja ikut truk biasanya Abi bisa dapat uang delapan ribu rupiah. > Alhamdulillah cukup untuk beli beras dua tiga liter. > > Kemarin Abi juga hanya sarapan segelas air sumur. Kuselipkan di saku > celananya yang lusuh uang seribu rupiah. Malam harinya Abi pulang dengan > seulas senyum kepasrahan. > > "Dapat kerjaan tadi, Bi?" > > "Alhamdulillah, belum, Mi." > > "Tadi siang sempat makan, nggak?" > > "Umi kan ngasih uang seribu rupiah. Abi belikan roti tujuh ratus rupiah. > Nih sisanya masih tiga ratus." > > "Memang masih ada roti harga tujuh ratus?" > > "Ada, tapi kayaknya harga aslinya seribuan deh. Mungkin Mas Budi ngasih > diskon ke Abi.". > > Abi tersenyum manis kepadaku sambil menyerahkan sisa uang tiga ratus ke > tanganku. Laa hawla walaa quwwata illa billaah[1]. Berarti hari ini Abi cuma > makan sepotong roti tujuh ratusan. Dan itu juga berarti besok tidak bisa > beli beras. Kuamati sisa beras yang cuma tinggal dua genggam lagi dan tiga > keping uang logam seratusan di telapak tanganku yang diam membisu. > > ******** > > Pagi itu aku tidak tega membiarkan Abi memanggul cangkulnya dengan perut > berisi air sumur. Kutanak beras segenggam dengan air yang agak banjir dan > kucampur dengan beberapa sendok tepung gandum. Rasanya? Aduh..jangan tanya > deh. Yang penting ada kalori yang mengisi badan suamiku. Kasihan..sudah dua > hari perutnya tidak diisi apa-apa. > > "Umi, biar saja nasi itu buat anak-anak kita." Kata suamiku. > > Aku tersenyum manis kepadanya dengan meredam seluruh kesedihan dan > kecemasanku di hari itu. > > "Nggak, yang ini untuk Abi. Nanti buat anak-anak Umi siapkan pisang rebus". > Dalam hati aku bergumam, pisang rebus dari mana? Pisang mentah yang dibawah > Mas Darman kemarin sudah habis dimakan anak-anak. Namun setidaknya bujukanku > berhasil. Mas Darman mau memakan sarapan nasi campur tepung gandum itu. > > Pagi itu aku tidak memberikan sarapan kepada anak. Kurebus saja air campur > sedikit gula jawa yang masih tersisa. Kuberikan semuanya kepada mereka. Aku > cuma membasahi tenggorokan dengan seteguk air. Tetapi jam sepuluh pagi > anak-anakku yang sedang dalam masa pertumbuhan itu mulai merengek-rengek > minta makan. Mereka bahkan secara dramatis menguji kesabaranku dengan > menunjuk-nunjuk tukang bubur dan ketupat tahu yang lewat di depan rumah > petak kami. Padahal tidak pernah sekalipun aku menyuapi mereka dengan > makanan semewah itu. Ya Allah ..mungkin rasa lapar yang mendesak mereka > bersikap secara natural seperti itu. > > Kubujuk mereka dengan kepandaianku bercerita. Mereka suka mendengar > ceritaku sehingga tersenyum-senyum gembira. Untuk beberapa saat rasa lapar > dapat kami lupakan.. Namun setelah sholat Zuhur mereka kembali menyuarakan > pesan yang dihembuskan dari lambung-lambung yang kosong. Kutatap segenggam > beras terakhir yang menjadi tapal batas pertahanan terakhirku. Kumasak > segenggam beras menjadi bubur yang sangat cair. Kububuhkan sedikit garam ke > dalamnya Anak-anakku makan dengan lahap sekali. Nafas mereka > mendengus-dengus saking lahapnya. Sayang mereka harus menggigit jari saat > meminta tambahan. Bubur itu sudah habis. Kubawa panci itu kebelakang dan > kusapu sisa bubur itu dengan jari-jariku. Kemudian akupun kembali mengisi > kekosongan perut dengan air sumur yang dingin. > > Anak-anakku