Metode Islam Mencegah Intervensi Asing

Oleh: Husain A. Majid
(Ketua Lajnah Siyasiyah HTI Jateng)

Marilah kita melihat dua fenomena berikut:
Sebuah negara yang wilayahnya cukup luas. Penduduknya banyak, lebih dari 200 juta orang. Sumber kekayaan alamnya melimpah. Laut dan hutan adalah karunia yang luar biasa untuk negara ini. Berbagai jenis sumberdaya alamnya, seperti kelapa sawit dan timah, terbesar di dunia. Namun, keadaan negara ini sangat memprihatinkan. Pemerintahnya tidak memiliki kemampuan mengurusi rakyatnya. Jangankan untuk mencegah intervensi asing yang menghebat dalam tiga tahun terakhir, untuk sekadar mencegah terbitnya sebuah majalah porno agar tidak menjadi bacaan generasi mudanya saja pemerintah negara ini tidak sanggup. Emas dan minyak pun hanyalah menjadikan negara itu sebagai tempat asal; pemerintahnya sekadar bisa mengizinkan perusahaan asing mengeksplorasinya dengan segala hak keistimewaannya. Inilah Republik Indonesia 1945 -2006 M.

Sebaliknya, pernah ada sebuah negara kota yang terletak di gurun tandus. Penduduknya sedikit. Sumberdaya alamnya juga minim sekali. Lautan dan hutan bukan bagian wilayahnya. Serangan dari berbagai negara tetangga adalah langganannya. Bahkan serangan dari negara adikuasa pernah dihadapinya. Namun, negara ini benar-benar berdaulat penuh. Penduduknya mempunyai semangat yang menyala-nyala serta berada dalam satu-kesatuan kehendak. Melawan kekuatan adikuasa yang berkekuatan 200 ribu pasukan, negara ini justru bisa membuatnya gentar hanya dengan tiga ribu prajurit. Kharisma negara ini segera tampak. Negara-negara sekitarnya menyatakan menggabungkan diri. Satu negara adikuasa tunduk. Satu negara adikuasa lainnya terkalahkan dan berkurang kekuatannya. Dalam seratus tahun, negara ini telah menjadi adikuasa tunggal dunia dengan wilayah seluas Uni Sovyet. Tidak pernah ada kekuatan dunia yang bisa mendiktenya dalam seratus tahun itu. Inilah Khilafah Rasyidah 1 H - 100 H.

Mengapa dua keadaan di atas bisa terjadi? Apa yang membuat Khilafah Rasyidah bisa menjaga independensinya? Sebelumnya, marilah kita lihat keadaan negara pertama.

Campur Tangan Asing di Indonesia

Kalau kita mengamati campur tangan asing yang melanda Indonesia beberapa tahun terakhir, terdapat beberapa faktor penyebabnya.

Pertama, tidak adanya idealisme. Negara ini tidak mempunyai pijakan ideologi sehingga idealismenya pun kabur. Kita bisa melihat, seperti apa gambaran masyarakat ideal yang menjadi cita-cita masyarakat negara ini? Bagaimana kondisi ekonomi yang dicita-citakan? Semua itu tidak jelas. Sebagai misal, definisi "Bumi, air, dan sumber kekayaan alam yang mencakup hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara" oleh sebagian pihak dimaknai bahwa negara mengelola banyak BUMN sehingga BUMN jangan diprivatisasi, sementara sebagian pihak lain mengartikan bahwa negara sekadar sebagai pemilik tender sehingga pengerjaannya bisa diserahkan kepada swasta. Bagaimana cita-cita pendidikannya? Tidak jelas pula. Buktinya siaran TV yang merusak generasi muda tidak dilarang sama sekali. Pemerintah dan DPR tampaknya tidak melihat hal itu sebagai hal yang sangat berbahaya. Tidak adanya kejelasan ideologi membuat negara tanpa panduan dan tanpa cita-cita. Ini membuat segala langkah ke depan menjadi kacau. Pemerintah menyatakan "Bersama kita bisa", tetapi rakyat bertanya, "Bisa apa?" Bisa ke mana?" Itu pun negara belum mampu menjawabnya.

