Coba pak dipisahkan antara bagus untuk orang-perorang dengan bagus untuk kita 
semua sebagai anak bangsa.

Untuk pengusaha eksportir memang menjadi bagus karena tadinya dari jumlah 
barang yang sama cuma dapat 9 M rupiah, sekarang dengan kurs baru dapat 12 M 
rupiah.

Tapi perlu diingat bahwa selisih 3 M yang diperoleh pengusaha eksportir bukan 
diperoleh dari luar karena yang diperoleh dari luar tetap saja 1 juta US $. 
Dengan kata lain 3 M itu adalah perlemahan daya beli orang-orang yang terlibat 
dalam proses eksport tersebut karena dengan meningkatnya kurs maka harga barang 
eksport naik sementara gaji tetapnya jumlahnya nggak berubah. Tentu ini tidak 
akan tahan lama karena tentu mereka juga menuntut penyesuaian yang akhirnya 
akan berada pada daya beli seperti semula.

Korban disini adalah orang-orang yang bergaji tetap seperti PNS, ABRI dan 
pensiunan. Mereka tidak mudah mendapatkan perubahan gaji seperti di swsasta. 
Oleh karenanya kemudia terlalu banyak PNS, ABRI yang ngobyek bahkan korup. 
Meningkatnya pengalaman, pendidikan, jabatan tidak sejalan dengan meningkatnya 
kesejahteraan karena termakan devaluasi dan inflasi yang tinggi.

Logika yang pak Amitz sampaikan "Dengan begitu penjual (yaitu Indonesia) cukup 
men-quote harga 750 ribu US$ untuk mendapatkan nilai 9 milyar rupiah yang sama, 
yang artinya Indonesia bisa menjual dengan harga murah (relatif terhadap US$) 
untuk mendapatkan untung yang sama!"  Juga nggak kena. Karena yang dibutuhkan 
bangsa ini untuk bisa import adalah mata uang asing yang tidak diperlukan atau 
dissimpen di luar negeri oleh para penguusaha. Pemerintah memerlukan mata uang 
asing itu ditukar dengan rupiah untuk membiayai produksi dalam negeri  dan 
mepersilahkan untuk digunakan importir untuk mengimport barang yang diperlukan. 

Rupiah hanya perantara diantara kita saja pak. Kalau perlu rupiah kita sebut 
sebagai kupon internal saja, bahkan kalau kita mau gotong royong dengan tanda 
bukan uang juga bisa selama ada barang yang di jual keluar negara dan bisa 
dipakai untuk beli sesuatu dari luar negara.


Dari contoh yang anda berikan maka kecendrungan pembeli di luar negara untuk 
menawar misalkan 850 ribu saja kan sudah tambah keuntungan 100 ribu wong harga 
pokoknya turun jadi 750 ribu, ini juga besar sehingga 'pendapatan' pemerintah 
dari kebutuhan pengusaha akan rupiah juga berkurang dari 1 juta menjadi 850 
ribu US $.

Jadi logika orde baru jelas ngawur....


Salam

RM





--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, Amitz Sekali <vertha...@...> 
wrote:
>
> 
> >Naik turunnya kurs tidak berpengaruh terhadap pendapatan negara yang 1 juta 
> >US $ tadi malah yang terjadi pembeli diluar negeri malah minta harga 
> >diturunkan dari 1 juta US $ karena kurs tadi, ia hanya berpengaruh terhadap 
> >pengupahan yang lebih rendah karena tadinya 1 juta  x 9000 = 9 Milyar rupiah 
> >menjadi 12 Milyar rupiah dengan kurs 12.000. Dan pada akhirnya akan 
> >menaikkan upah sehingga daya beli orang-orang yang terlibat pada kegiatan 
> >eksport tersebut kembali ke angka normal atau angka sebelumnya.
> 
> Tolong jangan dicampur adukkan Pak antara proses tawar menawar dengan 
> mekanisme pertukaran uang ini. Meskipun sebenarnya tidak akan mempengaruhi 
> urutan logikanya, tapi jadi bikin bingung pembaca Pak.
> 
> Bagus dong kalau 1 juta US$ omzet yang tadinya cuma bisa ditukarkan dengan 
> uang 9 milyar rupiah, jadi bisa ditukarkan dengan uang 12 milyar rupiah! 
> Dengan begitu penjual (yaitu Indonesia) cukup men-quote harga 750 ribu US$ 
> untuk mendapatkan nilai 9 milyar rupiah yang sama, yang artinya Indonesia 
> bisa menjual dengan harga murah (relatif terhadap US$) untuk mendapatkan 
> untung yang sama!
> 
> Ekspor terus bertambah, dan bertambah. Orang yang menukar US$ untuk 
> mendapatkan rupiah jadi lebih banyak, yang artinya permintaan terhadap rupiah 
> naik, yang berarti mata uang rupiah menguat. Akibatnya harga barang ekspor 
> (dalam US$) terpaksa harus dinaikkan sampai ke titik termahal yang rela 
> dibeli pembeli. Tercapailah kesetimbangan.
> 
> Kesetimbangan ini dipengaruhi juga oleh mata koin yang satunya lagi, yaitu 
> aktivitas impor.
> 
> >Jadi jelas bahwa paradigma yang didengungkan selama ini kurs murah untuk 
> >meningkatkan daya saing sebenarnya adalah proses pembodohan oleh orde baru 
> >yang nggak mampu menahan nilai rupiah.
> 
> Lebih tepatnya, pada suatu titik waktu, kemampuan ekspor Indonesia begitu 
> parah atau minimnya, dan impor begitu besarnya, sampai2 titik 
> kesetimbangannya di nilai rupiah yang rendah sekali (relatif terhadap mata 
> uang lain). Tapi masih tidak sepenuhnya salah kalau nilai rupiah yang rendah 
> otomatis meningkatkan daya saing.
> 
> Salam,
>


Kirim email ke