tertidur pulas. Melihat wajah mereka saat tidur merupakan salah > satu hiburan yang mewah bagi jiwaku yang sedang kalut dan cemas. > Mudah-mudahan Mas Darman cepat pulang dan membawa sedikit beras untuk > makanan mereka. > > *********** > > Awal menikah dengan Mas Darman yang sekarang menjadi ayah anak-anakku, > masalah ini tidak pernah terjadi. Dulu semua orang termasuk diriku sendiri > heran bin ajaib, mengapa anak seorang tentara seperti aku kok jatuh > cintadengan Darman yang cuma tukang bakso. Dilihat dari tampang memang tidak > ada > seorangpun yang dapat menafikan kegantengannya. Tapi suer ..aku naksir dia > bukan karena kegantengannya. > > "Melangkah ke jenjang rumah tangga itu tidak cukup hanya dengan berbekal > cinta." Papa menegurku dengan bahasa yang klise. > > "Pokoknya Mama cuma mau kamu nikah sama Gunawan yang calon dokter itu. Lain > orang Mama tidak setuju". Mama menyebut-nyebut lagi nama Mas Gunawan. > Padahal semua orang tahu dia sudah punya pacar. Apa belum ada yang bilang ke > Mama. > > Berhari-hari mereka membujukku dengan berbagai cara. Akhirnya mereka > meminta kak Mita, kakakku yang sudah menikah untuk membujukku. Hmm..Kak Mita > sangat sayang padaku dan pasti akan senantiasa membelaku. Kesempatan itu > justru akan kugunakan untuk balik membujuk kak Mita. > > "Yuli sayang..bagaimana sih ceritanya kok kamu bisa kecantol sama Mas > Darman?" > > "Hmm..Tepatnya aku sendiri tidak tahu, kak. Tapi aku merasa terpesona > dengan keindahan suaranya ketika mengumandangkan azan Subuh. Tentang ini > Papa juga setuju lho sama aku". > > "Terus.." > > "Suatu hari aku memberhentikan gerobak baksonya. Aku beli semangkok bakso > sambil mengucapkan terima kasih karena telah membangunkanku setiap Subuh." > > "Terus.." > > "Dia cuma menjawab, Ya sambil terus menundukkan pandangan. Semua > pertanyaanku dijawabnya singkat tanpa berani menatap mataku. Melihat > sikapnya yang sopan itu hatiku jadi berbunga-bunga. Kayaknya di situlah > hatiku mulai tersangkut, kak Mitaku sayang." > > "Terus.." > > "Ya..sejak hari itu akupun bergerilya untuk menawan hatinya. Alhamdulillah, > dia akhirnya mengirim sepucuk surat kepadaku." > > "Tapi Ya Allah, Yuli..dia kan cuma tukang bakso. Gerobak aja masih belum > punya sendiri. Asal-usulnya dari Brebes juga nggak jelas." Kak Mita berdiri > menghindari pelukanku. Panas juga kupingku mendengar kak Mita merendahkan > Mas Darman. Nampaknya usahaku untuk menjadikan Kak Mita pendukung cintaku > tidak berhasil. > > "Dia bukan cuma tukang bakso, kak. Dia tukang bakso yang soleh." > > "Adikku yang manis .. dengar sini baik-baik, ya. Pikirkan dulu dong > masak-masak. Kamu yakin si Darman itu bisa membahagiakan kamu dan mencukupi > keperluan kamu?" > > "Kalau membahagiakan Yes, aku yakin. Tapi kalau mencukupi keperluan, > bukankah keperluan kita selama ini Allah yang memberi, kak?" > > "Yuli, menjalani kehidupan rumah tangga itu sangat sulit. Tidak bisa kita > terus hidup hanya dengan setumpuk cinta di dada. Emangnya makanan pokok kamu > cinta, apa?" > > "Cinta memang tidak bisa dimakan, kak. Yang bisa dimakan itu nasi. Tapi > makan nasi di depan orang yang tidak kita cintai juga pasti tidak enak > kankak." > > Kak Mita benar-benar tidak mengerti lagi bagaimana menghadapiku. Dia bilang > sejak aku sering taklim