Ihza & Ihza Sama Kebalnya dengan Yusril? 
Oleh: Amrie Hakim*
[28/5/07] 
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=16799&cl=Kolom
Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra, baru-baru ini tergusur dari 
Istana. Ikut tersingkir bersama Yusril dalam reshuffle jilid dua Kabinet 
Indonesia Bersatu adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaludin. 
Sulit untuk tidak menghubungkan pencopotan Yusril dan Hamid dengan kasus 
pencairan dana Tommy Soeharto senilai US$ 10 juta dari Banque Nationale de 
Paris Paribas, London, pada 2004. 


Seperti telah banyak diberitakan, transfer dimulai saat Yusril menjadi Menteri 
Hukum dan Perundang-undangan (Menkumdang) dan berlanjut saat ia digantikan 
Hamid. Kasus Tommygate sangat menyedot perhatian publik luas karena melibatkan 
sejumlah pejabat dan lembaga penting. Ditambah lagi, kasus tersebut juga 
bersifat multidimensi karena diduga menyangkut hukum administrasi negara, 
tindak pidana pencucian uang, tindak pidana korupsi, dan juga praktik advokat. 

 

Meski demikian, artikel ini membatasi diskusi seputar kasus Tommygate dari 
sudut pandang praktik advokat. Karenanya, penulis sedapat mungkin menganalisis 
kasus ini berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU 
Advokat), peraturan pelaksana UU Advokat, Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI), 
serta peraturan yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

 

Seperti telah banyak diberitakan, yang menjadi sorotan dalam kasus ini adalah 
Ihza & Ihza yang mengurus pencairan dana Tommy di BNP Paribas London. Ihza & 
Ihza adalah kantor hukum yang didirikan Yusril. Adapun yang aktif mengurus 
pencairan dana Tommy di London adalah Hidayat Achyar, advokat yang juga senior 
partner di Ihza & Ihza..

 

Meski berstatus founding partner, Yusril sebenarnya bukan advokat sebagaimana 
dimaksud UU Advokat. Demikian pula dengan Yusron Ihza yang juga tercatat 
sebagai founding partner. Hal itu telah dikonfirmasi oleh pihak PERADI. Wakil 
Sekretaris PERADI, Hasanuddin Nasution, seperti dikutip Koran Tempo (13 Maret 
2007), menyatakan Yusril-Yusron belum memiliki izin advokat dari PERADI. Dari 
sini kemudian timbul pertanyaan, mengapa pihak yang bukan advokat dapat 
mendirikan kantor advokat?

 

Di dalam UU Advokat memang tidak tersedia aturan atau definisi yang khusus 
mengenai kantor advokat. Definisi kantor advokat baru ditemukan dalam peraturan 
pelaksana UU Advokat yaitu Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.11-HT.04.02 
Tahun 2004 (Kepmen No. M.11/2004). Pada Pasal 1 ayat (4) Kepmen No. M.11/2004 
dijelaskan bahwa: "Kantor Advokat Indonesia adalah suatu persekutuan perdata 
(maatschap) yang didirikan oleh para Advokat Indonesia yang mempunyai tugas 
memberikan pelayanan jasa hukum kepada masyarakat".

 

Selain itu, definisi tentang kantor advokat juga dapat ditemui dalam Petunjuk 
Teknis Pelaksanaan Peraturan PERADI No. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang 
untuk Calon Advokat (Juknis). Di dalam Angka 1 huruf a Juknis tersebut 
disebutkan bahwa: "Kantor Advokat adalah kantor yang didirikan oleh seorang 
atau lebih Advokat yang memberi jasa hukum sebagaimana dimaksud dalam UU 
Advokat dan para pendirinya terdaftar sebagai anggota PERADI".

 

Dari kedua peraturan tersebut cukup jelas bahwa kantor advokat hanya dapat 
didirikan oleh advokat. Sesuai Pasal 1 Angka (1) UU Advokat, yang dimaksud 
dengan advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam 
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan 
undang-undang ini.

 

Jadi, cukup jelas pula bahwa Ihza & Ihza tidak memenuhi syarat yang diatur 
dalam kedua peraturan tersebut karena Yusril dan Yusron sebagai pendirinya 
bukanlah advokat seperti telah dikonfirmasi oleh PERADI. Tapi, mengingat kedua 
peraturan tersebut tidak mengatur sanksi terhadap pelanggaran seperti itu, maka 
baik pemerintah ataupun PERADI tidak bisa menyentuh Yusril. 

