Artikel ok nih...
smoga bermanfaat

Uci  mamaKavin

--- In [EMAIL PROTECTED], "segaintil" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Dear SP
Saya sampaikan sebuah laporan yang saya tulis untuk Koran lokal
Jogjakarta, beberapa waktu lalu.

Semoga bisa menambah pengetahuan kita.
Julia
------------------



Prof  JK Buitelaar  psikiatri anak dari Belanda (bagian 1)

PERLU KEHATI-HATIAN MENEGAKKAN DIAGNOSA AUTISME

Menegakkan diagnosa autisme sesungguhnya tidak mudah, perlu kehati-
hatian yang tinggi. Demikian yang dipesankan oleh JK Buitelaar,
seorang professor psikiatri anak dari Universitas Nijmegen Negeri
Belanda dalam suatu kesempatan ceramah tunggalnya selama dua hari
tanggal 28-29 Januari 2006 yang  lalu di Jogjakarta. Selanjutnya,
menurut ahli autis kaliber dunia yang sengaja didatangkan oleh
Sekolah Lanjutan Autisme Fredofios dibantu oleh Terres Des Homes
Nederland ini, mengatakan bahwa kehati-hatian itu sangat diperlukan
karena dari hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga autisme di
negaranya menunjukkan bahwa dengan menggunakan alat deteksi autisme
yang kini sudah populer di dunia yang disebut CHAT bila digunakan
untuk anak di bawah 18 bulan  dan DSM IV bila digunakan untuk anak
di bawah tiga tahun, penggunaan kedua alat deteksi ini akan
menunjukkan kesalahan yang sangat tinggi. Kesalahan akan terjadi
terutama terhadap anak-anak bergangguan perkembangan lain bukan
autisme  seperti anak-anak penyandang cacat inteligensia (mental
retarded) dan anak-anak yang terlambat bicara yang juga dengan
sendirinya akan mengalami gangguan sosial sebagaimana autisme.

Apa yang ditelitinya itu juga gambarannya tidak banyak berbeda
dengan di Negara-negara lain. Karena itu ia bersama dengan timnya
tengah mempersiapkan alat deteksi autisme yang baru, yang kelak bisa
lebih menyempurnakan deteksi dini autisme yang sudah ada. Untuk
menghindari kekeliruan deteksi ini, maka diperlukan sekali
pemeriksaan secara multidisiplin yaitu dilakukan oleh dokter,
psikolog, dan orthopedagog  yang sudah terlatih dan ahli. Hal ini
disebabkan karena autisme adalah suatu gangguan yang menyangkut
banyak aspek perkembangan yang bila dikelompokkan akan menyangkut
tiga aspek yaitu perkembangan fungsi bahasa, aspek fungsi sosial,
dan emosi.   Karena gambaran autisme begitu beragam dan setiap saat
seorang anak akan senantiasa mengalami perkembangan, maka penegakan
diagnosa tidak bisa begitu saja, sebab bisa saja kemudian diagnosa
menjadi berubah-ubah dari waktu ke waktu.  Setelah dilakukan
berbagai observasi secara berkala oleh berbagai profesi tadi,
disamping juga dilakukan tes psikologi, dan pemeriksaan fisik secara
menyeluruh barulah diagnosa itu boleh ditegakkan. Penegakan diagnosa
ini seringkali juga memerlukan waktu yang panjang, enam bulan hingga
satu tahun. Namun yang terpenting menurutnya adalah bukan penegakan
diagnosa itu tetapi bagaimana kita mampu melihat berbagai gangguan
sebagai faktor lemah yang dimilikinya, dan  faktor kuatnya. Untuk
anak di bawah tiga tahun menurutnya pula sebaiknya jangan mengunakan
DSM IV, dan CHAT jangan digunakan juga untuk anak di bawah usia 18
bulan.