pemikiranku jadi aneh dan tidak karuan. Aku bilang > justru sekarang aku merasa bahagia karena akibat taklim kini aku bersikap, > berpikir dan bertindak hanya menurut kehendak Allah saja. > > Keluargaku menyadari kekerasan hatiku dalam masalah pilihan hidup. Mereka > merasa tidak akan pernah bisa mengalahkanku. Papa takut juga ketika kuancam > bahwa dosa cinta kami akan Papa tanggung jika kami dihalangi menikah. > Padahal, aku cuma nakut-nakuti doang. Tapi 'gerilyaku' berikut ancaman itu > membuahkan hasil. Papa akhirnya setuju untuk menerima kedatangan keluarga > Mas Darman ke rumah kami. > > Mas Darman memberanikan diri ke rumah ditemani Ibunya yang baru datang dari > kampung. Papa hanya menahan nafas melihat buah tangan yang dibawa keluarga > Mas Darman; sekarung bawang merah dari Brebes. Sementara Mama tidak > memperlihatkan mukanya sampai Mas Darman dan ibunya pulang. > > Dua bulan kemudian kami pun resmi menikah. Pernikahan kami berlangsung > secara sederhana sekali. Mas Darman cuma bisa ngasih satu setengah juta > rupiah. Maka setelah Ijab Kabul[3], kami cuma mengadakan doa selamat dengan > mengundang tetangga dan keluarga terdekat saja > > Seusai acara Papa mengajakku berbicara empat mata. > > "Yuli, sekarang kamu telah menetapkan kehidupan kamu sendiri. Berbaktilah > kepada suamimu dengan sepenuh hati. Tanggung jawab menafkahimu kini beralih > kepada suamimu. Papa tidak boleh terlalu mencampuri urusan keluargamu. Tapi > nak, ini ada uang tiga puluh juta. Memang dari dulu Papa sengaja nabung > untuk keperluan kamu setelah menikah. Gunakanlah uang ini sebaik-baiknya. " > > Aku terharu menyadari betapa sayangnya Papa padaku. Aku menerima uang itu > dengan tangan bergetar. Uang dari papa itu kami gunakan untuk membeli sebuah > rumah petak kecil di kawasan perkampungan. Sisanya dipakai Mas Darman untuk > modal jualan bakso. > > Berkat ketekunannya usaha Bakso Mas Darman cukup maju. Mulai dari > berjualan bakso dengan gerobak dorong Mas Darman menapak selangkah demi > selangkah sampai akhirnya mampu menyewa sebuah tempat untuk warung bakso. > Kami menamakannya warung bakso 'Tawakal', sesuai dengan prinsip hidup Mas > Darman. > > Pelanggan warung bakso Tawakal bertambah hari demi hari. Disamping bakso > Tawakal enak dan ngegres[4], Mas Darman juga sangat ramah kepada pelanggan. > Ketika usaha bakso itulah kami dianugerahi Allah tiga orang anak-anak yang > lucu. Rasanya sempurna sudah kebahagiaan yang kurasakan bersama Mas Darman. > > Namun benar kata Nabi Muhammad saw; jika Allah sayang kepada seseorang maka > Dia akan mengujinya. Ujian yang kami terima di tengah sepoi angin > kebahagiaan itu tidak tanggung-tanggung. Warung Bakso Tawakal dituduh telah > mencampuri baksonya dengan daging tikus! Ya Allah .Ya Gusti. Alangkah > jahatnya fitnah itu. Aku sendiri sempat membaca selebaran fitnah itu yang > katanya juga disebarkan melalui milis internet. Di situ tertulis pengalaman > seorang bekas pelanggan bakso Tawakal yang mengaku melihat sendiri > kepala-kepala tikus saat kebetulan numpang pipis ke belakang. MasyaAllah! > Keji betul fitnah itu. Mana mungkin Mas Darman yang setiap pagi azan Subuh > di masjid mencampuri daging baksonya dengan daging tikus! > > Dampak fitnah yang keji itu sungguh luar biasa. Warung Bakso Tawakal yang > tadinya bisa