Ruang Putih 
[JAWA POS  Minggu, 01 Agustus 2010 ] 
Jatim Tidak Butuh Perspektif Jakarta 
(Tanggapan untuk Arif B. Prasetya) 

PANDANGAN Arif B. Prasetya tentang sastra Jawa Timur (Jawa Pos,  25 Juli 2010) 
bukanlah ''sesuatu yang baru'', tetapi hanyalah runutan  catatan politis yang 
diperkenankan oleh Dewan Kesenian Jakarta terhadap  sejarah Jawa Timur. Agus R. 
Sardjono secara eksplisit menyebut,  kelisanan (orality) dalam kehidupan sastra 
modern Indonesia harus segera beralih menuju keberaksaraan (literacy) 
(pengantar 
buku Cakrawala Sastra Indonesia, 2004). Acuan Arif  B. Prasetya pun tak 
jauh-jauh dari itu.

Tampak jelas, bahwa ''persemaian Jawa Timur'', yang dicatatkan, katakanlah pada 
buku Pesta Penyair (DKJT, 2010), hanya kepentingan pusat untuk mengontrol 
wilayah-wilayah  jajahannya. Politik itu semakin jelas dengan tidak 
tercantumnya 
nama  Kuspriyanto Namma dan Bagus Putu Parto dalam buku Pesta Penyair.  Sebab, 
dua penyair itu adalah gerbong utama Revitalisasi Sastra  Pedalaman, sebuah 
gerakan sastra yang menolak perspektif Jakarta pada  era 80-an dan sedikit 
menganggu ''tidur nyenyak''  Jakarta. Faktanya,  dua penyair tersebut tetap 
berproses dan menulis karya-karyanya, antara  lain, terlihat dalam antologi 
Malsasa (2009). Lebih celaka lagi, muncul penyair-penyair yang ''tak punya 
sejarah'' yang dipaksa masuk ke buku terbitan DKJT itu. 


Jakarta  memang punya kepentingan strategis -dengan menghapus ''kelisanan''  
sastra dalam sejarah sastra Indonesia- utamanya berkaitan dengan politik  
identitas. Jakarta masa kini, dengan memanfaatkan pelembagaan puitiknya  (DKJ 
dan media massa terbitan Jakarta), berupaya mencengkeram militansi  kedaerahan. 
Seperti ungkapan Sutardji Calzoum Bachri, ''yang dibutuhkan  Riau adalah 
merdeka 
dari estetika Jakarta'' (dalam acara Cakrawala  Sastra Indonesia, 2004). 
Implikasi standardisasi estetika khas Jakarta  justru mempermiskin persemaian 
sastra dan cenderung menciptakan budaya  plagiat dan penyeragaman karya. Karena 
itu, puisi-puisi Jawa Timur  ''hampir tak biasa'' menyokong berbiaknya dinamika 
kebudayaan Indonesia  -karena kebanyakan penyair cenderung ''menjiplak'' 
Goenawan Mohamad,  Sapardi Djoko Damono, maupun Sitok Srengenge. Toh, kalaupun 
ada  militansi dan fragmentasi estetika, penulis-penulis militan itu pun  tidak 
diakui oleh pelembagaan kesenian formal di Jawa Timur. Inilah  kenyataannya.

Toh, sebuah teori sastra tidak bisa dipakai  untuk menilai ratusan kreativitas. 
Tak urung, Lucien Goldmann menyebut,  ''Teori saya (strukturalisme genetik) 
hanya bisa dipakai untuk membahas  karya Andre Marlaux, Pascal, Jean Recine, 
atau karya-karya lain yang  punya struktur yang sama dengan tiga karya 
tersebut.'' Karena itu,  dibutuhkan begitu banyak cara pandang untuk membaca 
Jawa Timur -dan  bukan lewat ''asumsi'', tetapi penjelmaan riset, analisis, dan 
tumbuhnya  berbagai persepsi untuk mewadahi berbagai gejala kesastraan.

Militansi  dan ketidakpuasan komunitas sastra terhadap sumbu-sumbu kekuasaan  
Jakarta ''memicu'' tumbuhnya konsep independen tentang kualitas karya.  Dengan 
begitu, definisi kualitas berujung pada indikator komunikasi  antara teks dan 
audiens secara langsung. Seiring timbulnya sikap skeptis  terhadap ''replika'' 
kesadaran Jakarta. Berbagai alternatif muncul,  baik lewat pembacaan puisi 
maupun penerbitan. Kita bisa mencatat, antara  lain, Mimpi Jakarta (R. Giryadi, 
2006), Suara-Suara Sumbang (Rego S. Ilalang, 2006), Reuni (Ali Ibnu Anwar, 
2006), Kesaksian Sebuah Perjalanan (Brewok A.S., 2004), Pisau Melukis Gelas 
(Igbal Barras, 2009), juga antologi Malsasa yang terbit 2005, 2007, dan 2009 
(daftar itu sebenarnya masih cukup panjang).

Grand design Jakarta  perihal estetika dan keberaksaraan hanya menyentuh 
lapisan 
terluar Jawa  Timur, yakni penulis-penulis yang ''berpikir ala Jakarta'', 
utamanya  penyair-penyair Surabaya. Pergeseran estetika terjadi pada beberapa  
sektor. Pertama, mobilitas sastra online (internet) yang telah  memengaruhi 
persepsi terhadap sejarah sastra (sastra koran). Dengan  demikian, reproduksi 
sastra dan pembentukan karakter terjadi lewat  pembiakan yang ''hampir tanpa 
kontrol''. Pengertian kualitas -yang  awalnya menjadi status quo dan hak-hak 
istimewa kaum akademisi,  redaktur, aparat-aparat kritis-lambat laun runtuh dan 
tak punya hak  bersuara lagi. Dialektika terjadi semarak, hampir tak berjarak 
lagi  antara penulis dan audiens, konstruksi pikiran pun dibongkar  
sebebas-bebasnya.

Kedua, menguatnya aspek ''kelisanan'' yang  menggali sumber-sumber inspirasi 
dan 
pengetahuan dari apa yang kita  kenal ''kehidupan sehari-hari''. Komunikasi 
sederhana antarindividu,  makna-makna yang terkesan verbal dan struktur puitik 
yang simpel dan  ''tidak bertele-tele''. Seperti tampak pada kutipan karya 
Kuspriyanto  Namma berikut ini.

Mula-mula hanya menebang sebatang pohon 

Tak ada teguran 

malah mendapat tambahan kawan 

maka ramai-ramai mengubah hutan jadi ladang 

ditanami palawija yang menguntungkan 

Mula-mula hanya banjir besar kecil-kecilan 

dianggap cobaan ringan 

ketika rumah-rumah hanya terlihat wuwungan 

baru tersadar bahwa hutan telah hilang 

butuh dua puluh lima tahun untuk menanam 

(Sajak Catatan Tahun 2007, antologi Malsasa 2009, hal. 50)

Struktur  puisi di atas hampir tak memakai konstruksi simbol yang berbelit. 
Pesan  yang disampaikan cukup sederhana, tetapi cukup menggugah emosi -dan  
ditandai ''psikologi otomatis'', yakni upaya penyair yang memindahkan  objek 
dengan tanpa membebani pikiran-pikiran abstrak. Kuspriyanto Namma  membangun 
konstruksi puitiknya dari bentukan tanda-tanda yang lazim dan  mengubah 
peristiwa referensial menjadi ''bunyi pikiran'' yang khas.  Teknik itu 
mengingatkan kita pada beberapa sajak Rainer Maria Rilke  dalam kumpulan The 
Cornet. 


Tampak sekali perbedaan  antara persepsi Jakarta dan kebanyakan penyair-penyair 
Jawa Timur.  Jakarta masih belum selesai mempersoalkan ''bahasa'' dan bagaimana 
 
meletakkannya -sebagai sesuatu yang abstrak, eksklusif, dan  terus-menerus 
dieksplorasi (hampir tanpa ujung). Sebaliknya, sebagian  penulis di Jawa Timur 
sudah selesai mempersoalkannya (setidaknya sesudah  euforia reformasi) dan 
justru menggali inspirasi yang lebih konkret dan  rasional. Karena itu, 
cukuplah 
naif jika asumsi Jakarta ditempatkan  untuk membaca Jawa Timur. Terlebih, 
karena 
komponen struktur dan alam  budaya yang melatari kreativitas tak mungkin 
dibakukan. Juga, butuh  banyak persepsi untuk mendalami ''bawah sadar'' 
penulis-penulis Jawa  Timur. (*)

*) W. Haryanto,   ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Kabupaten Blitar dan ketua 
Forum Alumni Unair Independent (FauNA)   



  
 
Negeri Fabel 

________________________________
 
 
Reality Show Di Seputar Presiden 

________________________________

Kirim email ke