SHALAT JUM’AT DALAM PANDANGAN FIQH

Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi
http://almanhaj.or.id/content/2617/slash/0/jumat-jumlah-dalam-menegakkan-shalat-jumat-kapan-dianggap-mendapatkan-shalat-jumat/


JUMLAH YANG DISYARATKAN DALAM MENEGAKKAN SHALAT JUM’AT
Shalat Jum’at dilakukan secara berjama’ah dan tidak sah bila dilakukan secara 
sendirian. Para ulama berselisih tentang jumlah minimal orang yang menghadiri 
shalat Jum’at, terbagi menjadi beberapa pendapat.

Pertama : Tidak diadakan, kecuali minimal 40 orang dari orang yang diwajibkan 
shalat Jum’at. Demikian ini pendapat madzhab Malik, Syafi’i dan yang masyhur 
dalam madzhab Ahmad, dand diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan Ubaidillah 
bin Abdillah bin Utbah.

Dalilnya sebagai berikut:

- Hadits Ka’ab bin Malik:

أَسْعَدُ بْنِ زُرَارَةَ أَوَّلُ مَنْ جَمَّعَ بِنَا فِي هَزْمِ النَّبِيتِ مِنْ 
حَرَّةِ بَنِي بَيَاضَةَ فِي نَقِيعٍ يُقَالُ لَهُ نَقِيعُ الْخَضَمَاتِ قُلْتُ 
كَمْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ قَالَ أَرْبَعُون

"As’ad bin Zararah adalah orang pertama yang mengadakan shalat Jum’at bagi kami 
di daerah Hazmi An Nabit dari harrah Bani Bayadhah di daerah Naqi’ yang 
terkenal dengan Naqi’ Al Khadhamat. Saya bertanya kepadanya: “Waktu itu, kalian 
berapa?” Dia menjawab,”Empat puluh.”[30]

- Hadits Jabir yang berbunyi:

مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِيْ كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَهَا جُمْعَةٌ

"Telah lalu Sunnah, bahwa setiap empat puluh orang ke atas diwajibkan shalat 
Jum’at."[31]

Kedua : Tidak sah diadakan, kecuali terdapat limapuluh orang. Demikian ini 
salah satu riwayat Imam Ahmad dengan hujjah:

- Hadits Abu Umamah, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi 
wa sallam :

عَلَى الْخَمْسِيْنَ جُمْعَةٌ وَلَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ ذَلِكَ

"Diwajibkan Jum’at pada lima puluh orang dan tidak diwajibkan pada di bawahnya. 
(Namun haditsnya lemah, di sanadnya terdapat Ja’far bin Az Zubair, seorang 
matruk)."

- Hadits Abu Salamah, ia bertanya kepada Abu Hurairah: “Berapa jumlah orang 
yang diwajibkan shalat jama’ah padanya?” Abu Hurairah menjawab,”Ketika sahabat 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berjumlah lima puluh, Rasulullah 
mengadakan shalat Jum’at’ [33]. Imam Al Baihaqi berkata,”Telah diriwayatkan 
dalam permasalahan ini hadits tentang jumlah lima puluh, namun isnadnya tidak 
shahih.” [34]

Pendapat ini lemah, karena dalil-dalilnya dhaif (lemah).

Ketiga : Harus ada dua belas orang dari yang diwajibkan Jum’at. Demikian 
madzhab Rabi’ah bin Abdirrahman dan riwayat dalam madzhab Malik. Mereka 
berdalil dengan hadits Jabir :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا 
يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَجَاءَتْ عِيرٌ مِنْ الشَّامِ فَانْفَتَلَ النَّاسُ إِلَيْهَا 
حَتَّى لَمْ يَبْقَ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri berkhutbah pada hari Jum’at, 
lalu datanglah rombongan dari Syam, lalu orang-orang pergi menemuinya sehingga 
tidak tersisa, kecuali dua belas orang." [35]

Hadits ini tidak dapat dijadikan dalil pembatasan hanya dua belas orang saja, 
karena terjadi tanpa sengaja, dan ada kemungkinan sebagiannya kembali ke masjid 
setelah menemui mereka.