menjual minimal tiga puluh mangkok sehari turun drastis. Untuk > dapat lima mangkok sehari saja susahnya bukan main. Sampai akhirnya Mas > Darman mengover kreditkan sewa warung ke orang lain. Usaha warung bakso kami > resmi gulung tikar. > > Seperti biasanya Mas Darman tetap senyum dan optimistis. Sisa uang yang ada > dibelikan gerobak dan mulailah ia kembali mendorong baksonya keliling > kampung. > Sayang ternyata citra buruk itu tidak hanya melekat ke warung bakso Tawakal > yang sekarang sudah 'almarhum'. Bagaikan bayang-bayang badan, fitnah itu > tetap menyertai Mas Darman ke manapun ia pergi. Alih-alih mendapat untung, > gerobak bakso yang didorong Mas Darman keliling kampung malah menjadikan > mulut orang gatal. Fitnah itu kian kuat tersebar. Bahkan pernah ada > seseorang yang dulunya penggemar Bakso Mas Darman meludah jijik di depan > gerobak. Saat itulah hati Mas Darman benar-benar pedih. Hari itu juga ia > memutuskan untuk berhenti jualan bakso dan menjual gerobak dorongnya ke > orang lain. > > Mulailah kami menghitung hari dengan sisa uang yang ada. Keran pengeluaran > kuperketat habis-habisan. Pengeluaran hanya untuk makan dan tidak ada > pengeluaran untuk yang lain. Meskipun tetap mengumbar senyum manisnya > kepadaku, Mas Darman sering juga tertekan memikirkan pekerjaan apa yang > dapat dilakukannya untuk tetap menghidupkan dapur keluarga. Aku sering > menemaninya berdiskusi tentang mata pencaharian baru. > > "Pekerjaan yang Abi tahu dari dulu Cuma jualan bakso, Umi." > > "Abi kan bisa jualan lain, seperti gorengan misalnya, atau ketoprak?", > kataku. > > "Umi benar. Tetapi untuk jualan makanan rasanya masyarakat sudah tidak bisa > lagi mempercayai Abi. Biarlah Abi coba cara lain." > > "Cara lain seperti apa?", tanyaku. > > "Begini, dulu di Brebes Abi sering bantuin petani bawang merah di kebun. > Jadi Abi cobalah membawa cangkul kita ini untuk mencari nafkah. Kebetulan di > ujung jalan depan suka ada truk yang berhenti mencari kuli cangkul." > > "Kuli cangkul? Apa nggak ada pekerjaan lain, Abi?" > > "Ya, buat saat ini rasanya hanya itu yang rasional. Persediaan beras kita > juga sudah semakin tipis, kan?" > > Ucapan Mas Darman bahwa sewaktu di Brebes dia biasa nyangkul, tidak > sepenuhnya bisa kupercaya. Setahuku dia itu anak sekolahan yang drop out > karena kekurangan biaya dan akhirnya memberanikan diri merantau ke Jakarta. > Aku tidak yakin badannya tahan dipakai untuk nyangkul. > > Ternyata kecurigaanku benar. Sore harinya Mas Darman pulang dengan badan > keletihan dan telapak tangan mengelupas. Aku hanya bisa menangis sambil > memijiti tubuhnya dan melumuri tangannya yang melepuh dengan tumbukan daun > keladi dicampur putih telur. > > Dalam kepedihan itu, Mas Darman masih mengajakku untuk beryukur kepada > Allah. Memang Allah telah menebarkan dalam dirinya kekayaan hati. Justru > ketabahan dan kepasrahan Mas Darman sering menjadikan tangisku berhenti. > > ******* > > "Umi, mana makannya. Zakia lapar.". Suara Zakia tidak lagi sekeras tadi. > Matanya yang kuyu memandangiku dengan setengah keyakinan. Justru > adik-adiknya yang kini malah menangis tak henti-hentinya. Yamin kelaparan > dan Dafa menangis karena tidak mendapatkan apa-apa pada puting susuku. > Kugagahkan langkah menuju dapur. Tidak ada apa-apa lagi di sana kecuali > beberapa sendok tepung gandum. Kutatapi gandum putih yang saat ini nilainya > sama dengan nyawa anak-anakku. Ya Allah.. berat benar bahasa cinta-Mu kepada > kami. Jadikanlah kami orang-orang yang memahami embun-embun cinta yang Kau > nyatakan dalam bahasa lapar ini. > > Sebenarnya tiga sendok gandum itu kusediakan untuk Mas Darman. Entah > mengapa aku tidak yakin hari ini ia berhasil dapat kerjaan. Tapi keluhan > anak-anakku benar-benar hampir memutuskan tali jantungku. Maka kurebuslah > tiga sendok gandum itu dengan air sumur dan sedikit garam dapur. > > Hanya bubur gandum yang cair itu saja yang dapat kuhidangkan untuk mereka. > Tanganku menyuapi mereka dengan setengah gemetar menahan lapar. Mulut mereka > menerimanya dengan lemah dan mata yang kuyu. Belum sampai ke suapan terakhir > ketiga-tiganya telah berbaring keletihan dan tertidur. > > Kuseret langkah ke kamar mandi. Kubasahi wajah dengan air wudhuk. Aku > tidak sabar untuk merintihkan semua luka ini kepada Yang Maha Pencipta. > Akupun terbenam khusyuk dalam sujud-sujud yang panjang. Setelah salam, > kuangkat tangan tinggi-tinggi dan kurintihkan sederet doa agar Allah segera > meringankan kami sekeluarga dari penderitaan ini. Semoga doaku tidak > terhalang oleh bunyi hujan yang masih turun dengan derasnya. Keletihan > membuat badanku terkulai dan tertidur di atas sajadah. > > ********* > > Aku tersentak bangun. Rupanya hujan sudah lama berhenti. Kutatapi jarum jam > tua yang hampir mendekati angka sebelas. Mengapa Mas Darman belum pulang > juga? Hatiku bertambah risau dan cemas. Apa yang menimpanya hari ini? Oh.. > ya Allah aku jadi sangat merinduinya. Detik-detik terasa kian menyiksa dalam > menanti kepulangannya. > > Alhamdulillah tidak berapa lama kemudian kudengar suaranya mengetuk pintu. > > "Umi, Umi..buka pintu sayang." Akupun bergegas membuka pintu. Mas Darman > berdiri di pintu dengan senyuman yang manis. Hah.. Subhanallah ada bau > masakan yang sangat menggoda perut laparku dalam bungkusan yang dibawanya. > > "Nah Umi pasti belum makan, kan? Ayo sekalian bangunkan anak-anak. Ini Abi > bawakan dua bungkus sate padang dan dua bungkus serabi manis. Pas seperti > Manna dan Salwa[5] hidangan Allah untuk mereka yang soleh." > > "Subhanallah, dari mana Abi dapat uang membelinya?" > > "Makan dulu sayangku. Nanti Abi ceritakan. InsyaAllah yang ini Halalan > Toyyiban[6]. " > > Maka anak-anakpun aku bangunkan. Mereka juga rindu dengan Abinya. Mas > Darman memeluk mereka dalam canda yang ceria. Setiap pulang Mas Darman > membawa kebahagiaan dalam hati anak-anak kami. Kami pun menikmati makanan > itu dengan lahapnya. Aku bahagia sekali melihat mata anak-anakku > berbinar-binar menikmati kue serabi yang manis. > > "Enak ya, Umi. Terima kasih ya Abi sudah belikan Zakia serabi." Zakia > berbicara dengan mulut penuh dengan makanan. > > "Ya sayang. Zakia harus rajin berdoa ya agar Allah terus menerus memberi > kita rezeki seperti ini." > > "Baik Abi. Umi juga sudah ngajarin Zakia cara berdoanya." > > ************ * > > Malam itu aku berbaring di atas lengan Mas Darman. Kucubiti perutnya supaya > dia menceritakan kepadaku asal usul makanan itu. Sebab dari tadi dia cuma > bilang dari Allah..dari Allah. > > "Tentu saja semuanya dari Allah, Abi. Tapi tentu ada sebabnya?" kataku. > > "Ya, ya..baik