Buitelaar juga memperagakan bagaimana mendeteksi dini berbagai
gejala autisme melalui alat deteksi yang bersama timnya tengah
disusunnya dalam sebuah proyek yang disebut Project SOSO. Alat
deteksi dini  autisme yang baru ini  bernama ESAT (Early Screening
Autism Traits), ia memperagakannya  dengan menunjukkan film yang
sangat menarik. Ia juga memperlihatkan bahwa anak usia di bawah tiga
tahun seringkali juga menunjukkan gejala yang mirip dengan
penyandang autisme, atau sebaliknya gejala yang ada pada anak
autisme sering juga ditunjukkan oleh anak-anak yang mempunyai
gangguan perkembangan lainnya. Karena itu disinilah para dokter dan
psikolog harus benar-benar mampu mengamati dengan baik. Orang tua
diminta untuk dapat mengungkapkan dengan baik bagaimana perilaku
anaknya tersebut dengan berpatokan pada gejala-gejala yang
ditampilkan oleh anak-anak normal, sehingga dapat diketahui
bagaimana penyimpangan yang terjadi.  Setidaknya perlu adanya
pengamatan berkala setiap tiga bulan, dilakukan evaluasi guna
menentukan tindakan apa yang perlu kita perbaharui.

Kelanjutan penyusunan deteksi dini (ESAT) ini adalah, Project SOSO-
nya tengah membangun suatu model untuk memberikan intervensi dini
yang sesuai dengan keunikan yang disandang  oleh setiap anak
autisme. Hasil Project SOSO kali ini dinamakan DIANE (Diagnostic
Intervention Autism Nederland). Sehingga Project SOSO yang tengah
dikembangkannya ini kelak, akan menghasilkan suatu model dalam
bentuk tatalaksana screening atau deteksi dini autisme di usia 24
bulan, penegakan diagnosa di atas usia 36 bulan, dan melakukan
indentifikasi keunikan setiap anak autisme, memberikan panduan dan
training intervensi kepada setiap orang tua.


Akan halnya tentang penyebab autisme sampai saat ini menurutnya
masih belum bisa diketahui. Namun, banyak sekali publikasi di
masyarakat yang justru datang dari fihak-fihak yang tidak didasarkan
oleh penelitian ilmiah, seperti yang banyak ditanyakan oleh para
peserta. Misalnya penyebab autisme karena thimerosal dalam vaksin,
virus vaksin, keracunan logam berat, alergi terutama gluten dan
casein, sistem imun tubuh, dan sebagainya. Sementara itu para
ilmuwan yang berkecimpung dalam bidang autisme menyatakan bahwa
kemungkinan besar penyebab autisme adalah faktor kecendrungan yang
dibawa oleh genetik. Sekalipun begitu sampai saat ini kromosom mana
yang membawa sifat autisme belum dapat diketahui. Sebab pada anak-
anak yang mempunyai kondisi kromosom yang sama akan bisa juga
memberikan gambaran gangguan yang berbeda. Namun para ahli lebih
cenderung akan menyatakan bahwa penyebab autisme  kemungkinan besar
adalah faktor gen yang membawa peranan, hal ini disimpulkan dari
hasil penelitian terhadap kembar satu telur yang akan menunjukkan
kemungkinan terjadinya gangguan autisme yang lebih tinggi secara
siknifikan bila dibandingkan dengan kembar dua telur. Autisme adalah
gangguan atau kecacatan yang akan disandang oleh individu tersebut
seumur hidupnya.

Di kalangan luas juga ada publikasi yang mengatakan bahwa autisme
dapat disebabkan berbagai gangguan di tiga bulan pertama kehamilan.
Menurut Buitelaar hal ini juga masih belum bisa dikatakan apakah
benar demikian, karena penelitiannya belum selesai,dan hasilnya
belum ada.