Kedua, lemahnya demokrasi. Dalam sistem demokrasi, pemerintah tidak mempunyai wewenang membuat undang-undang. Undang-undang dibuat oleh DPR yang terdiri dari perwakilan partai-partai politik. Masalahnya, untuk bisa menang partai-partai politik tidak bisa lepas dari bantuan para pemilik modal, baik asing maupun dalam negeri. Keadaan ini membuat para kapitalis asing bisa terlibat untuk membuat aturan-aturan di negara ini. Sudah menjadi rahasia umum di negeri manapun di dunia, bahwa para kapitalis asing memasuki area negeri itu melalui campur tangan dalam undang-undangnya. Untuk membuat undang-undang itu biasanya juga butuh pembangunan opini terlebih dulu. Masalahnya, dalam hal ini biasanya para kapitalis asing lebih mempunyai kekuatan dengan jaringan media massa mereka.

Sejak demokrasi melanda dunia sejak tahun 1789 M (Revolusi Prancis) para tokoh agama merosot kedudukannya sehingga suaranya dianggap sama dengan suara rakyat. Sebaliknya, kedudukan para kapitalis semakin menguat karena merekalah yang sanggup mempengaruhi suara publik dengan modal dan media massanya. Ini membuat segala perhitungan "untung-rugi" di atas pertimbangan "baik-buruk". Kapitalis asing dengan modalnya yang besar lebih mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi suara. Pemerintah dipaksa membuat kebijakan "pro pasar" (pro pengusaha besar).

Ketiga, lemahnya pemerintah dalam format Kapitalisme. Sesuai dengan ungkapan Margareth Thatcher, dalam era globalisasi pemerintah bukanlah penanggung jawab atas kesejahteraan rakyat, tetapi sekadar 'pencipta lingkungan yang baik' untuk ekonomi. Dalam bentuk realnya, pemerintah bukanlah pelaku ekonomi, tetapi sekadar 'wasit' dalam ekonomi. Ekonomi diserahkan kepada swasta. Keadaan ini membuat ekonomi bergantung pada pemilik modal. Pekerjaan kepala negara, jika berkunjung ke luar negeri, adalah mencari investor untuk mempromosikan harga buruh dan komponen bahan dasar di dalam negerinya murah. Keadaan ini menjadikan kebijakan negara terlalu lemah dalam melindungi rakyatnya yang kebanyakan bekerja sebagai buruh dan petani. Buruh murah dan bahan baku murah berarti buruh dan petani "siap hidup sengsara" demi kepentingan para investor. Bagaimanapun, mustahil mengharapkan investor asing mau memikirkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Noreena Hertz, dalam The Silent Take Over (Pengambilalihan Diam-diam) lebih jauh bahkan menegaskan, bahwa para kapitalis bukan lagi mengintervensi negara karena negara itu sendiri sudah mereka rampok dari rakyat. Mereka bukan merampok berbagai hal dari negara, tetapi negara itu sendiri yang mereka rampok dari rakyat. Hertz menuturkan bahwa sejak kebijakan ekonomi Reaganomics dan Thatchernomics, seluruh negara demokrasi tidak mempunyai kemampuan lagi mengatur ekonominya karena telah menyerahkan pengelolaan ekonomi kepada swasta.

Jika suatu perusahaan internasional merasa kecewa dengan kebijakan ekonomi suatu negara, dengan mudah ia berpindah ke negara lain. Ini membuat negara sekarang sangat lemah di hadapan perusahaan multinasional.
Keempat, adanya komprador atau LSM yang bekerja untuk kepentingan asing. Dalam sistem demokrasi, undang-undang yang dibuat biasanya bergantung pada opini yang lebih kuat. Pihak LSM yang mendapat dana asing cukup besar biasanya mempunyai kekuatan dalam hal ini. LSM bisa dengan mudah mendiktekan berbagai agenda mereka yang berbasis liberalisme-kapitalisme. Mereka juga bisa mendiktekan kebijakan pemerintah seperti dalam kasus Aceh dan Papua.

Kelima, lemahnya pelaku pemerintahan. Walaupun campur tangan luar negeri cukup kuat, jika pemerintahnya mempunyai independensi, banyak hal yang bisa ditolak. Pemerintahan Mahathir Mohammad, misalnya, tetap bisa menghambat campur tangan IMF dalam perekonomiannya. Ini berbeda dengan Pemerintah Indonesia yang bisa didikte IMF.

Demikianlah, campur tangan asing akan terus menjadi agenda Barat karena mereka diuntungkan dalam beberapa hal seperti: legalitas gerak mereka untuk menjaga kepentingan mereka, payung hukum atas keputusan-keputusan mereka, dan efektifitas langkah di lapangan. Dalam kasus perburuhan, misalnya, para kapitalis asing jelas membutuhkan payung hukum agar mudah melakukan PHK sewaktu-waktu, sebagaimana yang mereka inginkan, untuk mengurangi tenaga kerja tanpa dibebani kewajiban yang cukup tinggi untuk memberikan pesangon yang pantas buat buruh. Dalam kasus Aceh, pemerintah Australia merasa leluasa karena undang-undang migrasi Indonesia-yang sudah dipengaruhi asing-juga memungkinkan pemerintah RI bersikap sama dengan pemerintah Australia.

Metode Islam Mencegah Intervensi Asing

Kalau kita membaca sejarah tentang bagaimana Khilafah Islam dulu menjaga independensinya, kita akan melihat beberapa hal.

Pertama: Khilafah Islam sangat jelas idealismenya. Negara dalam Islam sangat jelas formatnya. Negara Islam adalah "negara pengabdian" dan "negara dakwah". Oleh karena itu, segala kebijakan yang ditempuh adalah dalam rangka menciptakan kehidupan yang islami di dalam negeri serta keberhasilan dakwah terhadap negara-negara di sekitarnya. Karenanya, pembangunan opini akan dua hal itu menjadi prioritas negara. Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq berhasil mensosialisasikan bahwa menolak zakat adalah suatu dosa. Ini jauh lebih kuat daripada sosialisasi Pemerintah RI agar rakyat membayar pajak. Khalid bin Walid menegaskan bahwa pasukannya, yang terdiri dari rakyat kebanyakan, menyukai mati syahid sebagaimana pasukan Persia menyukai minum arak. Betapa berbeda dengan AS dan Rusia yang kesulitan menyuruh rakyatnya ikut wajib militer. Pemerintah Islam dalam hal ini dimudahkan karena segala perintah tersebut terdapat dalam al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Idealisme yang sangat tinggi ini menjadikan mafâhîm (pemahaman), maqâyis (standar), dan qanâ'at (keyakinan) rakyat terbina. Ini membuat mafâhîm (pemahaman), maqâyis (standar), dan qanâ'at (keyakinan) asing sulit masuk.

Kedua, syariat Islam membentengi kebijakan. Visi sebagai negara pengabdian dan negara ibadah sangat ditunjang oleh berbagai hukum dalam syariat Islam.

Untuk menjaga agar umat Islam senantiasa satu tubuh dan merasa bersaudara maka syariah, misalnya, telah memberikan gambaran yang detail tentang zakat. Zakat memiliki metode penarikan yang sangat jelas, yakni dengan metode nishâb. Peruntukannya juga jelas, yaitu untuk delapan asnaf. Pemerintah dilarang membelanjakan harta zakat selain untuk delapan asnaf tersebut. Syariat Islam juga menegaskan bahwa segala sumber kekayaan alam yang mencakup hajat hidup orang banyak adalah milik umat. Negara, dalam hal ini, hanya mengelolanya untuk rakyat. Ini membuat swasta, apalagi swasta asing, tidak bisa mendikte rakyat.

Untuk menjaga akhlak rakyat, syariat Islam telah memberikan ketentuan yang tegas. Pergaulan laki-laki dan wanita yang terpisah menjadikan berbagai efek buruk yang terjadi dalam negara kapitalis terhindari. Belum lagi wanita yang keluar rumah memakai jilbab yang membuat kondisi pergaulan lebih terjaga. Hukuman yang tegas terhadap pelaku perzinaan menjadikan zina bukan suatu hal yang membudaya sebagaimana dalam budaya Barat. Pornografi tentunya bukan menjadi penyakit umum dalam Daulah Khilafah Islam.

Untuk menjaga agar Daulah Khilafah Islam tidak tunduk pada tuntutan asing maka terdapat beberapa aturan tentang perdamaian dan perang dalam format pertimbangan dakwah. Politik dalam negeri Khilafah adalah kemandirian dan politik luar negerinya adalah politik dakwah. Segala hal yang mengganggu keduanya wajib ditolak.
Semua ini membuat solidaritas umat dan idealisme penerapan Islam terjaga.

Ketiga: peranan negara yang cukup kuat dalam Islam. Pemerintah dalam Islam cukup kuat karena beberapa hal, antara lain:

(1) Hukum-hukum yang dilaksanakan sudah jelas, yaitu merujuk pada syariah. Dalam hal ini, Majelis Umat bukan berfungsi sebagai lembaga legislatif yang membuat undang-undang negara. Ini membuat pemerintah tenang menjalankan tugas tanpa perlu khawatir 'digoyang' para anggota Majelis Umat. Campur tangan asing melalui Majelis juga bisa dihindari. Prinsip kedaulatan di tangan syariah menjadikan campur tangan asing tidak mendapat tempat. Khalifah juga akan terhindar dari bias kepentingan, karena dia akan mengambil kebijakan dengan standar hukum syariah yang jelas. Kalau Khalifah menyimpang dari hukum syariah, ia segera akan dikoreksi oleh rakyat.

(2) Sumber-sumber kekayaan alam yang mencakup hajat hidup orang banyak dikelola oleh negara. Ini membuat pengelolaan barang-barang itu sepenuhnya bersifat pelayanan, bukan demi kepentingan bisnis sebagaimana yang banyak dipraktikkan oleh negara kapitalis. Ini menjadikan kekuasaan sepenuhnya di tangan umat, bukan di tangan pengusaha, apalagi pengusaha asing.

Keempat: Tanggung jawab rakyat dan partai politik. Dalam Islam, rakyat dan partai politik mendapat tugas untuk mengawal pelaksanaan syariah. Meraka wajib melakukan muhâsabah li al-hukkâm (mengontrol para penguasa) jika ada penyimpangan terhadap syariah. Ini menjadikan segala kemungkinan penyimpangan senantiasa terpantau. Jika hal ini benar-benar membudaya maka penyimpangan benar-benar bisa dihindari. Campur tangan asing bukan hanya mendapat pengawasan pemerintah, tetapi juga rakyat. Kesuksesan umat Islam mengalahkan pasukan Mongol di Ayn Jalut, misalnya, adalah buah dari opini rakyat. Saat itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah al-Harani menegaskan bahwa perang melawan Mongol sah dilakukan walau di tengah-tengah pasukan Mongol terdapat orang Islam. Ini karena negara Mongol bukan negara Islam dan kebanyakan pasukannya bukan orang Islam. Ini membuat pasukan Islam di bawah Panglima Saifuddin Quthuz al-Muizzi mempunyai keyakinan bulat dalam bertempur.

Demikianlah, dengan berbagai hal di atas, negara Khilafah dulu berhasil membentengi diri dari campur tangan asing. Karenanya, untuk kembali menjadi umat mandiri, maka kembali menegakkan Khilafah dengan segala kebijakannya di atas tentunya menjadi harapan kita semua. []

Daftar Bacaan
1 Abdullah, Taufik, et.al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam-Khilafah, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2002.
2 ______________, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam-Pemikiran dan Peradaban, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2002.
3 Abdurrahman, Hafidz, Islam, Politik, dan Spiritual, Lisan ul-Haq, Singapore, 1998, hlm. 212-217.
4 Armando, Ade, Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2001.
5 Bakri, Umar S., Ekonomi Politik Internasional, LPPM universitas Jayabaya, Jakarta, 1997.
6 Chapra, Dr. M. Umer, The Future of Economics; An Islamic Perspective, SEBI, Jakarta, 2001, hlm. 184.
7 Hertz, Noreena, Perampok Negara; Kuasa Kapitalisme Global dan Kematian Demokrasi (The Silent Take Over; Global Capitalism and the Death of Democrazy), Alenia, Jogjakarta, 2005.
8 Lubis, Abdurrazaq, et al. Jerat Utang IMF, Mizan, Bandung, 1998.
9 An-Nabhani, Taqyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 1996.
10 As-Suyuthi, Imam, Tarikh Khulafa', Sejarah Para Penguasa Islam, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2001.

Metode Islam Mencegah Intervensi Asing

Oleh: Husain A. Majid
(Ketua Lajnah Siyasiyah HTI Jateng)

Marilah kita melihat dua fenomena berikut:
Sebuah negara yang wilayahnya cukup luas. Penduduknya banyak, lebih dari 200 juta orang. Sumber kekayaan alamnya melimpah. Laut dan hutan adalah karunia yang luar biasa untuk negara ini. Berbagai jenis sumberdaya alamnya, seperti kelapa sawit dan timah, terbesar di dunia. Namun, keadaan negara ini sangat memprihatinkan. Pemerintahnya tidak memiliki kemampuan mengurusi rakyatnya. Jangankan untuk mencegah intervensi asing yang menghebat dalam tiga tahun terakhir, untuk sekadar mencegah terbitnya sebuah majalah porno agar tidak menjadi bacaan generasi mudanya saja pemerintah negara ini tidak sanggup. Emas dan minyak pun hanyalah menjadikan negara itu sebagai tempat asal; pemerintahnya sekadar bisa mengizinkan perusahaan asing mengeksplorasinya dengan segala hak keistimewaannya. Inilah Republik Indonesia 1945 -2006 M.

Sebaliknya, pernah ada sebuah negara kota yang terletak di gurun tandus. Penduduknya sedikit. Sumberdaya alamnya juga minim sekali. Lautan dan hutan bukan bagian wilayahnya. Serangan dari berbagai negara tetangga adalah langganannya. Bahkan serangan dari negara adikuasa pernah dihadapinya. Namun, negara ini benar-benar berdaulat penuh. Penduduknya mempunyai semangat yang menyala-nyala serta berada dalam satu-kesatuan kehendak. Melawan kekuatan adikuasa yang berkekuatan 200 ribu pasukan, negara ini justru bisa membuatnya gentar hanya dengan tiga ribu prajurit. Kharisma negara ini segera tampak. Negara-negara sekitarnya menyatakan menggabungkan diri. Satu negara adikuasa tunduk. Satu negara adikuasa lainnya terkalahkan dan berkurang kekuatannya. Dalam seratus tahun, negara ini telah menjadi adikuasa tunggal dunia dengan wilayah seluas Uni Sovyet. Tidak pernah ada kekuatan dunia yang bisa mendiktenya dalam seratus tahun itu. Inilah Khilafah Rasyidah 1 H - 100 H.

Mengapa dua keadaan di atas bisa terjadi? Apa yang membuat Khilafah Rasyidah bisa menjaga independensinya? Sebelumnya, marilah kita lihat keadaan negara pertama.

Campur Tangan Asing di Indonesia

Kalau kita mengamati campur tangan asing yang melanda Indonesia beberapa tahun terakhir, terdapat beberapa faktor penyebabnya.

Pertama, tidak adanya idealisme. Negara ini tidak mempunyai pijakan ideologi sehingga idealismenya pun kabur. Kita bisa melihat, seperti apa gambaran masyarakat ideal yang menjadi cita-cita masyarakat negara ini? Bagaimana kondisi ekonomi yang dicita-citakan? Semua itu tidak jelas. Sebagai misal, definisi "Bumi, air, dan sumber kekayaan alam yang mencakup hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara" oleh sebagian pihak dimaknai bahwa negara mengelola banyak BUMN sehingga BUMN jangan diprivatisasi, sementara sebagian pihak lain mengartikan bahwa negara sekadar sebagai pemilik tender sehingga pengerjaannya bisa diserahkan kepada swasta. Bagaimana cita-cita pendidikannya? Tidak jelas pula. Buktinya siaran TV yang merusak generasi muda tidak dilarang sama sekali. Pemerintah dan DPR tampaknya tidak melihat hal itu sebagai hal yang sangat berbahaya. Tidak adanya kejelasan ideologi membuat negara tanpa panduan dan tanpa cita-cita. Ini membuat segala langkah ke depan menjadi kacau. Pemerintah menyatakan "Bersama kita bisa", tetapi rakyat bertanya, "Bisa apa?" Bisa ke mana?" Itu pun negara belum mampu menjawabnya.

