AT-TAS'IR
[PEMATOKAN HARGA]

Kata tas‘îr berasal dari kata sa‘ara–yas‘aru–sa‘ran, yang artinya menyalakan.  Lalu dibentuk menjadi kata as-si‘ru dan jamaknya as‘âr  yang artinya harga (sesuatu). Kata as-si‘ru ini digunakan di pasar untuk menyebut harga (di pasar) sebagai penyerupaan terhadap aktivitas penyalaan api, seakan menyalakan nilai (harga) bagi sesuatu.

Dikatakan, “Sa‘arat asy-syay’a tas‘îran,” artinya menetapkan harga sesuatu yang merupakan titik berhenti tawar-menawar.1  Jika dikatakan, “As‘arû wa sa‘arû,” artinya mereka telah bersepakat atas suatu harga tertentu.2 Oleh karena itu, tas‘îr secara bahasa berarti taqdîr as-si‘ri (penetapan/penentuan harga).3

Anas bin Malik menuturkan bahwa pada masa Rasulullah saw. pernah terjadi harga-harga membubung tinggi. Para Sahabat lalu berkata kepada Rasul, “Ya Rasulullah saw. tetapkan harga demi kami.” Rasulullah saw. menjawab:

إِنَّ اللهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّي َلأَرْجُوْ أَنْ أَلْقَى اللهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلاَ مَالٍ

Sesungguhnya Allahlah Zat Yang menetapkan harga, Yang menahan, Yang mengulurkan, dan yang Maha Pemberi rezeki. Sungguh, aku berharap dapat menjumpai Allah tanpda ada seorang pun yang menuntutku atas kezaliman yang aku lakukan dalam masalah darah dan tidak juga dalam masalah harta (HR Abu Dawud, Ibn Majah dan at-Tirmidzi).

Abu Hurairah juga menuturkan, pernah ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw. Ia lalu berkata, “Ya Rasulullah, tetapkanlah harga.”  Rasulullah saw. menjawab, “Akan tetapi, aku hanya akan berdoa kepada Allah.”  Lalu datang orang lain dan berkata, “Ya Rasulullah, tetapkanlah harga.” Beliau menjawab:

بَلْ اللهُ يَخْفِضُ وَيَرْفَعُ

Akan tetapi, Allahlah Yang menurunkan dan menaikkan harga. (HR Ahmad dan ad-Darimi).

Dari sini para ulama merumuskan definisi tas‘îr secara syar‘i, yaitu: seorang imam (penguasa), wakilnya atau setiap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim memerintahkan kepada para pelaku pasar agar tidak menjual komoditas kecuali dengan harga tertentu; mereka dilarang untuk menambah harganya hingga harga tidak membubung atau mengurangi harganya hingga tidak memukul selain mereka.  Jadi, mereka dilarang untuk menambah atau mengurangi dari harga yang dipatok demi kemaslahatan masyarakat.4 Artinya, negara melakukan intervensi atas harga dengan menetapkan harga tertentu atas suatu komoditas dan setiap orang dilarang untuk menjual lebih atau kurang dari harga yang ditetapkan itu demi mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat.

Fakta pematokan harga ini dapat kita saksikan dalam sistem ekonomi kapitalis pada saat ini. Pematokan harga itu dilakukan negara dengan alasan untuk melindungi kepentingan masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu, misalnya kelompok produsen atau kelompok konsumen.

Pematokan harga terjadi dalam tiga bentuk: Pertama, pematokan harga secara fix.  Kedua, pematokan harga tertinggi, yakni dengan menetapkan harga jual tertinggi. Contohnya adalah penetapan harga eceran tertinggi pupuk. Penjual dilarang menjual lebih dari harga tertinggi yang dipatok itu.  Sebaliknya, mereka boleh menjual dengan harga yang lebih rendah.  Ini ditetapkan demi melindungi konsumen. Ketiga, pematokan harga terendah seperti pematokan harga terendah gabah, dsb. Dalam hal ini pembeli dilarang membeli lebih rendah dari harga terendah itu. Sebaliknya, mereka boleh membeli dengan harga lebih tinggi dari harga itu. Ini dilakukan untuk melindungi produsen. Contohnya adalah penetapan harga terendah gabah untuk melindungi petani. Meski demikian, dalam praktiknya kebijakan ini terlihat tidak efektif. Pada saat panen raya, harga gabah tetap saja anjlok.  Begitu juga harga pupuk; sering lebih tinggi daripada harga eceran tertinggi yang ditetapkan Pemerintah.

Hukum Tas‘îr

Allah telah menetapkan seseorang untuk menjual komoditasnya dengan harga yang ia ridhai.  Allah Swt. berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian. (QS an-Nis⒠[4]: 29).

Rasulullah saw. juga pernah bersabda:

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

Sesungguhnya jual-beli itu harus dengan saling ridha (antara penjual dan pembeli). (HR Ibn Majah).

Tas‘îr bertentangan dengan nash-nash tersebut. Sebab, tas‘îr bermakna pemaksaan atas penjual dan atau pembeli untuk berjual-beli dengan harga tertentu.  Ini melanggar kepemilikan seseorang karena kepemilikan itu bermakna seseorang memiliki kekuasaan atas harta miliknya. Karena itu, ia berhak menjual dengan harga yang ia sukai.  Pematokan harga tentu akan menghalangi atau merampas sebagian kekuasaan seseorang atas hartanya. Sesuai keterangan nas syariah di atas, hal itu tidak boleh terjadi.

Dalam riwayat Abu Hurairah di atas, Rasulullah saw. pernah diminta untuk mematok harga, padahal harga sedang membubung tinggi. Seandainya tas‘îr boleh, pastilah Rasulullah saw. memenuhi permintaan tersebut. Namun, Beliau ternyata tidak memenuhinya. Dalam riwayat Anas di atas, Beliau menjelaskan alasan mengapa Beliau tidak melakukannya.  Beliau menjelaskan bahwa tas‘îr merupakan kezaliman, sedangkan segala bentuk kezaliman adalah haram.  Atas dasar itu, tas‘îr hukumnya haram.  Ini adalah pendapat jumhur ulama. 

Keharaman tas‘îr ini berlaku secara umum untuk semua komoditi. Hal itu sesuai keumuman larangan tas‘îr di atas.  Rasulullah saw. menyatakan tas’îr sebagai kezaliman tanpa menyebutkan komoditinya. Ini artinya keharaman itu berlaku untuk semua jenis komoditi.   Keharaman tas’îr juga berlaku dalam semua kondisi baik kondisi damai atau perang; baik harga anjlok, normal atau sedang membubung tinggi.  Hal itu sesuai dengan kemutlakan nasnya.

Pada faktanya, pematokan harga merupakan dharar bagi umat.  Pematokan harga itu akan mendorong terbentuknya pasar gelap yang jauh dari monitoring negara.  Dengan begitu suplay barang ke pasar akan berkurang karena diperdagangkan di pasar gelap.  Lalu harga di pasar normal akan mengalami kenaikan tanpa bisa dicegah oleh negara. Selain mendorong terbentuknya pasar gelap, pematokan harga juga bisa mempengaruhi tingkat produksi atau konsumsi. Pada tingkat tertentu mungkin bisa menyebabkan krisis ekonomi.

Peran Negara dalam Memonitor Harga

Penguasa diperintahkan untuk memelihara kemaslahatan kaum Muslim (masyarakat) secara keseluruhan. Penguasa tidak boleh mengutamakan kemaslahatan pembeli dan mengesampingkan kemaslahatan penjual dengan mematok harga tertinggi. Penguasa juga tidak boleh mengutamakan kemaslahatan penjual dan mengabaikan kemaslahatan pembeli dengan menetapkan harga terendah.  Ia juga tidak boleh melanggar kemaslahatan penjual dan pembeli dengan mamaksa mereka untuk berjual beli dengan satu harga yang ia tetapkan.  Untuk mengontrol harga, penguasa harus menjaga stabilitas keseimbangan penawaran dan permintaan.

Dalam kondisi harga terpuruk, keterpurukan harga itu bisa disebabkan oleh kelebihan penawaran karena over produksi atau panen raya.  Karena itu,  negara harus memiliki strate-gi integral pengaturan produksi, semisal mendorong petani menanam komoditi sesuai dengan keunggulan daerahnya, atau membim-bing mereka mengatur pola produksi (tanam).  Hal itu didukung dengan pemberian informasi pasar, cuaca dan informasi yang dibutuhkan petani secara berkesinambungan. Negara melalui badan seperti Bulog juga bisa menyerap kelebihan penawaran dengan membelinya dari produsen (petani) dengan harga yang layak. Lalu komoditi itu disimpan untuk dan bisa dikeluarkan pada saat over demand untuk menjaga keseimbangan suplay dan demand.