Pertanyaan tentang berbagai pengobatan autisme saat ini yang banyak
digunakan bahkan seringkali juga atas anjuran dokter (yang bergerak
dalam terapi alternatif), misalnya detoksifikasi untuk menghilangkan
racun di otak, diet bebas gluten dan casein, probiotik, megadosis
vitamin, hormon, dan sebagainya, Buitelaar menanggapi bahwa karena
hingga kini penyebab autisme belum bisa dipahami secara pasti maka
para dokter juga belum bisa mentukan obatnya. Ia menyarankan agar
para orang tua tak perlu terkesima dengan reklame komersial yang
menyatakan bahwa autisme dapat diobati, sebab menurutnya selain
pengobatan model intervensi biologis itu sangat mahal, tidak ada
efeknya, juga cukup berbahaya bagi si anak sendiri.   Bila dokter
memberikan resep obat-obatan psikostimulan, hal itu bukan untuk
menyembuhkan autisme, tetapi hanya sekedar untuk mengendalikan emosi
dan perilakunya. Yang terpenting pesannya adalah bagaimana kita
harus menanganinya dengan cara melihat faktor lemah dan faktor
kuatnya dengan pendekatan psikologi dan pedagogi, yaitu arahkan
perilakunya, tingkatkan kecerdasannya, latih kemandirian, ajarkan
kerjasama, dan ajarkan bersosisalisasi. Ia juga menganjurkan jangan
berikan obat-obatan psikiatrik atau psikostimulan kepada anak-anak
di bawah 6 tahun. Utamakan pendekatan psikologi dan pedagogi, jika
cara-cara ini sudah tidak dimungkinkan barulah bisa diberikan obat-
obatan. Para orang tua juga berhak menanyakan apa efek samping dan
harapan apa yang bisa dicapai dengan menggunakan psikostimulan
itu.Karena bagaimanapun reaksi setiap anak terhadap obat akan
berbeda-beda, sehingga diperlukan pemantauan yang baik secara
rutin.  Disamping itu sampai saat ini belum ada  penelitian obat-
obatan pada anak dibawah usia 6 tahun,sehingga kita masih belum tahu
efek jangka panjangnya .



Dari ceramah Prof JK Buitelaar (bagian 2)

GEJALA AWAL AUTISME

Masih ingat atau masih mengalami saat anak kita tengah belajar
bicara di usianya yang ke satu atau satu setengah tahun? Ia akan
menyebutkan apa yang dilihatnya dengan cara menunjukkan ke satu
objek dan menyebutkan nama objek itu.  Cara-cara ini disebut sebagai
Joint Attention (bersama-sama memperhatikan). Pada anak normal
caranya adalah, mula-mula ia akan melihat wajah ibu atau pengasuhnya
dan kemudian diteruskan dengan kontak mata, dengan maksud menarik
perhatian ibu atau pengasuhnya agar bersama-sama memperhatikan
sesuatu yang menjadi perhatiannya, kemudian ia menunjuk dengan
tangan dan jari-jarinya ke sesuatu yang menjadi perhatiannya  itu.
Ini adalah suatu awal perkembangan dari komunikasi timbal balik yang
membutuhkan suatu interaksi emosional yang sehat.  Namun tidak
demikian halnya dengan anak-anak yang mengalami gangguan
perkembangan autisme. Pada fase ini ia mengalami kegagalan
perkembangan. Umumnya anak-anak autisme tidak melakukan fase dimana
ia mencoba membangun kontak komunikasi melalui kontak mata. Ini
adalah patron yang khas dari anak penyandang autisme. Namun, menurut
Buitelaar, kita juga harus berhati-hati. Tentang ketidak adaan
kontak mata ini jangan dijadikan sebagai butir diagnosa, sebab
banyak juga anak normal yang tidak melakukan kontak mata saat
berinteraksi. Ada juga yang hanya sekilas melakukan kontak mata,
baginya sudah cukup. Jadi jangan menghitung berapa lama ia mampu
membangun kontak mata, sebab banyak anak normal juga melakukan
kontak mata hanya sekilas. Artinya yang harus diperhatikan adalah
kualitas dari kontak mata itu. Sebaliknya juga banyak anak-anak
autisme yang bisa lama melakukan kontak mata tetapi kualitasnya
sangat rendah. Ia memandang mata orang di hadapannya namun tidak
bisa membangun kontak secara emosional.