Kedua, lemahnya demokrasi. Dalam sistem demokrasi, pemerintah tidak mempunyai wewenang membuat undang-undang. Undang-undang dibuat oleh DPR yang terdiri dari perwakilan partai-partai politik. Masalahnya, untuk bisa menang partai-partai politik tidak bisa lepas dari bantuan para pemilik modal, baik asing maupun dalam negeri. Keadaan ini membuat para kapitalis asing bisa terlibat untuk membuat aturan-aturan di negara ini. Sudah menjadi rahasia umum di negeri manapun di dunia, bahwa para kapitalis asing memasuki area negeri itu melalui campur tangan dalam undang-undangnya. Untuk membuat undang-undang itu biasanya juga butuh pembangunan opini terlebih dulu. Masalahnya, dalam hal ini biasanya para kapitalis asing lebih mempunyai kekuatan dengan jaringan media massa mereka.

Sejak demokrasi melanda dunia sejak tahun 1789 M (Revolusi Prancis) para tokoh agama merosot kedudukannya sehingga suaranya dianggap sama dengan suara rakyat. Sebaliknya, kedudukan para kapitalis semakin menguat karena merekalah yang sanggup mempengaruhi suara publik dengan modal dan media massanya. Ini membuat segala perhitungan "untung-rugi" di atas pertimbangan "baik-buruk". Kapitalis asing dengan modalnya yang besar lebih mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi suara. Pemerintah dipaksa membuat kebijakan "pro pasar" (pro pengusaha besar).

Ketiga, lemahnya pemerintah dalam format Kapitalisme. Sesuai dengan ungkapan Margareth Thatcher, dalam era globalisasi pemerintah bukanlah penanggung jawab atas kesejahteraan rakyat, tetapi sekadar 'pencipta lingkungan yang baik' untuk ekonomi. Dalam bentuk realnya, pemerintah bukanlah pelaku ekonomi, tetapi sekadar 'wasit' dalam ekonomi. Ekonomi diserahkan kepada swasta. Keadaan ini membuat ekonomi bergantung pada pemilik modal. Pekerjaan kepala negara, jika berkunjung ke luar negeri, adalah mencari investor untuk mempromosikan harga buruh dan komponen bahan dasar di dalam negerinya murah. Keadaan ini menjadikan kebijakan negara terlalu lemah dalam melindungi rakyatnya yang kebanyakan bekerja sebagai buruh dan petani. Buruh murah dan bahan baku murah berarti buruh dan petani "siap hidup sengsara" demi kepentingan para investor. Bagaimanapun, mustahil mengharapkan investor asing mau memikirkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Noreena Hertz, dalam The Silent Take Over (Pengambilalihan Diam-diam) lebih jauh bahkan menegaskan, bahwa para kapitalis bukan lagi mengintervensi negara karena negara itu sendiri sudah mereka rampok dari rakyat. Mereka bukan merampok berbagai hal dari negara, tetapi negara itu sendiri yang mereka rampok dari rakyat. Hertz menuturkan bahwa sejak kebijakan ekonomi Reaganomics dan Thatchernomics, seluruh negara demokrasi tidak mempunyai kemampuan lagi mengatur ekonominya karena telah menyerahkan pengelolaan ekonomi kepada swasta.

Jika suatu perusahaan internasional merasa kecewa dengan kebijakan ekonomi suatu negara, dengan mudah ia berpindah ke negara lain. Ini membuat negara sekarang sangat lemah di hadapan perusahaan multinasional.
Keempat, adanya komprador atau LSM yang bekerja untuk kepentingan asing. Dalam sistem demokrasi, undang-undang yang dibuat biasanya bergantung pada opini yang lebih kuat. Pihak LSM yang mendapat dana asing cukup besar biasanya mempunyai kekuatan dalam hal ini. LSM bisa dengan mudah mendiktekan berbagai agenda mereka yang berbasis liberalisme-kapitalisme. Mereka juga bisa mendiktekan kebijakan pemerintah seperti dalam kasus Aceh dan Papua.

Kelima, lemahnya pelaku pemerintahan. Walaupun campur tangan luar negeri cukup kuat, jika pemerintahnya mempunyai independensi, banyak hal yang bisa ditolak. Pemerintahan Mahathir Mohammad, misalnya, tetap bisa menghambat campur tangan IMF dalam perekonomiannya. Ini berbeda dengan Pemerintah Indonesia yang bisa didikte IMF.

