Otak akan bertumbuh jika terus-menerus digunakan. Mengajarkan sesuatu kepada anak sejak usia dini, akan memberikan banyak kesempatan bagi otaknya untuk berkembang.
Doronglah dan rangsanglah perkembangan sensor majemuk dan intelektual untuk menjamin lebih banyak terjadinya interkoneksi sel otak pada anak. Kita dapat melakukan hal ini dengan menciptakan sebuah lingkungan yang menggairahkan bagi keluarga. Yaitu dengan menciptakan suasana rumah yang kaya akan aneka warna dan tekstur, di mana musik merupakan ciri khas yang selalu ada. Orang-orang di rumah berbicara satu sama lain, di mana permainan untuk segala usia tak pernah berhenti, dan terdapat gelak tawa setiap hari. Pastikan bahwa perkembangan mental anak kita adalah “padat otak”, denganmendorong perkembangan belahan otak kiri dan otak kanannya. Sedapat mungkin buatlah dia tertarik pada banyak subyek dan topik sejak usia dini. Jangan biarkan dia menjadi ‘berat sebelah’. Doronglah dia agar mampu menangani berbagai kegiatan fisik dan mental dan tekankan pentingnya memiliki banyak bakat dalam berbagai bidang. Hal ini sangat penting dalam masa sekarang di mana dunia kerja sangat membutuhkan orang-orang yang kreatif dan serba bisa. Suasana belajar sambil bermain membantu belajar menjadi menyenangkan. Dalam keadaan “happy”, informasi yang diberikan akan mudah diserap oleh otak anak. Anak menjadi cerdas dan orang tuapun bangga. Pada umumnya semua orang tua sayang banget kepada anak-anaknya (kecuali ada beberapa yang tidak sayang karena suatu alasan tertentu!). Anak-anak penuh rasa ingin tahu. Apa saja yang dilihatnya pasti akan ditanyakannya. Kalau bisa benda itu diutak-atik, maka dia akan mengotak-atiknya sampai puas, bahkan sampai benda itu rusak berat. Orang tua yang mungkin tidak mengerti, bisa menjadi marah karena benda kesayangannya rusak. Dan anak yang merasa telah puas dengan hasil karyanya menjadi kaget dan takut sekali karena dimarahi bapaknya. Dalam usia ini, otak anak yang penuh imaginasi dan rasa ingin tahu akan banyak membuat kesalahan dan banyak bertanya. Jawablah setiap pertanyaan anak dengan jujur, sesuai fakta, dan happy. Wajarlah jika mereka membuat kesalahan. Kita saja sebagai orang dewasa yang telah “makan bangku sekolahan” selama bertahun-tahun, masih saja melakukan kesalahan. Jadi jika anak salah, ya gak apa-apa lagi….. Seperti kata Ibu Irene, seorang praktisi Glenn Doman, mendidik anak perlu 4S, yaitu SABAR, SABAR, SABAR, dan SABAR. Adajuga cara lain yang bisa dilakukan yaitu jangan marahi anak pada waktu dia melakukan kesalahan. Membacakan cerita kepada anak yang ada hubungannya dengan kesalahannya itu adalah jalan yang lebih baik. Bacakan cerita pada saat hati anak dan orang tua lagi happy. Nah, jika di kesempatan lain dia melakukan kesalahan yang sama lagi, bisa mengingatkan dia akan cerita itu, dengan suara yang ramah, hati dipenuhi oleh kasih sayang, tanpa perasaan marah sedikit pun, dan muka penuh senyum. Orang tua adalah guru pertama dan terbaik bagi anak.Orang tua adalah teladan bagi anak. Jika ingin anak tidak ringan tangan, maka perlakukan mereka dengan ramah. Anak adalah PENIRU yang ulung. Mereka akan meniru dengan cepat apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Berhati-hatilah! Mendidik anak dengan kekerasan akan menimbulkan si anak juga akan melakukan hal yang sama kepada orang lain. Sebagai orang tua, s sangat mengerti bahwa dibutuhkan berjuta-juta kesabaran. Menerapkan prilaku yang baik memerlukan cara yang efektif agar anak dapat memahaminya. Bukan dengan ikut memukul, dsb. Dengan memangku anak dan membacakan cerita itu untuknya dengan penuh kasih sayang, anak akan lebih memahami bahwa perbuatannya tidak baik. Dia akan berprilaku baik tanpa harus dimarahi. Bukankah ini cara yang lebih menyenangkan? Daripada menggenjot emosi buruk dan sesudah itu baru menyesal, kenapa anak dimarahi? Jadi belajar lebih sabar dan berempati pada anak Anak harus diajar disiplin sejak balita. Bukan hanya mulai usia 2 tahun ya. Menerapkan displin dengan komunikasi efekfif akan sangat membantu. Ada beberapa teknik dasar untuk berbicara pada anak. * Turunkan tubuh setinggi tubuh anak. Duduk atau berlutut, pilih yang nyaman. * Tatap mata anak. Hal ini sangat penting. Jika perlu, palingkan wajah anak dengan lembut dengan tangan agar dia menatap langsung ke mata orangtua. * Jika anak dalam keadaan kesal / marah, usaplah punggung atau perutnya. * Berkatalah dengan suara yang tegas tapi lembut. Suara yang serius adalah suara yang tidak tinggi. * Beri kata-kata pada anak untuk mengalirnya percakapan. Contohnya untuk anak yang masih kecil, katakan, “Coba ikuti Ibu” dan doronglah mereka untuk mencoba. Untuk anak-anak yang lebih besar, kita bisa berkata sesuatu yang terlihat jelas, “Kamu kelihatannya kesal” atau “Coba kasih tahu Ibu / Ayah apa yang membuatmu kesal?” atau “Kamu tidak mau minum susu karena apa?” * Ulangi apa yang dikatakan oleh anak. Ini menunjukkan kalau kita benar-benar mendengarkan. * Jangan menyela. Biarkan anak mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya. Katakan kalau kita mengerti. Dan jika giliran kita tiba, anak akan berhenti bicara dan anak akan mendengarkan. * Tetap tenang, betapa pun bergejolaknya hati kita. Jadi, yang diperlukan di sini adalah komunikasi yang efektif. Kata-kata ancaman biasanya hanya temporer saja. Untuk lebih membuat anak mengerti kenapa sesuatu itu tidak boleh dilakukan, lebih baik dengan cara di atas. Ajaklah anak berkomunikasi dari hati ke hati. Kebiasaan ini sangat bermanfaat sampai anak dewasa. Dengan kedekatan emosi antara orang tua dan anak, maka apa pun yang menjadi keresahan hatinya, anak akan mencari orangtua untuk sharing. Jika orang tua membentak anak, maka anak akan membentak orang tuanya dengan suara yang lebih keras. Jika dia tidak menurut, cari tahu dan tanyakan, “Kenapa adik tidak mau melakukan apa yang Mama katakan?” Dengan nada suara yang tetap ramah dan wajah tersenyum. Mungkin anak akan terkejut kok mamanya bisa tetap tenang begini? Lama-lama anak akan tersentuh juga hatinya karena melihat mamanya tidak marah. Pada saat dia mengatakan alasannya kenapa tidak menurut sama mama, bahaslah itu bersamanya. Ajaklah dia berdiskusi seperti kita dengan seorang teman. Anak juga merasa dihargai dan senang kalau mamanya meminta pendapatnya akan sesuatu. ________________________________ Efek Kekerasan Pada Anak TERIAKAN bocah malang itu tidak juga menghentikan gerakan tangan sang ayah untuk berhenti memukuli tubuh ringkihnya. Barulah setelah tubuh itu diam tak bergerak, kesadaran si ayah langsung pulih. Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, nyawa pun melayang sia-sia. Itu bukan cerita rekaan, tapi benar terjadi Desember 1984. Kasus penganiayaan terhadap Arie Hanggara yang dilakukan ayahnya, menjadi cerita memilukan. Bahkan sempat diangkat ke layar perak. Arie menjadi korban kekerasan ayahnya yang menyebabkan nyawanya melayang. Ternyata Arie bukan anak terakhir yang mengalami nasib memilukan ini. Penyiksaan anak (child abuse) malah terjadi sepanjang tahun. Bahkan UNICEF pada 2003 melansir laporan sebanyak 3.500 anak berusia kurang dari 15 tahun tewas setiap tahun akibat perlakukan kejam. Riset yang dilakukan UNICEF di beberapa negara itu juga menunjukkan tingkat kekerasan yang berakhir dengan kematian terjadi di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, Pasifik, tergolong tinggi, seperti di AS, Meksiko, Portugal, Belgia, Ceko, Hongaria, Prancis, dan Selandia Baru. Namun Spanyol, Yunani, Italia, Irlandia, dan Norwegia justru tergolong rendah. Dari temuan UNICEF, ada dua faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak. Pertama, stres dan kemiskinan. Kemudian rumah tangga yang kerap diwarnai kekerasan antara suami dan istri. Bentuk kekerasan yang tidak tepat bisa berpengaruh buruk pada anak dalam jangka panjang. Makian kasar seperti “dasar anak sial” atau “dasar anak nakal” akan terekam kuat dalam diri si anak. Anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. “Marah merupakan hal yang normal, tapi kemarahan yang tidak tepat bisa memengaruhi kondisi psikis dan fisik anak,” ujar psikolog dari Jagadnita, Diah P Paramita dalam acara bertajuk ‘Seni bertengkar sehat dengan anak’ di Jakarta, Sabtu (30/8). Sedangkan psikolog dari Medicare Clinic Anna Surti Ariani menambahkan, tindakan seperti mencubit atau memukul sedapat mungkin dihindari, karena sama sekali tidak perlu. “Asalkan menguasai teknik-teknik mendisiplinkan anak, 50% kenakalan anak akan teratasi,” katanya. Menurut Nina, begitu ia disapa, mendisiplinkan anak balita harus secara konkret, seperti menunjukkan wajah cemberut. Pada usia ini mereka cenderung meniru. Hal ini sesuai dengan perkembangan kognitif anak. Sedangkan pada anak usia SD disarankan menggunakan metode broken record (piringan hitam rusak). “Ibarat piringan hitam rusak, ucapkan apa yang diinginkan orang tua berulang-ulang,” jelas Nina. Diah pun menambahkan, marah yang bertujuan untuk mendidik dan memperbaiki kesalahan-kesalahan agar perbuatan serupa tidak terulang lagi. Kemarahan yang diekspresikan secara tidak tepat, akan memengaruhi kemampuan orang tua dalam menerapkan disiplin dan memengaruhi hubungan orang tua dengan anak. Marah yang diikuti pemukulan menimbulkan luka batin, benci terhadap orang tua, rendah diri, antisosial, dan suka berkelahi. “Anak-anak suka meniru, kalau dipukul akan balas memukul. Selain itu memukul tidak mengubah perilaku,” sambung Diah. Child Right Information Network–sebuah organisasi yang peduli pada nasib anak-anak– memaparkan pemukulan terhadap anak-anak (baik dengan tangan, ikat pinggang, tongkat, atau sepatu), menendang, melempar, mengguncang-guncangkan tubuh anak, mencakar, menggigit, menyuruh anak diam dalam posisi yang membuatnya tidak nyaman, bila terjadi di Eropa dapat dikenai tuduhan melakukan tindakan kriminal. Austria , Denmark , Finlandia, Islandia, Jerman, Norwegia, dan Swedia memiliki UU yang melarang keras penyiksaan fisik terhadap anak-anak. Kekesalan orang tua bisa berdampak pada anak. Maka dari itu, orang tua harus menyelesaikan masalahnya lebih dulu. Menurut Diah, orang tua bisa mengikuti terapi untuk mengatasi kemarahan di masa lalu. Selanjutnya melakukan identifikasi masalah di masa lalu. “Anak yang ibunya sering sekali marah akan sulit untuk disiplin,” tegasnya. Dalam dialog tersebut juga terungkap bahwa anak yang dekat dengan orang tuanya akan jarang marah. Bila hubungan itu harmonis dan akrab, orang tua lebih mengenal karakter anak sehingga dapat menghindari kondisi pemicu