Dalam kondisi harga melonjak, lonjakan harga itu terjadi bisa karena barang tidak tersedia di pasar akibat aksi penimbunan.  Dalam hal ini syariah mengharamkan penimbunan. Karena itu, yang harus dilakukan adalah penegakan hukum dengan menindak pelaku penimbunan dan memaksanya agar menggelontorkan barang ke pasar; Bisa juga tingginya harga disebabkan kurangnya penawaran.  Karena itu, negara harus berupaya menaikkan penawaran. Hal itu bisa dilakukan dengan mengeluarkan barang yang ada di gudang negara ke pasar; bisa juga dengan mendatangkan komoditi dari daerah yang produksinya berlimpah. Hal itu seperti yang dilakukan Umar bin al-Khathab saat harga bahan makanan melonjak di Hijaz karena paceklik. Lalu ia mendatangkan bahan makanan dari Mesir dan Syam yang produksinya berlimpah ke Hijaz sehingga harga kembali normal tanpa perlu mematok harga.  Upaya itu bisa dilakukan negara dengan membeli dari daerah yang berlimpah dan dibawa ke daerah yang kekurangan; bisa juga dengan mendorong para pedagang untuk mendatangkannya ke daerah yang kekurangan dengan memberikan insentif tertentu. Jika harus mendatangkannya dari luar negeri, negara bisa menurunkan cukai atau bahkan menghapusnya untuk mendorong pedagang asing memasukkan barang itu ke dalam negeri. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman].

Catatan Kaki:

1   Al-Minawi, At-Ta’ârif, I/405, Dar al-Fikr al-Mu’ashirah-Dar al-Fikr, Beirut-Damaskus, cet. I. 14140 H.

2   Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, IV/365, Dar Shadir, Beirut, cet. I. tt

3   Ibid; Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, I/126, Maktabah Lubnan Nasyirun, Beirut, cet. Baru. 1995 M-1415 H.

4   Lihat: Asy-Syaukani, Nayl al-Awthar, V/334-335, dar al-Jil, Beirut. 1973; Qadhi an-Nabhan, Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, hlm. 199, Dar al-Ummah li ath-Thaba’ah wa an-Nasyr wa at-Tawzi’, Beirut, cet. Mu’tamadah. 2004 M-1424 H.

AT-TAS'IR
[PEMATOKAN HARGA]

Kata tas‘îr berasal dari kata sa‘ara–yas‘aru–sa‘ran, yang artinya menyalakan.  Lalu dibentuk menjadi kata as-si‘ru dan jamaknya as‘âr  yang artinya harga (sesuatu). Kata as-si‘ru ini digunakan di pasar untuk menyebut harga (di pasar) sebagai penyerupaan terhadap aktivitas penyalaan api, seakan menyalakan nilai (harga) bagi sesuatu.

Dikatakan, “Sa‘arat asy-syay’a tas‘îran,” artinya menetapkan harga sesuatu yang merupakan titik berhenti tawar-menawar.1  Jika dikatakan, “As‘arû wa sa‘arû,” artinya mereka telah bersepakat atas suatu harga tertentu.2 Oleh karena itu, tas‘îr secara bahasa berarti taqdîr as-si‘ri (penetapan/penentuan harga).3

Anas bin Malik menuturkan bahwa pada masa Rasulullah saw. pernah terjadi harga-harga membubung tinggi. Para Sahabat lalu berkata kepada Rasul, “Ya Rasulullah saw. tetapkan harga demi kami.” Rasulullah saw. menjawab:

إِنَّ اللهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّي َلأَرْجُوْ أَنْ أَلْقَى اللهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلاَ مَالٍ

Sesungguhnya Allahlah Zat Yang menetapkan harga, Yang menahan, Yang mengulurkan, dan yang Maha Pemberi rezeki. Sungguh, aku berharap dapat menjumpai Allah tanpda ada seorang pun yang menuntutku atas kezaliman yang aku lakukan dalam masalah darah dan tidak juga dalam masalah harta (HR Abu Dawud, Ibn Majah dan at-Tirmidzi).

Abu Hurairah juga menuturkan, pernah ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw. Ia lalu berkata, “Ya Rasulullah, tetapkanlah harga.”  Rasulullah saw. menjawab, “Akan tetapi, aku hanya akan berdoa kepada Allah.”  Lalu datang orang lain dan berkata, “Ya Rasulullah, tetapkanlah harga.” Beliau menjawab:

بَلْ اللهُ يَخْفِضُ وَيَرْفَعُ

Akan tetapi, Allahlah Yang menurunkan dan menaikkan harga. (HR Ahmad dan ad-Darimi).

Dari sini para ulama merumuskan definisi tas‘îr secara syar‘i, yaitu: seorang imam (penguasa), wakilnya atau setiap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim memerintahkan kepada para pelaku pasar agar tidak menjual komoditas kecuali dengan harga tertentu; mereka dilarang untuk menambah harganya hingga harga tidak membubung atau mengurangi harganya hingga tidak memukul selain mereka.  Jadi, mereka dilarang untuk menambah atau mengurangi dari harga yang dipatok demi kemaslahatan masyarakat.4 Artinya, negara melakukan intervensi atas harga dengan menetapkan harga tertentu atas suatu komoditas dan setiap orang dilarang untuk menjual lebih atau kurang dari harga yang ditetapkan itu demi mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat.

Fakta pematokan harga ini dapat kita saksikan dalam sistem ekonomi kapitalis pada saat ini. Pematokan harga itu dilakukan negara dengan alasan untuk melindungi kepentingan masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu, misalnya kelompok produsen atau kelompok konsumen.

Pematokan harga terjadi dalam tiga bentuk: Pertama, pematokan harga secara fix.  Kedua, pematokan harga tertinggi, yakni dengan menetapkan harga jual tertinggi. Contohnya adalah penetapan harga eceran tertinggi pupuk. Penjual dilarang menjual lebih dari harga tertinggi yang dipatok itu.  Sebaliknya, mereka boleh menjual dengan harga yang lebih rendah.  Ini ditetapkan demi melindungi konsumen. Ketiga, pematokan harga terendah seperti pematokan harga terendah gabah, dsb. Dalam hal ini pembeli dilarang membeli lebih rendah dari harga terendah itu. Sebaliknya, mereka boleh membeli dengan harga lebih tinggi dari harga itu. Ini dilakukan untuk melindungi produsen. Contohnya adalah penetapan harga terendah gabah untuk melindungi petani. Meski demikian, dalam praktiknya kebijakan ini terlihat tidak efektif. Pada saat panen raya, harga gabah tetap saja anjlok.  Begitu juga harga pupuk; sering lebih tinggi daripada harga eceran tertinggi yang ditetapkan Pemerintah.

Hukum Tas‘îr

Allah telah menetapkan seseorang untuk menjual komoditasnya dengan harga yang ia ridhai.  Allah Swt. berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian. (QS an-Nis⒠[4]: 29).

Rasulullah saw. juga pernah bersabda:

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

Sesungguhnya jual-beli itu harus dengan saling ridha (antara penjual dan pembeli). (HR Ibn Majah).

Tas‘îr bertentangan dengan nash-nash tersebut. Sebab, tas‘îr bermakna pemaksaan atas penjual dan atau pembeli untuk berjual-beli dengan harga tertentu.  Ini melanggar kepemilikan seseorang karena kepemilikan itu bermakna seseorang memiliki kekuasaan atas harta miliknya. Karena itu, ia berhak menjual dengan harga yang ia sukai.  Pematokan harga tentu akan menghalangi atau merampas sebagian kekuasaan seseorang atas hartanya. Sesuai keterangan nas syariah di atas, hal itu tidak boleh terjadi.

Dalam riwayat Abu Hurairah di atas, Rasulullah saw. pernah diminta untuk mematok harga, padahal harga sedang membubung tinggi. Seandainya tas‘îr boleh, pastilah Rasulullah saw. memenuhi permintaan tersebut. Namun, Beliau ternyata tidak memenuhinya. Dalam riwayat Anas di atas, Beliau menjelaskan alasan mengapa Beliau tidak melakukannya.  Beliau menjelaskan bahwa tas‘îr merupakan kezaliman, sedangkan segala bentuk kezaliman adalah haram.  Atas dasar itu, tas‘îr hukumnya haram.  Ini adalah pendapat jumhur ulama. 

Keharaman tas‘îr ini berlaku secara umum untuk semua komoditi. Hal itu sesuai keumuman larangan tas‘îr di atas.  Rasulullah saw. menyatakan tas’îr sebagai kezaliman tanpa menyebutkan komoditinya. Ini artinya keharaman itu berlaku untuk semua jenis komoditi.   Keharaman tas’îr juga berlaku dalam semua kondisi baik kondisi damai atau perang; baik harga anjlok, normal atau sedang membubung tinggi.  Hal itu sesuai dengan kemutlakan nasnya.

Pada faktanya, pematokan harga merupakan dharar bagi umat.  Pematokan harga itu akan mendorong terbentuknya pasar gelap yang jauh dari monitoring negara.  Dengan begitu suplay barang ke pasar akan berkurang karena diperdagangkan di pasar gelap.  Lalu harga di pasar normal akan mengalami kenaikan tanpa bisa dicegah oleh negara. Selain mendorong terbentuknya pasar gelap, pematokan harga juga bisa mempengaruhi tingkat produksi atau konsumsi. Pada tingkat tertentu mungkin bisa menyebabkan krisis ekonomi.

Peran Negara dalam Memonitor Harga

Penguasa diperintahkan untuk memelihara kemaslahatan kaum Muslim (masyarakat) secara keseluruhan. Penguasa tidak boleh mengutamakan kemaslahatan pembeli dan mengesampingkan kemaslahatan penjual dengan mematok harga tertinggi. Penguasa juga tidak boleh mengutamakan kemaslahatan penjual dan mengabaikan kemaslahatan pembeli dengan menetapkan harga terendah.  Ia juga tidak boleh melanggar kemaslahatan penjual dan pembeli dengan mamaksa mereka untuk berjual beli dengan satu harga yang ia tetapkan.  Untuk mengontrol harga, penguasa harus menjaga stabilitas keseimbangan penawaran dan permintaan.

Dalam kondisi harga terpuruk, keterpurukan harga itu bisa disebabkan oleh kelebihan penawaran karena over produksi atau panen raya.  Karena itu,  negara harus memiliki strate-gi integral pengaturan produksi, semisal mendorong petani menanam komoditi sesuai dengan keunggulan daerahnya, atau membim-bing mereka mengatur pola produksi (tanam).  Hal itu didukung dengan pemberian informasi pasar, cuaca dan informasi yang dibutuhkan petani secara berkesinambungan. Negara melalui badan seperti Bulog juga bisa menyerap kelebihan penawaran dengan membelinya dari produsen (petani) dengan harga yang layak. Lalu komoditi itu disimpan untuk dan bisa dikeluarkan pada saat over demand untuk menjaga keseimbangan suplay dan demand.

Dalam kondisi harga melonjak, lonjakan harga itu terjadi bisa karena barang tidak tersedia di pasar akibat aksi penimbunan.  Dalam hal ini syariah mengharamkan penimbunan. Karena itu, yang harus dilakukan adalah penegakan hukum dengan menindak pelaku penimbunan dan memaksanya agar menggelontorkan barang ke pasar; Bisa juga tingginya harga disebabkan kurangnya penawaran.  Karena itu, negara harus berupaya menaikkan penawaran. Hal itu bisa dilakukan dengan mengeluarkan barang yang ada di gudang negara ke pasar; bisa juga dengan mendatangkan komoditi dari daerah yang produksinya berlimpah. Hal itu seperti yang dilakukan Umar bin al-Khathab saat harga bahan makanan melonjak di Hijaz karena paceklik. Lalu ia mendatangkan bahan makanan dari Mesir dan Syam yang produksinya berlimpah ke Hijaz sehingga harga kembali normal tanpa perlu mematok harga.  Upaya itu bisa dilakukan negara dengan membeli dari daerah yang berlimpah dan dibawa ke daerah yang kekurangan; bisa juga dengan mendorong para pedagang untuk mendatangkannya ke daerah yang kekurangan dengan memberikan insentif tertentu. Jika harus mendatangkannya dari luar negeri, negara bisa menurunkan cukai atau bahkan menghapusnya untuk mendorong pedagang asing memasukkan barang itu ke dalam negeri. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman].

Catatan Kaki:

1   Al-Minawi, At-Ta’ârif, I/405, Dar al-Fikr al-Mu’ashirah-Dar al-Fikr, Beirut-Damaskus, cet. I. 14140 H.

2   Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, IV/365, Dar Shadir, Beirut, cet. I. tt

3   Ibid; Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, I/126, Maktabah Lubnan Nasyirun, Beirut, cet. Baru. 1995 M-1415 H.

4   Lihat: Asy-Syaukani, Nayl al-Awthar, V/334-335, dar al-Jil, Beirut. 1973; Qadhi an-Nabhan, Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, hlm. 199, Dar al-Ummah li ath-Thaba’ah wa an-Nasyr wa at-Tawzi’, Beirut, cet. Mu’tamadah. 2004 M-1424 H.

__._,_.___

Your email settings: Individual Email|Traditional
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe

__,_._,___

Kirim email ke