Keempat : Disyaratkan paling sedikit empat orang. Demikian pendapat masdzhab 
Abu Hanifah, Al Laits bin Sa’ad, Zufar dan Muhammad bin Al Hasan [36] dengan 
berdalil pada firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ 
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ

"Mereka menyatakan, bahwa kata amanu adalah bentuk jama’ (plural’s), dan jama 
paling sedikit tiga ditambah imam, maka berjumlah empat orang. Ini jelas lemah 
dalam pengambilan dalilnya"

Kelima : Disyaratkan paling sedikit tiga orang: seorang khatib dan dua orang 
pendengarnya. Demikian riwayat dari Imam Ahmad, Al Hasan Al Bashri, Abu Yusuf, 
Abu Tsaur dan salah satu pendapat Sufyan Ats Tsauri [37], berdalil dengan 
pernyataan di bawah ini:

- Tiga adalah angka terkecil dalam bentuk jama’.
- Hadits Abu Ad Darda’yang berbunyi:

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ 
إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ

"Tidak ada dari tiga orang di satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan 
padanya shalat, kecuali syetan akan menguasai mereka".[38]

Mereka menyatakan, shalat yang dimaksudkan disini bersifat umum, meliputi 
shalat Jum’at dan yang lainnya. Ini menunjukkan kewajiban shalat Jum’at bagi 
tiga orang.

Demikian pendapat Ibnu Taimiyah yang menyatakan: Shalat Jum’at sah diadakan 
oleh tiga orang. Seorang berkhutbah, dan dua orang yang mendengarnya.[39]” Dan 
pendapat ini juga dirajihkan Syaikh Ibnu Baaz [40], Muhammad bin Shalih Al 
Utsaimin [41] dan fatwa Lajnah Daimah Saudi Arabia [42].

Keenam : Sah diadakan oleh dua orang atau lebih. Demikian pendapat madzhab 
Dzahiriyah, An Nakha’i, Al Hasan bin Shalih, Makhul dan Ath Thabari. Mereka 
menyatakan, telah dimaklumi bahwa shalat jama’ah selain Jum’at sah dilakukan 
dua orang saja secara Ijma’, dan shalat Jum’at sama dengan shalat jama’ah 
lainnya. Barangsiapa yang mengeluarkannya dari shalat jama’ah lainnya, maka 
harus mendatangkan dalil, dan tidak ada dalil yang tegas dalam masalah ini. 
Pendapat ini dirajihkan Imam Ibnu Hazm [43], Asy Syaukani [44], Muhammad Shidiq 
Hasan Khan dan Al Albani [45]. Demikian inilah pendapat yang rajih, insya Allah.

HUKUM KHUTBAH JUM’AT
Menurut pendapat yang rajih, khutbah Jum’at merupakan satu kewajiban dalam 
shalat Jum’at, dengan dalil sebagai berikut:

- Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ 
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرُُ 
لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari 
Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah 
jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui". [Al 
Jum’ah:9]

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada kita agar bersegera mengingat Allah 
Subhanahu wa Ta'ala sejak mendengar adzan, dan setelah adzan ada khutbah. 
Dengan demikian firman Allah (فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ ) meliputi khutbah 
juga. Apabila bersegera mendengar khutbah merupakan kewajiban, maka tentunya 
khutbah menjadi wajib, karena bersegera datang mendengar khutbah merupakan 
wasilah dan tujuannya adalah khutbah. Sehingga menurut kaidah yang baku, bila 
wasilahnya wajib, maka tentu yang dituju menjadi pasti wajibnya.[46]

- Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang berbicara ketika imam berkhutbah, 
menunjukkan kewajiban mendengarkannya dan hal ini menunjukkan kewajiban khutbah.
- Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa berkhutbah dalam shalat Jum’at, 
dan sekalipun tidak pernah meninggalkannya. Hal ini menunjukkan juga wajibnya 
khutbah dalam shalat Jum’at.
- Seandainya khutbah tidak diwajibkan, maka tidak ada bedanya dengan 
shalat-shalat lainnya, dan orang tidak dapat mengambil manfaat dari pertemuan 
tersebut [47]

APAKAH MENGHADIRI KHUTBAH MENJADI SYARAT SAH SHALAT JUM’AT
Dalam masalah ini, para ulama terbagi menjadi dua pendapat.

Pertama : Tidak disyaratkan menghadiri khutbah.
Seandainya seseorang hanya mendapati shalat Jum’atnya saja, maka dianggap sah 
dan sudah mencukupi jum’atnya. Demikianlah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, 
Anas bin Malik, Sa’id bin Al Musayyab, Al Hasan Al Bashri, Alqamah, Al Aswad, 
Urwah, Az Zuhri, An Nakha’i, Ats Tsauri, Ishaq, Abu Tsaur, Imam Malik, Abu 
Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad.

