LAILATUL QADAR, MALAM SERIBU BULAN
Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i
http://almanhaj.or.id/content/3317/slash/0/lailatul-qadar-malam-seribu-bulan/


Sebab Penamaan Malam Mulia Ini Dengan Nama Lailatul Qadr
Para ulama رحمهم الله berselisih pendapat me-ngenai persoalan ini, sebagai 
berikut:

Pertama, sesungguhnya pada malam lailatul Qadar ini, Allah menetapkan 
(at-taqdiir) semua rizki, ajal kematian dan semua peristiwa untuk setahun ke 
depan, dan para Malaikat mencatat semua hal itu.

Kedua, pendapat kedua menyatakan bahwa kemulian (al-Qadr), kehormatan dan 
suasana malam ini disebabkan oleh diturunkannya (permulaan) al-Qur-an, atau 
pada malam ini para Malaikat turun atau turunnya keberkahan, rahmat dan 
maghfirah pada malam kemuliaan ini.

Ketiga, pendapat berikutnya, bahwa orang yang menghidupkan malam ini akan 
mendapatkan al-Qadr (kemuliaan) yang besar, yang belum pernah dia miliki 
sebelumnya. Malam ini akan menambah kemuliaannya di sisi Allah Subhanahu wa 
Ta’ala. 

Dan masih terdapat pendapat lainnya. [1]

Keberkahan Lailatul Qadar Dan Keutamaannya
Lailatul Qadar ini merupakan malam yang paling utama. Malam ini dimuliakan oleh 
Allah daripada malam-malam lainnya. Maka, ia merupakan malam yang penuh 
keberkahan sebagaimana yang difirmankan Allah Jalla wa ‘Alaa:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.” 
[Ad-Du-khaan: 3]

Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Allah mensifati malam ini dengan 
keberkahan, karena Dia menurunkan kepada hamba-hamba-Nya berbagai berkah, 
kebaikan dan pahala pada malam yang mulia ini.” [2] 

Maka, lailatul Qadr yang penuh barakah ini mengandung berbagai keutamaan yang 
agung dan kebaikan-kebaikan yang banyak. Di antaranya sebagai berikut: 

Pertama : Pada malam mulia ini dijelaskan semua perkara yang penuh hikmah. 
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengabarkan persoalan ini lewat firman-Nya:

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [Ad-Dukhaan: 4]

Makna kata yufraqu adalah yufashshal (dijelaskan, dirinci). Dan makna kata 
hakiim adalah al-muhkam (yang tepat, teliti dan sempurna).

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma menyatakan bahwa dicatat dari Ummul Kitab pada 
lailatul Qadr segala hal yang terjadi pada setahun ke depan berupa kebaikan, 
keburukan, rizki, ajal hingga keberangkatan menuju ibadah Haji. [3]

Kedua : Amal-amal yang dikerjakan pada malam mulia ini akan dilipatgandakan dan 
pengampunan dosa-dosa orang yang menghidupkan lailatul Qadr ini. Allah 
Tabaaraka wa Ta’aalaa berfirman dalam surat al-Qadr:

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْر ِلَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ 
شَهْرٍ 

“Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik 
dari seri-bu bulan.” [Al-Qadr: 2-3]

Para mufassir (ahli Tafsir) menyatakan, “Maknanya adalah amal shalih (yang 
dilakukan pada) lailatul Qadr lebih baik dari amal shalih selama seribu bulan 
(yang dilakukan) di luar lailatul Qadr. Dan ini merupakan karunia yang agung, 
rahmat dari Allah pada hamba-hamba-Nya, serta barakah yang besar lagi nyata 
yang dimiliki oleh malam yang mulia ini.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh 
al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu : 

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا 
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barangsiapa yang mendirikan lailatul Qadr karena iman dan mengharapkan pahala 
(dari Allah), niscaya diampuni dosa-dosanya yang lalu.” [4]

Kata qaama (mendirikan) pada hadits di atas dapat diwujudkan dalam bentuk 
shalat, berdzikir, berdo’a, membaca al-Qur-an dan berbagai bentuk kebaikan 
lainnya.

Ketiga : Turunnya al-Qur-an pada lailatul Qadr. 
Di antara keutamaan dan keberkahan lailatul Qadr, bahwa al-Qur-an al-Karim 
-yang di dalamnya terdapat petunjuk bagi manusia dan bagi kebahagiaan mereka di 
dunia dan akhirat- telah diturunkan pada malam ini.

Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman:

حم وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ 

“Haa Miim. Demi Kitab (al-Qur-an) yang men-jelaskan. Sesungguhnya Kami 
menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi...” [Ad-Dukhaan: 1-3]

Dan Dia berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur-an) pada malam kemuliaan.” 
[Al-Qadr: 1]

Disebutkan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah turunnya al-Qur-an secara 
sekaligus (dari Lauh Mahfuzh ke langit pertama (Baitul ‘Izzah-pent) pada 
lailatul Qadr, selanjutnya diturunkan secara bertahap kepada Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam. Sedangkan pendapat lain mengatakan, bahwa maksud ayat di 
atas adalah permulaan turunnya al-Qur-an terjadi pada lailatul Qadr. [5] 
Wallaahu a’lam.

Keempat : Keberkahan lain dari lailatul Qadr ini, yaitu turunnya para Malaikat 
pada malam yang mulia ini.
Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Qadr:

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ

“Pada malam itu turun Malaikat-Malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin 
Rabb-nya untuk mengatur segala urusan.” [Al-Qadr: 4]

Mengomentari ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya 
menyatakan, “Banyak Malaikat yang turun pada malam ini, karena banyaknya 
barakah lailatul Qadr ini. Para Malaikat turun bersamaan dengan turunnya 
barakah dan rahmat, sebagaimana halnya ketika mereka hadir di waktu-waktu 
seperti ketika al-Qur-an dibacakan, mereka mengelilingi majelis-majelis dzikir, 
dan bahkan pada waktu yang lain mereka meletakkan sayap-sayap mereka kepada 
penuntut ilmu sebagai sikap penghormatan mereka terhadap sang penuntut ilmu 
tersebut. [6] Menurut jumhur ahli tafsir maksud kata “war-ruuh” adalah Jibril 
Alaihissallam. Artinya para Malaikat turun bersama Jibril. Dan Jibril 
dikhususkan penyebutannya sebagai penghormatan dan pemuliaan terhadap dirinya. 
[7]

Kelima : Lailatul Qadr adalah suatu malam yang penuh kesejahteraan. Seluruhnya 
berisi kebaikan, tidak ada keburukan di dalamnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai ter-bit fajar.” [Al-Qadr 5] 

Disebutkan berkenaan dengan makna salaamun yaitu, bahwa pada malam ini tidak 
terjadi munculnya sebuah penyakit, dan tidak ada satu syaitan pun yang dilepas. 
Pendapat yang lain menyatakan makna salaamun adalah kebaikan dan keberkahan. 
[8] Maka pada sepanjang malam ini yang terdapat hanya kebaikan, tidak ada 
kejelekan, hingga terbit fajar. Dan pendapat yang lain lagi menyebutkan, bahwa 
maksudnya adalah para Malaikat mendo’akan keselamatan buat mereka yang 
menghidupkan masjid (ahlul masjid) pada sepanjang lailatul Qadr ini.

Wallaahu A’lam. 

Inilah beberapa keberkahan dan keutamaan yang sangat nyata dan fenomenal dari 
malam yang mulia ini.

Kapan Terjadinya Lailatul Qadr ?
Jumhur ulama bersepakat bahwa lailatul Qadr ini hanya ada pada bulan Ramadhan.

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an...” 
[Al-Baqarah: 185]

Dan firman-Nya:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur-an) pada malam kemuliaan.” 
[Al-Qadr: 1]

Namun mereka berbeda pendapat dalam penentuan malam keberapakah dari bulan 
Ramadhan ini. Pendapat yang kuat (ar-raajih) adalah yang dipegang oleh Jumhur 
(mayoritas) ulama, yaitu pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, dan 
lebih khusus lagi pada malam-malam yang ganjil.

Dan dalil atas pendapat tersebut adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam memerintahkan kepada para Sahabatnya Radhiyallahu anhum untuk lebih giat 
beramal pada masa tersebut.

Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya, dari ‘Aisyah 
Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
bersabda: 

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ 
رَمَضَانَ.

“Carilah lailatul Qadr pada (bilangan) ganjil dari sepuluh hari terakhir dari 
bulan Ramadhan.” [9]

Begitu perhatiannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sepuluh 
hari terakhir bulan Ramadhan, beliau beri’tikaf, dan menghidupkan 
malam-malamnya dengan ibadah.

Dan mengenai ketentuan waktu jatuhnya lailatul Qadr ini terdapat banyak 
pendapat di kalangan ulama. Namun mengenai indikasi-indikasi terkuat mengenai 
saat terjadinya lailatul Qadr ini bahwa matahari terbit pada pagi harinya 
dengan cerah.

Hikmah dari disembunyikannya lailatul Qadr ini dari pengetahuan manusia, 
-wallaahu a’lam- menunjukkan keagungan seluruh malam di bulan Ramadhan, dan 
agar manusia bersungguh-sungguh dalam berharap untuk mendapatkannya sehingga 
ganjaran yang diperolehnya semakin besar pula.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Adapun hikmah dirahasiakannya lailatul Qadr 
ini, agar kesungguhan para hamba dalam upaya meraih keutama-annya benar-benar 
terwujud secara optimal, sebagaimana (hikmah) disembunyikannya waktu-waktu yang 
dikabulkan pada hari Jum‘at... [10] dan seterusnya. 

Maka, sudah menjadi keharusan bagi kaum muslimin untuk mencari waktu (pada 
sepuluh malam terakhir-pen) sehingga benar-benar tepat pada lailatul Qadar, 
kemudian memuliakannya dan menghidupkannya dengan ibadah dan merendahkan diri 
kepada Allah dengan do’a, dzikir dan istighfar serta memperbanyak ibadah-ibadah 
Sunnah kepada Allah sehingga mereka mendapatkan ridha dari Allah Yang 
Mahatinggi dan Maha Pemurah serta memberikan ganjaran dan pahala yang sangat 
banyak.

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa 
Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman 
bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Dari Lailatul Qadr, karya Ahmad al-‘Iraqi (hal 22-23) dan Nailul Authaar 
(IV/362).
[2]. Tafsiir al-Qurthubi (XVI/126).
[3]. Tafsiir al-Baghawi (III/148).
[4]. Shahih al-Bukhari (II/228) kitab ash-Shiyaam dan Shahih Muslim (I/524) 
kitab ash-Shaalah al-Musaafiriin.
[5]. Dikutip dari kitab Lailatul Qadr, karya al-‘Iraqi (hal. 20-21).
[6]. Tafsiir Ibni Katsiir (III/532).
[7]. Fat-hul Qadiir, karya Imam asy-Syaukani (V/472).
[8]. Zaadul Masiir, karya Ibnul Jauzi (IX/532).
[9]. Shahih al-Bukhari (II/254) kitab ash-Shaum.
[10]. Zaadul Masiir, karya Ibnul Jauzi (IX/189).
                                          

Kirim email ke