pertengkaran. Diah menyarankan menarik napas setiap kali hendak marah. “Kondisikan diri untuk tidak memerhatikan hal-hal kecil yang bisa membuat marah.” Agar hubungan orang tua-anak harmonis tingkatkan pendekatan dengan melakukan kegiatan bersama. Kemudian memberi contoh/sikap yang baik bisa meningkatkan rasa percaya diri. Meluangkan waktu untuk bermain bersama, dan memberikan tanggung jawab, membuat anak merasa spesial. “Ajak anak menyiram tanaman biarkan anak memegang selang air,” jelas Diah memberi contoh. Selain hal yang diungkapkan di atas, Diah menyarankan orang tua menjalin komunikasi nonverbal. Yakni melakukan kontak mata saat berbicara, sikap tubuh sejajar saat berbicara (sambil duduk atau jongkok), rendahkan nada suara, berikan pelukan dan sentuhan lembut pada kepala sebagai tanda berbaikan usai memarahi. Tidak selamanya mendidik anak harus dengan sistem didik yg keras dan cenderung otoriter sebab dampak secara psikologis justru akan membuat anak2 tertekan dalam perkembangan jiwanya pola asuh yg benar adalah bagaimana ortu menerapkan komunikasi terhadap anak2. Sejak mereka masuk dalam usia balita, maka orang tua sudah dapat memulai bagaimana menerapkan sistem kontak dalam bentuk dialog / komunikasi dan jangan menggantungkan cara didik pada sekolah. sebab sekolah hanya memantau anak kita selama 4 - 5 jam. sedangkan satu hari terdiri dari 24 jam. nah yg sisa 19 jam itulah adalah tugas kita utk mendidik mereka. Anak – anak sangat menyenangi dialog yg supel dan bersifat kekeluargaan, dimana tidak ada unsur menekan atau cenderung menghukum bila anak gagal menjalankan suatu perintah. dan ingatlah ortu adalah figur pertama dalam cara asuh kepada anak2. Bila ortu terbiasa mengeluarkan kata2 kasar dan menghardik serta melakukan tindakan kekerasan lainnya, maka anak akan '' melihat , mendengar dan kemudian menirunya dalam tindakan selanjutnya '' Biasakan untuk tidak meninggalkan anak sendiri dalam pemecahan persoalan, dengan memberi bimbingan/pengarahan maka otomatis anak akan menerapkan pola cara ini dalam perbuatan selanjutnya.jadilah ortu dan juga sekaligus teman, dengan demikian anak2 tidak akan menyimpan sesuatu terhadap kita ortu nya. Memberi kepercayaan pada anak dalam melakukan sesuatu dengan pengarahan adalah kunci yg terbaik. mulailah dari usia balita untuk membimbing anak yaitu dengan memintanya utk mengembalikan/ membereskan mainan2 yg ia selesai pergunakan ketempat semula. Melalui komunikasi sederhana ini maka otomatis anak mengetahui tanggung jawabnya dan otomatis akan menerima apa yg tidak boleh dan apa yg harus. Dengan bertambahnya usia anak maka cara didik juga harus disesuaikan dengan perkembangan usia jangan menutup pintu dialog bila anak bertanya mengapa ia tidak boleh melakukan sesuatu, kita harus menerangkannya mengapa tidak boleh. dengan demikian anak berkembang menjadi kritis dalam berpikir tidak selamanya kata2 keras dan tajam akan membuat anak tunduk mematuhi peraturan. justru cara seperti ini membuat anak kehilangan kepercayaan dan menjadi bebal berbicaralah yg wajar lengkap dengan arguimentasinya. anak akan terbiasa dalam menyelesaikan sesuatu nantinya. Jangan memulai cara mendidik anak ketika usia sudah memasuki 10 thn, anda akan terlambat ! mulailah sejak mereka berusia dini. dengan pola asuh yg disesuaikan dengan usia mereka. Best Regard Wilma __________________________________________________ Apakah Anda Yahoo!? Lelah menerima spam? Surat Yahoo! memiliki perlindungan terbaik terhadap spam http://id.mail.yahoo.com