Kegagalan membangun kontak emosional inilah yang menyebabkan
perkembangan bicara juga menjadi terganggu dan akhirnya akan
menyebabkan gangguan perkembangan bersosialisasi.  Karena itu,
dijelaskan oleh Buitelaar bahwa dalam penegakan diagnosa autisme
perkembangan kemampuan bicara dan bahasa menjadi salah satu butir
yang penting. Tetapi kita juga harus berhati-hati, sebab anak-anak
yang tidak bisa bicara atau mengalami keterlambatan bicara, belum
tentu ia adalah penyandang autisme. Dalam hal ini yang harus
diperhatikan adalah kemampuan berbahasa non-verbalnya. Pada anak-
anak autisme selain ia mengalami gangguan komunikasi secara verbal,
ia juga mengalami gangguan komunikasi nonverbal.

Komunikasi nonverbal adalah suatu komunikasi  tanpa  menggunakan
kata-kata. Komunikasi nonverbal adalah bentuk komunikasi dengan cara
membaca bahasa simbolik dan bahasa mimik.  Pada anak autisme yang
mengalami kegagalan perkembangan membangun kontak emosi tadi,
dengan
sendirinya juga ia mengalami kegagalan membaca bahasa mimik, karena
bahasa mimik pada dasarnya adalah komunikasi dengan cara membaca
emosi orang lain.  Ketidakmampuan membaca emosi orang lain dalam
bentuk ekspresi muka orang lain inilah yang kemudian menyebabkan
anak-anak ini juga tidak mampu mengekspresikan wajahnya. Ia adalah
anak yang tidak berekspresi, tidak mampu menunjukkan kehangatan,
rasa senang atau marah.  Selain ia tak mampu mengutarakan emosinya
ia juga kadang mengalami kesalahan dalam mengekspresikan
perasaannya, atau ekspresinya tidak pada tempatnya. Padahal
komunikasi nonverbal ini merupakan bentuk komukasi yang lebih banyak
digunakan oleh kita sehari-hari, dalam membangun hubungan dengan
orang lain. Dengan kata lain, sebagian besar komunikasi adalah
berbentuk komunikasi non verbal. Dengan sendirinya kegagalan
komunikasi nonverbal ini akan pula menyebabkan ia mengalami gangguan
bersosialisasi, atau memangun hubungan sosial dengan orang-orang di
sekitarnya.

Pada sebuah tes dengan anak autis yang lebih besar, di atas lima
tahun, seringkali ia juga mengalami kegagalan membaca jalan fikiran
orang, dan merasakan perasaan orang lain. Hal ini oleh Buitelaar
ditunjukkan dengan suatu demonstrasi The Theory of Minds, yaitu
dengan permainan yang disebut Sally and Anne. Ia memberikan contoh,
ada seorang anak autisme dengan usia lebih dari 5 tahun, diberi
permainan dua figur boneka bernama Sally dan Anne. Sally mempunyai
sebuah keranjang, dan Anne mempunyai sebuah kotak. Anne mempunyai
sebuah kelereng dikotaknya. Waktu Anne keluar, oleh Sally kelereng
itu dipindahkan ke keranjang. Lalu anak berusia lebih dari 5 tahun
tadi ditanya, kalau Anne datang, Anne akan berfikir bagaimana?  Pada
anak normal, ia akan menjawab, bahwa pasti Anne berfikir bahwa
kelerengnya masih berada di tempatnya semula yaitu di dalam kotak.
Tetapi anak autisme akan menjawab bahwa  kelerengnya berada di dalam
keranjang. Anak autisme ini tidak mengerti apa yang akan difikirkan
oleh orang lain. Namun pola autisme yang seperti ini bukanlah juga
sebagai butir untuk menegakkan diagnosa, sebab banyak pula anak
normal di atas usia lima tahun masih belum bisa membaca jalan
fikiran orang lain.

