Selamat sore, Bapak Johanes Sutopo, yang minulyo, Nuwun sewu, saya ingin menghaturkan banyak terima kasih atas tulisan Bapak yang berjudul "The Tao of Mbak Marijan," yang mengingatkan saya pada suatu peristiwa di tahun l942, waktu alm. orang tua dan saudara-saudara saya mengungsi dari Bandung ke desa Pakem, menjelang invasti tentara Jepang.
Pada suatu sore, Mas Djalal, menantu tetangga pemilik rumah yang disewa orangtua, sepulang dari sawah, kesurupan, kemasukan roh Condrogeni yang menamakan diri sebagai penjaga Gunung Merapi. Roh tsb marah-marah, karena setelah Jepang menduduki Indonesia, jam diajukan satu jam disesuaikan dengan jam di Tokio. Saya yang pada waktu itu baru berumur 12 tahun sampai sekarang masih teringat peristiwa tsb dan kata-kata kemarahan Condrogeni, "wong jam kok diowah-owahi." Saya sangat tertarik bahwa Condrogeni yang rohnya memasuki Mas Djalal tsb, disebut-sebut dalam literatur Jawa Kuno sebagai nama lain dari Gunung Merapi seperti yang dtulis oleh Bapak. Demikian sekadar kenangan waktu pada tahun l942, orangtua sekeluarga mengungsi ke desa Pakem selama beberapa bulan. Matur sanget nuwun. Salam hormat saya, Sumar. ----- Original Message ----- From: yohanes sutopo To: artculture-indonesia@yahoogroups.com Sent: Sunday, September 21, 2008 10:47 PM Subject: [ac-i] The Tao of Mbah Marijan Essay: (Esai ini kami tulis ketika heboh berita tentang Gunung Merapi beberapa waktu yang lalu) The Tao of Mbah Marijan Beberapa hari terakhir ini berita-berita di televisi heboh dengan pemberitaan akan meletusnya Gunung Merapi, atau yang dalam literatur Jawa kuno disebut sebagai Gunung Candrageni. Benarkah Gunung Merapi akan meletus? Beberapa waktu lalu, Mbah Marijan, juru kunci Merapi pernah diwawancarai di Jogja TV selama sekitar kurang lebih 1 jam. Saya sangat terkesan dengan sosok Mbah Marijan: keluguan dan kesederhanaannya. Dia tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, dan menjawab semua pertanyaan dalam bahasa Jawa halus. Sayangnya, penyiar Yogya TV yang mewancarai Mbah Marijan tidak menguasai bahasa Jawa dengan baik. Sehingga sering terjadi salah-sambung antara keduanya: ditanya begini jawabnya begitu, ditanya begitu jawabnya begini. Namun dalam kesederhanaan dan keluguannya, toh tetap tersirat betapa mendalam kebijaksaan Mbah Marijan. Tentang kebijaksaan yang lugu dan alami ini, seorang penulis dan praktisi Tao dari Barat, Benjamin Hoff, menuils tentang Winnie The Pooh: tokoh kartun yang lugu dan 'bodoh'. Namun dalam 'kebodohannya' justru terpancar kebaikan dan kebajikannya yang begitu natural. (Benjamin Hoff: The Tao of Pooh). "Kula niki tiyang bodho," saya ini orang bodoh, begitu kalimat yang terus menerus diulang Mbah Marijan dalam wawancara tersebut. Dia mengaku tidak tahu-menahu tentang alat-alat canggih yang dimiliki ahli volkanologi yang meramalkan Gunung Merapi akan meletus. Dia hanya membaca tanda-tanda alam. Dan dari isyarat-isyarat alam yang ia tangkap, saat wawancara tersebut Mbah Marijan mengatakan bahwa Gunung Merapi belum akan meletus. Mbah Marijan sangat dekat dengan alam, dan sangat menghormati alam dan Kehidupan secara keseluruhan. Kebajikan itulah yang telah hilang dalam teknologi Barat. Kebudayaan Barat dengan kecanggihan teknologinya dan paham kapitalismenya telah melupakan inti kebijaksanaan yang paling mendalam: bahwa manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari alam semesta. Orang Barat meng-eksploitasi alam untuk memperkaya pemilik modal atau kapitalis, orang Jawa menjaga harmoni dalam kehidupannya bersama alam. Betapa Mbah Marijan sangat menghormati alam, nampak dalam keyakinan ini: bahwa saat terlihat kepulan asap dan debu pekat keluar dari moncong Gunung Merapi, seharusnya orang tak boleh menyebutnya sebagai wedhus gembel, seperti yang biasa dilakukan orang, "E, kae lho, ana wedhus gembel." Sebaliknya kita harus berkata begini, "Assalamualaikum. Dhuh Gusti, kawula nyuwun slamet." Ini mengingatkan saya pada Santo Fransiskus dari Asisi yang sangat menyatu dengan alam, bahkan berbincang-bincang dengan matahari atau seeokor ikan, karena menganggap mereka adalah saudaranya. Satu hal yang dikritik Mbah Marijan adalah: eksploitasi besar-besaran dengan menggunakan alat-alat berat untuk mengeruk pasir dari lereng Gunung Merapi dan membawanya keluar wilayah Gunung Merapi. Makin dalam kerukan pasir, makin sulit tertimbun kembali, sehingga padang rumput pun makin lama makin sempit... dan penduduk sekitar yang sebagian besar beternak sapi perah untuk mencari nafkah kesulitan mencari pakan bagi ternak mereka. Menurut Mbah Marijan: hal ini mengganggu keseimbangan alam. Dan jika keseimbangan alam terganggu: maka bumi pun akan horeg dan gonjang-ganjing. Dalam pemahaman Mbah Marijan, alam adalah satu-kesatuan: dari yang paling kecil hingga yang paling besar, dari yang kasar hingga yang tak kasat mata. Dan jika terjadi ketidakseimbangan di satu titik: katakanlah manusia menjadi terlalu serakah atau tamak, itu akan membuat kaki-kaki bumi goyah... dan roh-roh halus penghuni dasar bumi akan marah dan meminta tumbal darah! Walahualam. Salam, www.catatanrenungan.blogspot.com ***