ndoro puteri. Begini ceritanya ..Dari pagi tadi Abi sudah > setengah putus asa menunggu truk-truk pasir itu. Ada beberapa yang lewat > tapi tidak mau mengambil Abi. Alasannya sekarang mereka sudah punya pekerja > tetap di pool pasir. Akhirnya menjelang sore Abi bawa kaki melangkah ke mana > saja ia ingin melangkah. Menjelang sholat Ashar Abi menyahut panggilan azan > dari sebuah masjid dalam kompleks perumahan. Abi kenyangkan perut dengan air > keran supaya jangan ingat makanan ketika sholat. Duh..segar benar rasanya. > Kemudian Abi pun ikut sholat berjamaah. Setelah sholat ada seorang jamaah > masjid yang bertanya. > > "Mas bawa-bawa cangkul mau kemana?" > > "Saya mau cari kerjaan, Pak. Apa saja." > > "Bisa membersihkan dan merapikan taman?" > > "InsyaAllah bisa, Pak." > > Maka Abipun ikut bapak itu ke rumahnya untuk membersihkan taman. Menjelang > Maghrib pekerjaan itu selesai. Bapak itu memberikan uang cukup banyak, Mi. > Lima puluh ribu! Nah, sebelum pergi, Abi melihat bapak itu meringis > memegangi punggungnya. Rupanya bapak itu mengalami sakit punggung. Abi > tawarkan kepadanya untuk diurut." > > "Memangnya Abi bisa ngurut?" Aku menyela dengan sebuah pertanyaan. > > "Ya itulah salah satu kemahiran Abi yang agak ajaib. Sebenarnya Abi tidak > pernah belajar mengurut. Tapi Ibu bilang urutan Abi enak dan menyehatkan. > Maka banyak juga dikampung orang yang minta diurut sama Abi. Nah, Umi > rupanya urutan Abi juga mengena ke urat bapak ini. Dia merasa enak dan lega > setelah diurut sama Abi. Umi tahu apa yang terjadi? Subhanallah, dia > mengeluarkan lagi uang lima puluh ribu!" > > Aku memandang mata Mas Darman dengan penuh haru. Kulihat ada secercah > harapan pada bola matanya. Kami berdua berpelukan bahagia sambil terus > menggumamkan pujian kepada Allah. > > "Ya Allah betapa besar syukur kami kepadaMu. Engkau bawa kami ke puncak > cobaan, agar dapat lebih mensyukuri sedikit rezki yang Engkau teteskan hari > ini. Kami sangat memahami ya Allah, bahwa Engkau masih tetap sayang kepada > kami." > > Semoga rintihan doa kami berdua dapat terus mi'raj menembus langit menuju > pangkuan Ilahi, dan tidak lagi terbenam dalam deru hujan yang kembali turun > dengan derasnya. > > Cikarang, 25 Juli 2007. > > Sebait cinta untuk isterik > > -- > Warm regards, > Arifin Efendi > Ratu Prabu 2 > Jl. Letjend. TB Simatupang Kav. 1B > 12430. > > -- > you have this email because you join to "aga-madjid" GoogleGroups. > to post emails, just send to : > aga-madjid@googlegroups.com > to join this group, send blank email to : > aga-madjid-subscr...@googlegroups.com > to quit from this group, just send email to : > aga-madjid-unsubscr...@googlegroups.com > if you wanna know me, please visit my facebook at aga8...@gmail.com > or add me in Yahoo Messenger at aga.mad...@yahoo.com > thanks for joinning this group. > -- r4n1 -- you have this email because you join to "aga-madjid" GoogleGroups. to post emails, just send to : aga-madjid@googlegroups.com to join this group, send blank email to : aga-madjid-subscr...@googlegroups.com to quit from this group, just send email to : aga-madjid-unsubscr...@googlegroups.com if you wanna know me, please visit my facebook at aga8...@gmail.com or add me in Yahoo Messenger at aga.mad...@yahoo.com thanks for joinning this group.