 

Terlebih lagi, selama menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM dan sebagai 
Mensesneg Yusril tidak aktif di kantor hukumnya. Namun, Yusril secara terus 
terang mengatakan bahwa dirinya tetap mendapat dividen sebagai salah satu 
pemilik firma hukum itu (Koran Tempo, ibid). Setelah tidak lagi menjadi pejabat 
negara, bukan tidak mungkin Yusril melirik untuk kembali "aktif" di Ihza & Ihza.

 

Seandainya Yusril yang bukan advokat kembali aktif dan memberikan jasa hukum, 
lagi-lagi pelanggaran yang demikian tidak diancam dengan pidana. Karena, 
ketentuan pidana Pasal 31 UU Advokat telah dinyatakan tidak berkekuatan hukum 
oleh Mahkamah Konstitusi sejak 2004. Sebelumnya, pasal tersebut memberikan 
ancaman bagi setiap orang yang bukan advokat tapi bertindak seolah-olah advokat 
dengan pidana penjara lima tahun dan denda Rp 50 juta.

 

PERADI bidik advokat lain di Ihza & Ihza

Berbeda dengan Yusril, advokat-advokat yang bekerja di Ihza & Ihza belakangan 
ini menjadi bidikan PERADI. Sekretaris Jenderal PERADI, Harry Ponto, seperti 
dikutip hukumonline.com (24 April 2007), mengatakan bahwa PERADI melalui Dewan 
Kehormatannya akan meminta klarifikasi dari advokat yang bekerja di Ihza & Ihza.

 

Pemanggilan yang akan dilakukan PERADI terhadap seorang atau lebih advokat yang 
bekerja di Ihza & Ihza boleh jadi terkait dengan dugaan pelanggaran KEAI. 
Seperti diketahui, di dalam Pasal 8 huruf d KEAI disebutkan bahwa: "Advokat 
tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan Advokat mencantumkan namanya 
sebagai Advokat di papan nama kantor Advokat atau mengizinkan orang yang bukan 
Advokat tersebut untuk memperkenalkan dirinya sebagai Advokat".

 

Ketentuan Pasal 8 huruf d KEAI setidaknya mengandung dua unsur yaitu 
pencantuman nama orang yang bukan advokat di papan nama kantor advokat dan 
memperkenalkan orang yang bukan advokat sebagai advokat. Dan karena ketentuan 
hukum dalam pasal itu bersifat alternatif, maka melanggar salah satu dari kedua 
unsur itu berarti sudah melanggar ketentuan Pasal 8 huruf d tersebut.

 

Pertama, tentang pencantuman nama orang yang bukan advokat. Dalam kasus ini, 
sah-sah saja bila diasumsikan bahwa nama Ihza & Ihza adalah sekadar merek dan 
tidak merujuk pada satu atau lebih orang (atau advokat) yang bekerja di kantor 
itu. Tapi, yang sulit ditampik adalah kenyataan ada dua orang yang bernama 
"Ihza" di kantor itu. Begitu pula fakta bahwa sebelumnya kantor itu benama 
Yusril Ihza Mahendra & Partners, kemudian setelah Yusron Ihza bergabung, 
namanya menjadi Ihza & Ihza. Ditambah lagi pengakuan Yusril bahwa dia pemegang 
saham di sana.

 

Kedua, mengenai tindakan memperkenalkan orang yang bukan advokat sebagai 
advokat. Dari company profile yang dapat diunduh (download) dari situs 
www.ihza-ihza.com (file ada pada penulis) Yusril dan Yusron diperkenalkan 
sebagai founding partner. Di sana juga disebutkan bahwa bidang praktik (area of 
practice) Yusril meliputi; comparative law, administrative law, legislative 
practice, government relations, parliamentary relations, intellectual property 
rights, alternative dispute resolutions. Di dalamnya juga dijelaskan bahwa 
Yusril sedang tidak aktif karena penunjukkannya sebagai Menteri Sekretaris 
Negara.