Kedua : Disyaratkan menghadiri khutbah.
Sehingga seseorang yang tidak menghadiri khutbah, maka harus shalat empat 
raka’at. Demikian pendapat ‘Atha, Thawus, Mujahid, Makhul dan riwayat kedua 
dari imam Malik. Mereka berdalil, bahwa khutbah adalah syarat sahnya Jum’at, 
sehingga tidak sah Jum’at seseorang yang tidak mendapati khutbah, padahal Allah 
berfirman: فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ .

Ibnu Qudamah merajihkan pendapat pertama dengan dalil hadits Abu Hurairah yang 
berbunyi:

مَنْ أَدْرَكَ مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ رَكْعَةً فَقَدْ أَدْرَكَ

"Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at dari shalat Jum’at, maka ia 
mendapatkannya."

Demikian ini pendapat yang rajih, insya Allah.

KAPAN DIANGGAP MENDAPATKAN SHALAT JUM’AT
Telah jelas dari pembahasan di atas, bahwa menghadiri khutbah bukan merupakan 
syarat Jum’at, sehingga seseorang yang mendapatkan shalat Jum’at bersama Imam, 
berarti telah mendapatkan shalat Jum’at sempurna. Lalu kapan seseorang 
dikatakan telah mendapatkan shalat Jum’at bersama imam?

Dalam permasalahan ini, para ulama berselisih pendapat.
Pertama : Dianggap mendapatkan shalat Jum’at, bila mendapatkan satu raka’at 
bersama Imam. Demikian pendapat jumhur Ulama [48], berdalil dengan hadits Abu 
Hurairah :

مَنْ أَدْرَكَ مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ رَكْعَةً فَقَدْ أَدْرَكَ

"Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at dari shalat Jum’at, maka ia 
mendapatkannya".[49]

Pendapat ini dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[50]

Kedua : Dianggap mendapatkan shalat Jum’at, selama mendapatkan shalat bersama 
Imam walaupun hanya sedikit, seperti dalam tasyahud saja. Demikian pendapat 
madzhab Abu Hanifah, An Nakha’i dan Hamad; berdalil dengan Qiyas terhadap 
shalat musafir yang mendapatkan Imam muqim, maka musafir tersebut -walaupun 
hanya mendapat sedikit dari shalat Imam muqim tersebut- maka ia wajib 
menyempurnakan shalat dengan sempurna.

Ketiga : Tidak mendapatkan shalat Jum’at tanpa mendengarkan khutbahnya. 
Demikian ini pendapat ‘Atha, Thawus, Mujahid dan Makhul [51], berdalil dengan 
hadits Ibnu Umar yang berbunyi:

إِنَّمَا جُعِلَتْ الْخُطبَةُ مَكَانَ الْرَكْعَتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُدْرِكْ 
الْخُطْبَةَ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا

"Khutbah dijadikan sebagai pengganti dua raka’at. Jika tidak mendapatkan 
khutbah, maka hendaklah shalat empat raka’at." [52]

Dari ketiga pendapat tersebut, yang dianggap rajih ialah pendapat pertama, 
karena keabsahan hadits yang dijadikan dalil tersebut. Sedangkan hadits 
pendapat ketiga, merupakan hadits yang lemah, karena sanadnya terputus, ada 
riwayat Yahya bin Abi Katsir dari Ibnu Umar. Dan Yahya tidak mendengar hadits 
dari Ibnu Umar secara langsung.[53]

APA YANG DIPERBUAT ORANG YANG TIDAK MENDAPAT SHALAT JUM’AT BERSAMA IMAM
Seseorang yang tidak mendapatkan shalat Jum’at karena udzur, maka diwajibkan 
shalat Dhuhur empat raka’at, berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud yang berbunyi:

منْ فَاتَتْهُ الرَّكْعَتَان فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا

"Barangsiapa yang tidak mendapatkan dua raka’at Jum’at, maka shalatlah empat 
raka’at." [54]

Syaikh Al Albani berkata: Dalam hadits Ibnu Mas’ud ini, terdapat isyarat, bahwa 
shalat Dhuhur adalah asal dan ia wajib bagi orang yang tidak shalat Jum’at. Hal 
ini dikuatkan oleh beberapa hal berikut:

- Sudah sangat dimaklumi bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan 
para sahabatnya shalat Dhuhur pada hari Jum’at jika dalam perjalanan. Namun 
mereka shalat dengan qashar. Seandainya asal kewajiban pada hari Jum’at adalah 
shalat Jum’at, tentulah mereka shalat Jum’at.
- Abdullah bin Mi’dan dari neneknya, ia berkata: Abdullah bin Mas’ud telah 
berkata kepada kami: “Jika kalian (kaum wanita) shalat Jum’at bersama Imam, 
maka shalatlah dengan shalatnya. Dan jika kalian shalat di rumah kalian, maka 
shalatlah empat raka’at”.

Hadits ini diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (1/207/2) dan sanadnya sampai kepada 
nenek Ibnu Mi’dan, shahih. Sedangkan neneknya Ibnu Mi’dan, saya belum 
mengetahuinya. Nampaknya, ia seorang tabi’in dan bukan sahabat. Namun hal ini 
dikuatkan dengan pernyataan Al Hasan Al Bashri tentang wanita yang datang ke 
masjid pada hari Jum’at, bahwa ia shalat dengan shalat Imam tersebut, dan itu 
cukup baginya.

Dalam satu riwayat ia berkata: “Dulu, kaum wanita shalat Jum’at bersama Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan disampaikan kepada mereka “Janganlah kalian 
keluar, kecuali tidak tercium dari kalian bau minyak wangi”. Isnad kedua 
riwayat ini shahih. Dan dalam riwayat lain dari jalur periwayatan Asy’ats dari 
Al Hasan, ia berkata: “Dulu, kaum wanita Muhajirin shalat Jum’at bersama 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian mencukupkan mereka dari 
shalat Dhuhur”.[55]

Kemudian Syaikh Al Albani menyatakan: “Barangsiapa menganggap bahwa asal 
kewajiban pada hari Jum’at adalah shalat Jum’at, dan jika tidak mendapatkannya, 
atau tidak diwajibkan atasnya -seperti musafir dan wanita- hanya shalat dua 
raka’at; berarti ia telah menyelisihi nash-nash ini dengan tanpa hujjah. Saya 
mendapatkan Ash Shan’ani menyebutkan (dalam Subulul Salam, 2/74) seperti (yang 
telah saya jelaskan), dan menyebutkan bahwa jika Jum’at tidak didapatkan 
seseorang, maka menurut Ijma’, ia wajib shalat Dhuhur, karena ia adalah 
asal”.[56]

Demikianlah penjelasan para ulama tentang hal ini. Apakah masih kurang jelas 
kesalahan orang yang mewajibkan kaum wanita shalat dua raka’at bila tidak 
shalat Jum’at bersama Imam?!

Demikianlah sebagian hukum-hukum seputar shalat Jum’at yang banyak dijumpai 
oleh kita dalam kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan dapat menjawab 
pertanyaan-pertanyaan yang terbesit di hati pembaca seputar shalat Jum’at ini.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M. Diterbitkan 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[30]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab Al Jum’ah Fil Qura’, 
no.1069 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Iqamatu Ash Shalat Wa Sunan Fiha, 
Bab Fardhiyah Al Jum’ah, no.
1082 dan Ibnu Al Jarud dalam Al Muntaqa, no 291. Hadits ini dihasankan oleh Abu 
Ishaq Al Huwaini dalam kitab Ghauts Al Makdud Bi Takhrij Muntaqa Ibni Al Jarud, 
karyanya, tanpa tahun, Dar Al Kitab Al ‘Arabi, hlm. 1/254.
[31]. HR Ad Daraquthni dalam Sunan-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Dzikru Al ‘Adad 
Fil Jum’ah, hlm. 2/4 dan dalam sanadnya terdapat Abdul Aziz bin Abdurrahman Al 
Jazari, seorang yang lemah, sehingga Imam Ahmad menyatakan: “Buang haditsnya,” 
dan Al Baihaqi menyatakan: “Hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah”. Lihat 
pernyataan Abu Thayib Muhammad Al Abadi dalam At Ta’liq Al Mughni ‘Ala Ad 
Daraquthni yang terdapat di footnote kitab Sunan Ad Daraquthni, 2/4.
[32]. HR Ad Daraquthni dalam Sunan-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Dzikru Al ‘Adad 
Fil Jum’ah, hlm. 2/4.
[33]. Hadits ini dinukil dari kitab Ikhtiyarat Ibnu Qudamah Al Fiqhiyah Min 
Asyhar Al Masail Al Khilafiyah, karya Dr. Ali bin Sa’id Al Ghamidi, Cetakan 
Pertama, 1407 H, Dar Al Madani Jeddah, KSA, hlm. 366.
[34]. Sunan Al Kubra, karya Al Baihaqi, Tahqiq Muhammad Abdulqadir ‘Atha, 
Cetakan Pertama, Tahun 1414, Dar Al Kutub Al Ilmiyah Bairut, 3/255.
[35]. HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab Jum’ah, Bab Fi Qaulihi Ta’ala وَإِذَا 
رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ no. 863.
[36]. Al Muhalla, op.cit 5/46.
[37]. Ibid.
[38]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Shalat, Bab At Tasydid Fi Tarki Al 
Jamah, no 537 dan An Nasa’i dalam Sunan-nya, kitab Al Imamah, Bab At Tasydid Fi 
Tarki Al Jamah, 2/106 dan dishahihkan Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
[39]. Dinukil pentahqiq Asy Syarhu Al Mumti’, 5/51 dari kitab Al Ikhtiyarat, 
hlm. 79.
[40]. Majmu’ Fatawa Wa Maqalaat Mutanawi’ah, karya Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, 
Disusun Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy Syuwai’ir, Cetakan Ketiga, 1423 H, Muassasah 
Al Haramain Al Khairiyah, Riyadh, KSA, hlm. 12/326.
[41]. Asy Syarhu Al Mumti’, op.cit, hlm. 5/53.
[42]. Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’, Disusun Ahmad 
Abdur Razaq Ad Duwaisy, Cetakan Pertama, 1416 H, Dar Al ‘Ashimah, Riyadh, KSA, 
hlm. 8/178 no.1794.
[43]. Al Muhalla, op.cit, hlm. 5/45.
[44]. Nailul Authar, op.cit.
[45]. Al Ajwiba An Nafi’ah, op.cit, hlm. 44.
[46]. Lihat Asy Syarhu Al Mumti’, op.cit, hlm. 5/66 dan Al Ajwiba An Nafi’ah, 
op.cit, hlm. 53.
[47]. Asy Syarhu Al Mumti’, op.cit, hlm. 5/66.
[48]. Taisir Al Fiqh Al Jami’ Lil Ikhtiyarat Al Fiqhiyah Li Syaikh Al Islam 
Ibni Taimiyah, karya Dr. Ahmad Muwafi, Cetakan Kedua, Tahun 1416H, Dar Ibnu Al 
Jauzi, Damam, KSA, hlm. 1/278.
[49]. HR An Nasa’i dalam Sunan-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Man Adraka Shalat 
Rak’atan Min Shalat Al Jum’ah, no. 1408, dengan sanad yang shahih. Hadits ini 
dishahihkan Al Albani di dalam Al Ajwibah An Nafi’ah, op.cit, hlm. 48.
[50]. Lihat Majmu’ Fatawa, op.cit, 23/330-332.
[51]. Telah lalu sebagian dalilnya dalam masalah Apakah Menghadiri Khutbah 
Adalah Syarat Sah Shalat Jum’at?
[52]. HR Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, 1/126/1. Lihat Al Ajwibah An 
Nafi’ah, op.cit, hlm. 49.
[53]. Hadits tersebut dilemahkan Al Albani. Lihat Al Ajwibah An Nafi’ah, 
op.cit, hlm. 49.
[54]. HR Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, 1/126/1; Ath Thabrani dalam 
Mu’jam Al Kabir, 2/38/2; dan ini lafadz Ath Thabrani dari jalur periwayatan 
Abul Ahwash dari Ibnu Mas’ud secara mauquf. Berkata Al Albani: “Sebagian jalur 
periwayatannya shahih”. Al Haitsami menghasankannya di dalam Al Majma’, 2/192. 
Nampaknya penulis (Muhammad Shidiq Hasan Khan) berargumentasi dengan hadits 
Ibnu Mas’ud ini; padahal mauquf, karena tidak diketahui adanya sahabat yang 
menyelisihinya. Lihat semua ini di dalam Al Ajwibah An Nafi’ah, op.cit, hlm. 47.
[55]. Al Ajwibah An Nafi’ah, op.cit, 48.
[56]. Ibid.
                                          

Kirim email ke