Demonstrasi tadi menunjukkan bahwa bagaimana cara berfikir seorang
anak autisme, bahwa ia hanya mampu memakna kejadian-kejadian
tersebut secara harafiah. Ia juga mengalami kegagalan dalam
pengembangan bentuk fantasi dan imajinasi. Sehingga segalanya
menjadi kaku atau rigid dan tidak fleksibel.

Pada anak-anak autisme ini juga mengalami kegagalan dalam melakukan
memakna hubungan kejadian yang satu dengan yang lainnya. Jadi
seringkali ia mampu mengumpulkan banyak informasi secara detil
tetapi  tidak mengerti apa fungsi setiap detilnya, dan konteksnya
secara global. Karena kegagalan berbagai perkembangan  dalam
melakukan kontak dengan orang lain ini, ia juga akan bereaksi
berbeda dari pada anak-anak normal lainnya.

Anak-anak ini juga sangat sulit menerima  perubahan, sangat rigid,
dengan ritual-ritual yang sulit dirubah. Kepada anak-anak ini perlu
diajarkan bagaimana berperilaku fleksibel.




Dari Ceramah Prof JK Buitelaar (bagian 3)

ANAK AUTISME ADALAH PENGUMPUL DATA

Ceramah sepanjang dua hari yang diberikan oleh Prof Buitelaar itu
juga menyinggung bagaimana seorang anak autisme dalam
mengembangkan
inteligensianya. Inteligensia anak-anak kelompok autisme sebetulnya
cukup beragam, mulai dari yang mental retarded hingga yang mempunyai
inteligensia tinggi. Namun yang menarik disini adalah sekalipun anak
itu merupakan anak autisme dengan IQ yang tidak tinggi sekalipun,
ada yang mampu mengumpulkan informasi atau data sangat luar biasa.
Misalnya ia mampu menyebutkan nama-nama burung hingga ratusan. Ia
mampu membedakan dan menyebutkan setiap nama burung itu. Namun
tidak
lebih dari itu saja.

Pada anak autisme yang mempunyai inteligensia tinggi, biasa disebut
sebagai Asperger. Kelompok ini adalah kelompok autisme yang
mempunyai perkembangan fungsi yang tinggi yang kemudian disebut High
Function.  Nama Asperger sendiri diambil dari nama seorang dokter
anak Hans Asperger dari Swedia, adalah yang pertama kali
mengemukakan kasus autisme ini. Kelompok ini memang mempunyai
gangguan berbahasa, tetapi tidak mengalami gangguan perkembangan
bicara. Perkembangan bicaranya sesuai dengan jadwal, atau dengan
kata lain tidak mengalami keterlambatan bicara.  Sekalipun tidak
terlambat bicara, berbahasanya sangat kaku. Anak-anak Asperger ini
saat kecilnya sering disangka anak berbakat (gifted children),namun
ternyata apa yang dikuasai lebih menjurus pada kemampuan
meregistrasi atau pengumpul data, sehingga tidak bisa dikelompokkan
sebagai anak berbakat. Kelompok Asperger ini seringkali justru
sangat terlambat terdeteksi, karena selain ia mempunyai inteligensia
yang baik, juga tidak mengalami keterlambtan bicara. Inteligensianya
sering menutupi kekurangannya. Buitelaar mengakui cukup sulit
membedakan anak-anak berbakat (gifted children) yang mempunyai
inteligensia sangat tinggi namun mengalami gangguan bersosialisasi
sebagaimana halnya dengan kelompok Asperger.

