10 Resep Sukses Bangsa Jepang
<http://romisatriawa hono.net/ 2007/06/13/ 10-resep- sukses-bangsa- jepang/>
 
10 resep yang membuat bangsa Jepang bisa sukses seperti sekarang. Tentu rumusan 
ini di beberapa sisi agak subyektif, hanya dari pengalaman hidup, studi, bisnis 
dan bergaul dengan orang Jepang di sekitar perfecture Saitama, Tokyo, Chiba, 
Yokohama. Intinya kita mencoba belajar sisi Jepang yang baik yang bisa diambil 
untuk membangun republik ini. Kalau ditanya apakah semua sisi bangsa Jepang 
selalu baik, tentu jawabannya tidak. Banyak juga budaya negatif yang tidak 
harus kita contoh [image: ;)]

*1. KERJA KERAS*

Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras. Rata-rata 
jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan 
dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 
jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun). Seorang pegawai di Jepang bisa 
menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain 
memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama. Seorang pekerja 
Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 
5-6 orang. Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan "agak memalukan" di 
Jepang, dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk "yang tidak dibutuhkan" 
oleh perusahaan. Di kampus, professor juga biasa pulang malam (tepatnya pagi 
[image: ;)] ), membuat mahasiswa nggak enak pulang duluan. Fenomena Karoshi 
(mati karena kerja keras) mungkin hanya ada di Jepang. Sebagian besar literatur 
menyebutkan bahwa dengan kerja keras inilah
 sebenarnya kebangkitan dan kemakmuran Jepang bisa tercapai.

*2. MALU*

Malu adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh 
diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu 
ketika mereka kalah dan pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit 
berubah ke fenomena "mengundurkan diri" bagi para pejabat (mentri,politikus, 
dsb) yang terlibat masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan tugasnya. Efek 
negatifnya mungkin adalah anak-anak SD, SMP yang kadang bunuh diri, karena 
nilainya jelek atau tidak naik kelas. Karena malu jugalah, orang Jepang lebih 
senang memilih jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya 
dengan memotong jalur di tengah jalan. Bagaimana mereka secara otomatis 
langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan, pembelian 
ticket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola, di halte bus, bahkan 
untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi menunggu 
giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya
 apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi 
kesepakatan umum.

*3. HIDUP HEMAT*

Orang Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap anti 
konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Di masa 
awal mulai kehidupan di Jepang, saya sempat terheran-heran dengan banyaknya 
orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar jam 19:30. Selidik punya 
selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan 
memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup. 
Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00. 
Contoh lain adalah para ibu rumah tangga yang rela naik
sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 20 atau 
30 yen. Banyak keluarga Jepang yang tidak memiliki mobil, bukan karena tidak 
mampu, tapi karena lebih hemat menggunakan bus dan kereta untuk bepergian. 
Termasuk saya dulu sempat berpikir kenapa pemanas ruangan menggunakan minyak 
tanah yang merepotkan masih digandrungi, padahal sudah cukup dengan AC yang ada 
mode dingin dan panas. Alasannya ternyata satu, minyak tanah lebih murah 
daripada listrik. Professor Jepang juga terbiasa naik sepeda tua ke kampus, 
bareng dengan mahasiswa-mahasiswa nya.

*4. LOYALITAS*

Loyalitas membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan 
rapi. Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang 
Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan. Mereka biasanya bertahan di satu atau 
dua perusahaan sampai pensiun. Ini mungkin implikasi dari Industri di Jepang 
yang kebanyakan hanya mau menerima fresh graduate, yang kemudian mereka latih 
dan didik sendiri sesuai dengan bidang garapan (core business) perusahaan. Kota 
Hofu mungkin sebuah contoh nyata. Hofu
dulunya adalah kota industri yang sangat tertinggal dengan penduduk yang 
terlalu padat. Loyalitas penduduk untuk tetap bertahan (tidak pergi ke luar 
kota) dan punya komitmen bersama untuk bekerja keras siang dan malam akhirnya 
mengubah Hofu menjadi kota makmur dan modern. Bahkan saat ini kota industri 
terbaik dengan produksi kendaraan mencapai 160.000 per tahun.

*5. INOVASI*

Jepang bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik 
temuan orang dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang diminati oleh 
masyarakat. Menarik membaca kisah Akio Morita yang mengembangkan Sony Walkman 
yang melegenda itu. Cassete Tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki 
oleh perusahaan Phillip Electronics. Tapi yang berhasil mengembangkan dan 
membundling model portable sebagai sebuah produk yang booming selama puluhan 
tahun adalah Akio Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu. Sampai tahun 
1995, tercatat lebih dari 300 model walkman lahir dan jumlah total produksi 
mencapai 150 juta produk. Teknik perakitan kendaraan roda empat juga bukan 
diciptakan orang Jepang, patennya dimiliki orang
Amerika. Tapi ternyata Jepang dengan inovasinya bisa mengembangkan industri 
perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah. Mobil yang dihasilkan juga 
relatif lebih murah, ringan, mudah dikendarai, mudah dirawat dan lebih hemat 
bahan bakar. Perusahaan Matsushita Electric yang dulu terkenal dengan sebutan 
"maneshita" (peniru) punya legenda sendiri dengan mesin pembuat rotinya. 
Inovasi dan ide dari seorang engineernya bernama Ikuko Tanaka yang berinisiatif 
untuk meniru teknik pembuatan roti dari sheef di Osaka
International Hotel, menghasilkan karya mesin pembuat roti (home bakery) 
bermerk Matsushita yang terkenal itu.

*6. PANTANG MENYERAH*

Sejarah membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang 
menyerah. Puluhan tahun dibawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke 
luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika restorasi Meiji 
(meiji ishin) datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner. 
Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak hanya 
menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu, bahkan 85% sumber 
energi Jepang berasal dari negara lain termasuk Indonesia. Kabarnya kalau 
Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30% wilayah Jepang akan gelap 
gulita [image: :)] Rentetan bencana terjadi di
tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, disusul dengan 
kalah perangnya Jepang, dan ditambahi dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo. 
Ternyata Jepang tidak habis. Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang sudah 
berhasil membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta cepat (shinkansen) 
. Mungkin cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur 
dan hampir tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945 masih 
mampu merangkak, mulai dari nol untuk membangun industri sehingga menjadi 
kerajaan bisnis di era kekinian. Akio Morita juga awalnya menjadi tertawaan 
orang ketika menawarkan produk Cassete Tapenya yang mungil ke berbagai negara 
lain. Tapi akhirnya melegenda dengan Sony Walkman-nya. Yang juga cukup unik 
bahwa ilmu dan teori dimana orang harus belajar dari kegagalan ini mulai 
diformulasikan di Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu kegagalan). Kapan-kapan 
saya akan kupas lebih jauh tentang ini [image: :)]

*7. BUDAYA BACA*

Jangan kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik), 
sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku 
atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di 
densha untuk membaca. Banyak penerbit yang mulai membuat man-ga (komik 
bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA. 
Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat 
minat baca masyarakat semakin tinggi. Saya
pernah membahas masalah komik pendidikan<http://romisatriawa hono.net/ 
2006/10/29/ komik-pendidikan /> diblog ini. Budaya baca orang Jepang juga 
didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa 
inggris, perancis, jerman, dsb).

Konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 
1684, seiring dibangunnya institut penerjemahan dan terus berkembang sampai 
jaman modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam 
beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan. Saya biasa membeli buku 
literatur terjemahan bahasa Jepang karena harganya lebih murah daripada buku 
asli (bahasa inggris).

*8. KERJASAMA KELOMPOK*

Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu bersifat 
individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim 
atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja, kondisi kampus 
dengan lab penelitiannya juga seperti itu, mengerjakan tugas mata kuliah 
biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam kelompok mungkin salah satu 
kekuatan terbesar orang Jepang. Ada anekdot bahwa "1orang professor Jepang akan 
kalah dengan satu orang professor Amerika, hanya 10 orang professor Amerika 
tidak akan bisa mengalahkan 10 orang professor Jepang yang berkelompok" . 
Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan "rin-gi" adalah ritual dalam 
kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan dalam "rin-gi".

*9. MANDIRI*

Sejak usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri. Irsyad, anak saya yang paling 
gede sempat merasakan masuk TK (Yochien) di Jepang. Dia harus membawa 3 tas 
besar berisi pakaian ganti, bento (bungkusan makan siang), sepatu ganti, 
buku-buku, handuk dan sebotol besar minuman yang menggantung di lehernya. Di 
Yochien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan bertanggung 
jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah 
hampir sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang tua.
Teman-temen seangkatan saya dulu di Saitama University mengandalkan kerja part 
time untuk biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang, 
mereka "meminjam" uang ke orang tua yang itu nanti mereka kembalikan di bulan 
berikutnya.

*10. JAGA TRADISI*

Perkembangan teknologi dan ekonomi, tidak membuat bangsa Jepang kehilangan 
tradisi dan budayanya. Budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidak bekerja 
masih ada dan hidup sampai saat ini. Budaya minta maaf masih menjadi reflek 
orang Jepang. Kalau suatu hari anda naik sepeda di Jepang dan menabrak pejalan 
kaki , maka jangan kaget kalau yang kita tabrak malah yang minta maaf duluan. 
Sampai saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata "tidak" untuk apabila 
mendapat tawaran dari orang lain. Jadi kita harus
hati-hati dalam pergaulan dengan orang Jepang karena "hai" belum tentu "ya" 
bagi orang Jepang [image: ;)] Pertanian merupakan tradisi leluhur dan aset 
penting di Jepang. 
 
Persaingan keras karena masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah, tidak 
menyurutkan langkah pemerintah Jepang untuk melindungi para petaninya. Kabarnya 
tanah yang dijadikan lahan pertanian mendapatkan pengurangan pajak yang 
signifikan, termasuk beberapa insentif lain untuk orang-orang yang masih 
bertahan di dunia pertanian. Pertanian
Jepang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.
 


Salam, 
~Vie 
http://virgina.multiply.com 
http://blog.360.yahoo.com/virghien 
http://kksmelati.multiply.com


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke