Kritik Suwarno Wisetrotomo untuk Komunitas Seni Sakato

“Sakato” adalah
bahasa Minang, artinya “sekata”. Mudah ditebak, nama itu bermakna ikrar
terhadap komitmen, sekata atau satu kata. Sekata dalam hal apa?
Mencermati beberapa kegiatan yang diselenggarakan, barangkali nanti
akan bisa ditengarai, cita-cita apa sesungguhnya di balik nama “Sakato”.

“Sakato”
dibangun (didirikan) menjadi semacam keluarga besar. Menampung
anak-anaknya, dari generasi ke generasi. Para senior, seperti H. Risman
Marah, Darvies Rasjidin, Kasman Piliang (alm.), Syaiful Adnan,
Syahrizal Koto, Ali Umar, Hendra Buana, Arlan Kamil, Yetmon Amir,
Basrizal Albara, barangkali diposisikan sebagai “orang tua” (asuh),
atau mereka menyebutnya sebagai “generasi pertama”. Sementara anak-anak
(asuh) yang disebut sebagai “generasi kedua”, seperti Rudi Mantofani,
Yunizar, Yusra Martunus, M. Irfan, Jumaldi Alfi, Handiwirman Saputra,
Ardison, Yon Indra, Zulfa Hendra, hingga Stefan Buana, Ibrahim, atau
Feri Eka Candra, dan lain-lain, hadir sebagai kekuatan baru dalam
keluarga ini. Disusul kemudian sebagai “generasi ketiga” (generasi
tahun 2000-an)  seperti Afdal, Desrat Wianda, David Army Putra, Taufik,
Niko Ricardi, Tommy Wondra, Hamdan, Ade Pasker, Hojatul Islam, Imbalo
Sakti, dan lain-lain, yang mulai memberi aksentuasi kuat dalam panggung
seni rupa Indonesia.

Selengkapnya, simak di http://indonesiaartnews.or.id/



      

Kirim email ke