Ysh. Pak Popo Danes dan teman-teman lp3b Pak Popo, saya merasakan ada pertanyaan yang terus menggayut dalam hati saya. Pertanyaan saya yang pertama, apakah dalam proyek ini diperlukan tenaga ahli asing, yang tentunya mesti dibayar dengan dollar ? Pertanyaan ini saya ajukan, mengingat dalam proyek-proyek sejenis ini, hal seperti itu sudah jamak dilakukan. Hal lain yang ingin saya sampaikan, yaitu kekhawatiran saya, bahwa proyek ini lebih membela kepentingan pariwisata, bukannya budaya. Mungkin kita bisa saja berkilah, toh pariwisata juga bagian dari budaya.
Kenapa saya katakan demikian ? Coba kita lihat obyek-obyek yang akan digarap, dua diantaranya yaitu pelabuhan Buleleng dan Taman Ujung Karangasem. Saya hanya mereka-reka, mungkin nanti skenario ceritanya akan seperti berikut ini : Pelabuhan Buleleng penting, mengingat wisatawan asing yang berkunjung ke Bali pertama kali mendarat di Pelabuhan Buleleng. Taman Ujung, menurut artikel yang pernah saya baca, sarat dengan arsitektur Barat. Tolong saya dikoreksi kalau saya salah. Bila alur ceritanya seperti itu, secara tidak langsung, patron yang ingin disampaikan yaitu bahwa Belanda(baca penjajah) berjasa besar dalam pengembangan pariwisata Bali. Sementara andil penduduk lokal, rasanya tidak mendapat porsi untuk diketengahkan. Bahwa mereka berjasa ya, hanya saja porsi penyampaiannya mesti imbang dong. Kenapa Pura Beji(desa Sangsit), Pura Penegil Dharma(Kubutambahan), Pura Pulaki (Yeh Poh) nggak digarap ? Rasanya sih memang pesan sponsornya gitu. Coba kita lihat dalam dunia seni lukis. Orang-orang Bali akan demikian fasisnya menyebut nama-nama Rudolf Bonnet, Walter Spies, Blanco, Arie Smith dsb. Mereka ditulis dan selalu ditulis,seolah mereka adalah God father-nya pelukis Bali. Lalu apanya yang salah ? Kita memang mesti mengakui bahwa mereka berjasa dalam perkembangan seni lukis di Bali, khususnya Ubud. Hanya saja kita tidak perlu mendewakannya. Kalau anda iseng-iseng coba cari informasi apakah mereka-mereka itu diperhitungkan di negara asalnya ? Kalau kita mau mengukurnya lebih fair, coba telusuri museum terkemuka dunia mana yang mengoleksi karya mereka ? Saya terkadang mendapat kesan, beberapa kalangan di Bali terlalu melebih- lebihkan mereka. Jika kita mau fair, kita juga punya nama-nama besar yang bisa diekspos yaitu Tjokot, Lempad, Ida Bagus Tilem, Jro Dalang Diah dan masih banyak lagi seniman Bali yang tidak kalah dengan orang asing di atas. Tjokot menurut saya adalah jenius, mengingat beliau melahirkan aliran baru dalam seni patung yang dikenal dengan Tjokotisme. Jro Dalang Diah saya beri nilai plus, mengingat beliau belajar melukis otodidak, dan tidak seperti rekan-rekan mereka di Ubud yang diuntungkan dengan adanya kelompok Pita Maha yang disponsori oleh kalangan Puri di Ubud. Kenapa kita tidak mengekspos mereka ? Kenapa wartawan Bali Post begitu getol menyebut nama orang asing di atas ? Coba kita lihat dalam bidang seni tari. Koreografer tari yang terkenal dari Tabanan yaitu I. Maria. Orang asing menulis Mario, dan kitapun latah ikut menulis Mario. Bahkan PEMDA Tabanan ikut membangun gedung kesenian, dimana gedung tersebut diberi nama Gedung Mario. Acara tiga bulanan(nelubulanin) anak di Bali, saat dimana manusia Bali diberi nama oleh orang tuanya, khan mahal dan sakral. Kok seenaknya mengubah-ubah nama orang. Mestinya kita meluruskannya. Nama aslinya khan Maria(baca Marie), bukan Mario. Kenapa orang asing berbuat kesalahan kita ikut-ikutan salah ? What is wrong with our society ? Apakah ini hasil dari penjajahan selama tiga setengah abad ? Pak Popo dan kawan-kawan, maaf saya menuangkan uneg-uneg saya. Saya khawatir jangan sampai kita hanya menjadi perpanjangan tangan kepentingan pihak asing. Maaf kalau tulisan saya ini terasa menggangu teman-teman. Semoga kedamaian selalu menyertai kita. salam sejahtera dari Nyoman Bangsing On Tue, 03 Jun 2003 22:03:37 +0800, popodanes wrote > Hallo rekan-rekan peduli Buleleng, > > Hari Rabu yang lalu, kita lanjutkan pertemuan lagi yang dihadiri > oleh Agus Sulendra, Yudi Gautama, Darma Dipta, Ngurah Paramartha, > Yudha Saka, Cahyo Prassetyo, Agus Agam, Ketut Rana Wiarcha, Popo > Danes, Nyoman Gde Suardana, dr. Soegianto, Wayan Silur, Putu Rumawan > Salain, Putu Agus Budiana, Purnomo. > > Peretemuan banyak diisi dengan presentasi visual oleh Bp. Putu > Rumawan Salain, yang menjelaskan, apa yang telah menjadi hasil > bahasan studi Cultural Heritage Conservation untuk kota Singaraja. > satu hal yang penting, dalam studi juga dijelaskan bahwa bangunan > Bea Cukai di pelabuhan Buleleng yang akan dirobohkan atas perintah > pak Bupati itu termasuk yang akan dikonservasi. Nah .... > > Saya, Popo, beserta Bp. Ida Bagus Rai dari Bappeda Bali, dan Bp. > Purnomo dari PPCU Bali melakukan kunjungan ke Singaraja hari Senin > kemarin, dan diterima oleh Bapak Wakil Bupati, Ketua Bappeda, dan > mereka yang terlibat dalam proyek ini. Kita sudah jelaskan kepada > mereka tentang misi dari proyek ini, juga memperjelas apa yang telah > kita bicarakan bersama minggu lalu dengan Wakil Gubernur, Bp. Alit Putra. > > Bagaimanapun, kita ingin tetap meluruskan apa yang semestinya > dilakukan di Buleleng, terutama untuk visi-visi yang lebih jelas ke > depan. Terimakasih untuk rekan-rekan yang sudah memberikan opininya > dalam milist ini, juga kepada Sdr. N G Suardana, arsitek dari > Jagaraga yang sempat membeberkan catatannya selama mengikuti > pertemuan- pertemuan yang lalu. > > Selanjutnya, kita rencana bertemu kembali pada hari Rabu, 4 Juni > 2003, waktu tetap 19.30 wita, tempat tetap, Jl. Hayam Wuruk 159 Denpasar. > > Terimakasih dan sampai jumpa, > > Popo Danes -- Milis Diskusi Anggota LP3B Bali Indonesia. Publikasi : http://www.lp3b.or.id Arsip : http://bali.lp3b.or.id Moderators : <mailto: [EMAIL PROTECTED]> Berlangganan : <mailto: [EMAIL PROTECTED]> Henti Langgan : <mailto: [EMAIL PROTECTED]>