 

Tapi, informasi tersebut tidak akan anda temukan lagi dalam company profile 
Ihza & Ihza yang terbaru. Sejauh pengetahuan penulis, profil tersebut diganti 
saat kasus yang menyeret Yusril dan kantor hukumnya sedang panas-panasnya 
menjadi pemberitaan di berbagai media. Hal-hal tersebut mungkin termasuk yang 
perlu diklarifikasi oleh PERADI kepada advokat yang bekerja di Ihza & Ihza.

 

Advokat pejabat dan nama kantor

Sebetulnya ada satu aspek lagi yang menonjol dalam kasus Ihza & Ihza ini, yaitu 
soal larangan advokat yang diangkat menjadi pejabat negara untuk mencantumkan 
atau menggunakan namanya oleh kantornya atau siapapun. Larangan demikian diatur 
dalam Pasal 3 huruf i KEAI. Larangan tersebut senafas dengan Pasal 20 ayat (3) 
UU Advokat yang berbunyi: "Advokat yang menjadi pejabat negara tidak 
melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut". Tapi, 
lagi-lagi larangan tersebut menjadi tidak relevan mengingat Yusril bukan 
advokat.

 

Lepas dari kasus Ihza & Ihza, dalam praktiknya larangan tersebut tidak 
sepenuhnya diindahkan oleh kalangan advokat sendiri. Memang benar ada advokat 
yang saat diangkat menjadi pejabat negara langsung mengganti nama kantornya. 
Tapi, tidak sedikit juga advokat yang sudah lama mengemban tugas sebagai 
pejabat negara, tapi nama yang bersangkutan masih saja digunakan sebagai nama 
kantornya.

 

Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat sudah pada tempatnya PERADI 
meminta klarifikasi dari advokat yang bekerja di Ihza & Ihza karena telah ada 
cukup indikasi bahwa kantor tersebut melanggar UU Advokat dan KEAI. Dengan 
tetap berprasangka baik pada advokat yang bekerja di kantor tersebut, agak 
sulit untuk menerima bahwa mereka tidak mengetahui rambu-rambu yang ada di 
dalam UU Advokat dan KEAI seperti telah dikemukakan di atas.

 

Katakanlah Ihza & Ihza didirikan sebelum UU Advokat disahkan, bukankah sudah 
seharusnya advokat di kantor tersebut memberikan pendapat hukum kepada para 
pemegang sahamnya untuk menyesuaikan diri dengan ketika undang-undang tersebut 
mulai berlaku? Kalaupun pendapat mereka terlalu lemah untuk didengar dan 
diikuti oleh pemegang saham Ihza & Ihza, bukankah dengan demikian pembiaran 
mereka terhadap pelanggaran undang-undang dan kode etik tersebut merupakan 
pelanggaran tersendiri?

 

Berkaitan dengan kasus Tommygate, advokat Ihza & Ihza harus dapat membuktikan 
bahwa kemudahan dalam mengurus pencairan dana Tommy bukan karena posisi Yusril 
sebagai Menkumdang (sekaligus ketika berstatus mantan Menkumdang yang sedikit 
banyak masih berpengaruh di departemen tersebut) dan Mensesneg.

 

Dalam wawancara dengan hukumonline (13/3/07), Hidayat Achyar mengatakan 
permintaan opini hukum untuk urusan pencairan dana Tommy ke Depkumdang saat 
dipimpin Yusril adalah kebetulan belaka. Jawaban itu boleh-boleh saja 
dilontarkan Ihza & Ihza. Karenanya, publik juga boleh-boleh saja mengatakan 
kebetulan menterinya pemegang saham Ihza & Ihza dan kebetulan dananya US$ 10 
juta (+ Rp 90 miliar), tapi bukan kebetulan kalau uang jasanya bisa semakin 
memakmurkan kantor dan pemegang sahamnya.

 

Jika sampai dengan saat ini publik beranggapan Yusril nyaris tak tersentuh 
hukum terkait kasus Tommygate, apakah demikian halnya dengan Ihza & Ihza dan 
advokat-advokat di dalamnya?



* Bekerja di Perhimpunan Advokat Indonesia dan pengasuh blog 
http://amriehakim.blogspot.com. Tulisan ini pendapat pribadi penulis.

()

Kirim email ke