Dari Senin lalu sebenarnya saya ingin sekali memforward tyulisan ini ke millis 
ini. Bukan karena kawan2 disini dianggap belum membaca, namun just ingin 
menekankan ini menjelang PilPres.

Oka Widana

ANALISIS EKONOMI
Menakar Kinerja SBY-JK 
Senin, 27 April 2009 | 03:02 WIB 
FAISAL BASRI
Cukup banyak perbaikan yang telah dihasilkan pemerintahan Susilo Bambang 
Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK). Tingkat kesejahteraan rakyat rerata naik. Angka 
pengangguran dan jumlah penduduk miskin berkurang.

Masih banyak lagi yang telah diklaim sebagai keberhasilan sebagaimana yang 
dikampanyekan partai berkuasa. Good is not good enough. Pepohonan di hutan 
belantara bisa tumbuh walau tanpa disirami dan dipupuk. Pohon yang punya daya 
tahan kuat akan tumbuh kokoh karena memperoleh banyak sinar mentari dan akarnya 
bisa menerabas jauh ke dalam perut bumi menggapai sumber air dan makanan lebih 
banyak.
Pepohonan yang lemah akan tumbuh kerdil karena kurang mendapatkan sinar mentari 
dan akarnya hanya bisa menempel di batang pepohonan yang lebih besar. Fauna 
yang hidup di hutan berkembang biak secara alami. Manusia pun bisa bertahan 
hidup sendiri di hutan belantara sebagaimana digambarkan dalam sosok Tarzan.

Kita hidup di alam peradaban yang tentunya bisa berbuat lebih berarti ketimbang 
sumbangsih hutan yang nyata-nyata telah menjadi penyangga kehidupan umat 
manusia. Bermodalkan akal budi dan pengetahuan, kita berkewajiban mengembangkan 
perekonomian yang berperadaban kian tinggi dan memajukan martabat manusia. 
Bertolak dari landasan di atas, mari kita takar kinerja SBY-JK. Keduanya telah 
berjanji sewaktu kampanye lima tahun lalu. Selanjutnya, janji-janji tersebut 
dipatri di dalam Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).

Kinerja pemerintahan SBY-JK dengan gamblang bisa dinilai dengan mengacu pada 
RPJM ini. Kita mulai dengan target pertumbuhan ekonomi. Pada RPJM tercantum 
target pertumbuhan ekonomi rerata selama kurun waktu 2005-2009 adalah 6,6 
persen. Sudah bisa dipastikan target ini tidak akan tercapai karena pertumbuhan 
rerata selama 2005-2008 saja hanya 5,9 persen.


Cuma slogan

Hampir semua target untuk indikator ekonomi utama juga meleset. Yang paling 
terperosok adalah angka pengangguran dan kemiskinan. Target RPJM untuk angka 
pengangguran pada tahun 2008 adalah 6,6 persen, kenyataannya 8,4 persen. Untuk 
penduduk miskin, RPJM menargetkan 8,2 persen pada tahun 2009, sedangkan 
realisasi untuk 2008 (angka 2009 belum tersedia) adalah 15,4 persen.

Jadi, bisa dikatakan jargon progrowth, propoor, projob yang diusung 
pemerintahan SBY-JK cuma sebatas slogan. Penurunan angka pengangguran dan 
jumlah penduduk miskin yang terjadi selama lima tahun terakhir bisa dikatakan 
lebih bersifat alamiah. Kebijakan ekonomi sangat tumpul untuk memerangi 
pengangguran dan kemiskinan.

Selama tahun 2004-2008, anggaran untuk memerangi kemiskinan naik hampir empat 
kali lipat, tetapi angka kemiskinan hanya turun 1 persen saja. Bukti tumpulnya 
kebijakan ekonomi untuk memberantas kemiskinan terlihat pula dari perbandingan 
dengan negara-negara tetangga.
Dengan menggunakan ukuran pengeluaran kurang dari 1 dollar AS sehari 
(kemiskinan absolut), Laos berhasil mengurangi kemiskinan dari 22,8 persen pada 
tahun 2004 menjadi 12,2 persen pada tahun 2008.
Untuk periode yang sama, di Kamboja penduduk miskin turun dari 19 persen 
menjadi 8,7 persen, di Vietnam dari 7,8 persen menjadi 3 persen, dan di China 
dari 10,3 persen menjadi 6,1 persen. Penurunan di Indonesia adalah yang paling 
lambat, dari 7,4 persen menjadi 5,9 persen.

Pemerintahan SBY-JK juga bisa dipandang terseok-seok dalam memerangi 
pengangguran dan meningkatkan kualitas pekerja. Angka pengangguran terbuka 
memang turun sedikit dari 9,9 persen pada tahun 2004 menjadi 8,4 persen pada 
tahun 2008. Namun, pada periode yang sama terjadi peningkatan underemployment 
(separuh menganggur) dari 29,8 persen menjadi 30,3 persen.

Hal itu terlihat dari masih sangat dominannya pekerja di sektor informal, yakni 
sebesar 69 persen dari keseluruhan pekerja. Sektor industri manufaktur, yang 
merupakan penyerap tenaga kerja formal terbesar, justru makin sedikit menyerap 
pekerja.

Sampai saat ini sektor pertanian merupakan tumpuan utama dalam penyerapan 
tenaga kerja, yakni 43 persen. Sudah barang tentu sebagian besar mereka adalah 
pekerja informal. Kegagalan memperbesar porsi pekerja sektor formal merupakan 
salah satu alasan terpenting mengalami basis pajak perseorangan sangat rendah 
dan penerimaan pajak perseroan sangat bergantung pada segelintir perusahaan 
besar.
Inilah yang menyebabkan mengapa target nisbah pajak (tax ratio) yang tercantum 
di dalam RPJM sebesar 13,6 persen pada tahun 2009 hampir pasti tak terpenuhi. 
APBN Perubahan 2009 hanya mencantumkan nisbah pajak 12,1 persen.

Pemerintahan SBY-JK gagal untuk menghasilkan pola pertumbuhan ekonomi yang 
sehat dengan mengutamakan penguatan sektor produksi barang. Yang paling 
mencolok adalah kinerja industri manufaktur.
RPJM menargetkan sumbangan industri manufaktur di dalam produk domestik bruto 
sebesar 32,5 persen pada tahun 2008. Padahal, kenyataannya, sumbangan sektor 
ini tahun lalu hanya 27,9 persen. Secara keseluruhan, sektor produksi barang 
(tradable) makin terseok-seok dan kian tertinggal dari sektor jasa 
(nontradable). 

Tahun 2008, sektor tradable tumbuh hanya 3,3 persen, sedangkan sektor 
nontradable tumbuh menjulang sebesar 9,2 persen. Menyadari bahwa pertumbuhan 
nontradable yang tinggi lebih ditopang sektor jasa modern di kota besar, 
konsekuensi logisnya adalah ketimpangan pendapatan semakin memburuk, 
sebagaimana ditunjukkan oleh peningkatan indeks gini yang terus-menerus selama 
periode 2004-2007.

Sepatutnya penjajakan koalisi yang sedang gencar dilakukan elite partai tak 
melulu mengurusi pasangan calon presiden dan wakil presiden. Yang sungguh kita 
tunggu adalah tawaran konsep nyata, terukur, dan rasional tentang bagaimana 
kita menjawab tantangan dewasa ini dan ke depan di tengah perubahan konstelasi 
ekonomi politik global dan pergeseran pendulum ideologis.

Kalau tawarannya sebatas melanjutkan yang telah dicapai lima tahun terakhir, 
niscaya kita bakal kian tercecer, dan bahkan tersesat. Tapi bukan pula yang 
"gagah-gagahan" tak membumi, yang diturunkan dari kekeliruan membaca peta 
persoalan.

Masih ada waktu bagi calon presiden untuk mengoreksi tawaran pembaruan kontrak 
politik mereka. Kita punya modal dasar yang lebih dari cukup menguakkan masa 
depan yang gemilang.


Kirim email ke