Demikianlah, campur tangan asing akan terus menjadi agenda Barat karena mereka diuntungkan dalam beberapa hal seperti: legalitas gerak mereka untuk menjaga kepentingan mereka, payung hukum atas keputusan-keputusan mereka, dan efektifitas langkah di lapangan. Dalam kasus perburuhan, misalnya, para kapitalis asing jelas membutuhkan payung hukum agar mudah melakukan PHK sewaktu-waktu, sebagaimana yang mereka inginkan, untuk mengurangi tenaga kerja tanpa dibebani kewajiban yang cukup tinggi untuk memberikan pesangon yang pantas buat buruh. Dalam kasus Aceh, pemerintah Australia merasa leluasa karena undang-undang migrasi Indonesia-yang sudah dipengaruhi asing-juga memungkinkan pemerintah RI bersikap sama dengan pemerintah Australia.

Metode Islam Mencegah Intervensi Asing

Kalau kita membaca sejarah tentang bagaimana Khilafah Islam dulu menjaga independensinya, kita akan melihat beberapa hal.

Pertama: Khilafah Islam sangat jelas idealismenya. Negara dalam Islam sangat jelas formatnya. Negara Islam adalah "negara pengabdian" dan "negara dakwah". Oleh karena itu, segala kebijakan yang ditempuh adalah dalam rangka menciptakan kehidupan yang islami di dalam negeri serta keberhasilan dakwah terhadap negara-negara di sekitarnya. Karenanya, pembangunan opini akan dua hal itu menjadi prioritas negara. Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq berhasil mensosialisasikan bahwa menolak zakat adalah suatu dosa. Ini jauh lebih kuat daripada sosialisasi Pemerintah RI agar rakyat membayar pajak. Khalid bin Walid menegaskan bahwa pasukannya, yang terdiri dari rakyat kebanyakan, menyukai mati syahid sebagaimana pasukan Persia menyukai minum arak. Betapa berbeda dengan AS dan Rusia yang kesulitan menyuruh rakyatnya ikut wajib militer. Pemerintah Islam dalam hal ini dimudahkan karena segala perintah tersebut terdapat dalam al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Idealisme yang sangat tinggi ini menjadikan mafâhîm (pemahaman), maqâyis (standar), dan qanâ'at (keyakinan) rakyat terbina. Ini membuat mafâhîm (pemahaman), maqâyis (standar), dan qanâ'at (keyakinan) asing sulit masuk.

Kedua, syariat Islam membentengi kebijakan. Visi sebagai negara pengabdian dan negara ibadah sangat ditunjang oleh berbagai hukum dalam syariat Islam.

Untuk menjaga agar umat Islam senantiasa satu tubuh dan merasa bersaudara maka syariah, misalnya, telah memberikan gambaran yang detail tentang zakat. Zakat memiliki metode penarikan yang sangat jelas, yakni dengan metode nishâb. Peruntukannya juga jelas, yaitu untuk delapan asnaf. Pemerintah dilarang membelanjakan harta zakat selain untuk delapan asnaf tersebut. Syariat Islam juga menegaskan bahwa segala sumber kekayaan alam yang mencakup hajat hidup orang banyak adalah milik umat. Negara, dalam hal ini, hanya mengelolanya untuk rakyat. Ini membuat swasta, apalagi swasta asing, tidak bisa mendikte rakyat.

Untuk menjaga akhlak rakyat, syariat Islam telah memberikan ketentuan yang tegas. Pergaulan laki-laki dan wanita yang terpisah menjadikan berbagai efek buruk yang terjadi dalam negara kapitalis terhindari. Belum lagi wanita yang keluar rumah memakai jilbab yang membuat kondisi pergaulan lebih terjaga. Hukuman yang tegas terhadap pelaku perzinaan menjadikan zina bukan suatu hal yang membudaya sebagaimana dalam budaya Barat. Pornografi tentunya bukan menjadi penyakit umum dalam Daulah Khilafah Islam.

Untuk menjaga agar Daulah Khilafah Islam tidak tunduk pada tuntutan asing maka terdapat beberapa aturan tentang perdamaian dan perang dalam format pertimbangan dakwah. Politik dalam negeri Khilafah adalah kemandirian dan politik luar negerinya adalah politik dakwah. Segala hal yang mengganggu keduanya wajib ditolak.
Semua ini membuat solidaritas umat dan idealisme penerapan Islam terjaga.

Ketiga: peranan negara yang cukup kuat dalam Islam. Pemerintah dalam Islam cukup kuat karena beberapa hal, antara lain:

(1) Hukum-hukum yang dilaksanakan sudah jelas, yaitu merujuk pada syariah. Dalam hal ini, Majelis Umat bukan berfungsi sebagai lembaga legislatif yang membuat undang-undang negara. Ini membuat pemerintah tenang menjalankan tugas tanpa perlu khawatir 'digoyang' para anggota Majelis Umat. Campur tangan asing melalui Majelis juga bisa dihindari. Prinsip kedaulatan di tangan syariah menjadikan campur tangan asing tidak mendapat tempat. Khalifah juga akan terhindar dari bias kepentingan, karena dia akan mengambil kebijakan dengan standar hukum syariah yang jelas. Kalau Khalifah menyimpang dari hukum syariah, ia segera akan dikoreksi oleh rakyat.

(2) Sumber-sumber kekayaan alam yang mencakup hajat hidup orang banyak dikelola oleh negara. Ini membuat pengelolaan barang-barang itu sepenuhnya bersifat pelayanan, bukan demi kepentingan bisnis sebagaimana yang banyak dipraktikkan oleh negara kapitalis. Ini menjadikan kekuasaan sepenuhnya di tangan umat, bukan di tangan pengusaha, apalagi pengusaha asing.

Keempat: Tanggung jawab rakyat dan partai politik. Dalam Islam, rakyat dan partai politik mendapat tugas untuk mengawal pelaksanaan syariah. Meraka wajib melakukan muhâsabah li al-hukkâm (mengontrol para penguasa) jika ada penyimpangan terhadap syariah. Ini menjadikan segala kemungkinan penyimpangan senantiasa terpantau. Jika hal ini benar-benar membudaya maka penyimpangan benar-benar bisa dihindari. Campur tangan asing bukan hanya mendapat pengawasan pemerintah, tetapi juga rakyat. Kesuksesan umat Islam mengalahkan pasukan Mongol di Ayn Jalut, misalnya, adalah buah dari opini rakyat. Saat itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah al-Harani menegaskan bahwa perang melawan Mongol sah dilakukan walau di tengah-tengah pasukan Mongol terdapat orang Islam. Ini karena negara Mongol bukan negara Islam dan kebanyakan pasukannya bukan orang Islam. Ini membuat pasukan Islam di bawah Panglima Saifuddin Quthuz al-Muizzi mempunyai keyakinan bulat dalam bertempur.

Demikianlah, dengan berbagai hal di atas, negara Khilafah dulu berhasil membentengi diri dari campur tangan asing. Karenanya, untuk kembali menjadi umat mandiri, maka kembali menegakkan Khilafah dengan segala kebijakannya di atas tentunya menjadi harapan kita semua. []

Daftar Bacaan
1 Abdullah, Taufik, et.al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam-Khilafah, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2002.
2 ______________, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam-Pemikiran dan Peradaban, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2002.
3 Abdurrahman, Hafidz, Islam, Politik, dan Spiritual, Lisan ul-Haq, Singapore, 1998, hlm. 212-217.
4 Armando, Ade, Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2001.
5 Bakri, Umar S., Ekonomi Politik Internasional, LPPM universitas Jayabaya, Jakarta, 1997.
6 Chapra, Dr. M. Umer, The Future of Economics; An Islamic Perspective, SEBI, Jakarta, 2001, hlm. 184.
7 Hertz, Noreena, Perampok Negara; Kuasa Kapitalisme Global dan Kematian Demokrasi (The Silent Take Over; Global Capitalism and the Death of Democrazy), Alenia, Jogjakarta, 2005.
8 Lubis, Abdurrazaq, et al. Jerat Utang IMF, Mizan, Bandung, 1998.
9 An-Nabhani, Taqyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 1996.
10 As-Suyuthi, Imam, Tarikh Khulafa', Sejarah Para Penguasa Islam, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2001.

__._,_.___


YAHOO! GROUPS LINKS




__,_._,___

Kirim email ke