Gangguan bersosialisasi pada anak-anak berbakat (gifted children)
menurut Buitelaar lagi,  lebih banyak disebabkan karena bahasa yang
dikuasai anak-anak berbakat sangat berbeda dengan anak-anak lainnya,
atau teman sepermainannya. Seringkali anak-anak normal, teman
sepermainannya tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh anak-anak
berbakat (gifted) ini. Sekalipun antara anak berbakat (gifted
children) dan kelompok Asperger  mempunyai kesamaan berkemampuan
mengumpulkan pengetahuan yang luar biasa, namun tetap Asperger
sebagai kelompok autisme, adalah individu yang  mengalami kegagalan
dalam melihat konteks dan hubungan  antar data dalam pengetahuan
tersebut.  Ia memberikan contoh, andaikan ada dua anak yang satu
adalah Asperger dan yang satu adalah anak berbakat (gifted child),
mereka mempunyai minatan yang sama pada misalnya berbagai macam
dinosaurus.  Anak autisme hanya akan mengumpulkan data tentang
berbagai macam dinosaurus, tentang kehidupannya, namun tak mampu
menganalisa hubungan dinosaurus dengan kehidupan ini dimana justru
kemampuan ini dimiliki oleh anak-anak berbakat (gifted child).

Anak autisme juga hanya mempunyai bidang minatan yang sangat sempit,
berbeda dengan anak-anak normal, ataupun anak-anak berbakat (gifted)
dimana bisa mempunyai bidang minatan yang luas. Buitelaar
mencotohkan pada pasiennya yang setiap datang hanya menceritakan
tentang mesin cucinya.

Perkembangan fantasi dan imajinasi anak-anak autisme juga sangat
kurang. Sehingga andaikan anak ini diajak bermain fantasi ia  tidak
akan bisa. Ia hanya mampu melakukan suatu kegiatan yang tidak
menggunakan fantasi dan imajinasinya.Andaikan ia memperhatikan satu
benda, misalnya sebuah mobil-mobilan ia hanya akan meperhatikan satu
bagian saja, dan tak bisa memainkan mobilan itu sebagaimana anak-
anak lainnya.

Dalam kesempatan seminar kali ini juga dipamerkan puluhan lukisan
hasil karya Osi seorang penyandang autisme berusia 18 tahun, putra
dari pasangan Ir Buggi Rustamadji,MSc yang juga direktur sekolah
lanjutan atas Fredofios, dan Ibu Soedarjati MA. Osi mampu menggambar
dengan sangat baik, dengan warna-warna yang memikat, dan sangat
realis. Themanya adalah apa yang dilihat dan dialaminya sehari-hari.
Misalnya keramaian di kota, tempat menjemur baju, di restorant,
saudara-saudaranya, ayah dan ibunya. Teman Osi,Opik adalah sesama
penyandang autisme juga memamerkan karya-karya, tak kalah dengan
karya Osi yang puluhan banyaknya. Namun yang menarik dari kedua
pelukis penyandang autisme ini adalah, karya lukisannya bagai sebuah
suatu laporan pandangan mata yang detil, sangat perfek, dan tanpa
dibumbui oleh suatu unsur imajinasi. Disinilah kekhususan dari
perkembangan kognitif penyandang autisme. Sekalipun di dalam gambar-
gambarnya itu juga berdiri gambar manusia, namun manusia-manusia
yang digambarkan itu adalah detil yang melengkapi apa yang
dilaporkan. Bukan sebuah karya imajinasi yang menjelaskan banyak
arti. Akan berbeda misalnya dengan karya gambar seorang anak
berbakat, dimana karya-karyanya penuh dengan fantasi dan imajinasi,
bahkan seringkali tidak realis sama sekali.

Penutupan ceramah kali ini ditutup dengan pesan-pesan supaya kita
mampu melihat gejala autisme dengan lebih baik dan kita mampu
menentukan  penanganan yang lebih tepat. Namun yang terpenting
adalah kita harus berhati-hati dalam mencari sumber bacaan, karena
saat ini sumber bacaan yang banyak dipublikasi justru datangnya dari
kelompok-kelompok yang tidak bisa dipertanggung jawabkan
keilmiahannya.

(Julia Maria van Tiel, pembina kelompok diskusi orang tua anak
berbakat [EMAIL PROTECTED])

--- End forwarded message ---






================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke