cuma forward aja..ada yg tahu email ayu utami?? saya cuma kasihan sama 
dia...

yangbaru6bulannikah

hardian

     10 + 1 Alasan untuk Tidak Kawin
      by Ayu Utami

      Inilah sebelas alasan kenapa tidak menikah adalah sikap politik 
saya,
dan karenanya saya tidak layak diundang oleh Jeremy Thomas sebagai tamunya
dalam Love & Life
      1      Memangnya harus menikah?

      2      Tidak merasa perlu

      3      Tidak peduli

      4      Amat peduli. Jika di satu sisi saya mudah dianggap tidak 
peduli pada nilai yang dipercaya ibu saya, di sisi lain saya sesungguhnya 
amat peduli.Awalnya sederhana saja. Sejak kecil saya melihat masyarakat 
mengagungkan
pernikahan. Ironisnya, dongeng Cinderella, Putri Salju, Putri Tidur, 
Pretty Woman tamat pada upacara, tukar cincin, dentang lonceng, atau 
ciuman di balkon. Artinya, tidak ada dongeng tentang perkawinan itu 
sendiri.

Sesungguhnya pada titik dongeng berhenti, seorang enak diperkenalkan pada 
yang realistis. Yang tidak diceritakan itu. Yaitu, bahwa pernikahan tidak 
ideal. Selain kasih sayang, juga ada kebosanan, penyelewengan, pemukulan. 
Tetapi itu tabu dibicarakan. Sebaliknya, masyarakat mereproduksi terus 
nilai yang mengagungkan pernikahan. Mereka menempatkan jodoh sebagai titik 
nadir sejajar dengan kelahiran dan kematian. Suatu proses yang wajib 
dilalui manusia. Seolah-olah alamiah, bahkan kodrati. Barangkali 
percintaan memang amat romantis sehingga orang, misalnya saya dan pacar 
saya kalau lagi jatuh cinta, suka berkhayal bahwa kami dipersatukan oleh 
malaikat (tentu khayalan ini berakhir bersama selesainya hubungan). 
Perasaan melambung itu mungkin yang membuat kita ogah mengakui bahwa kita 
lahir dan mati adalah proses biologis, sementara menikah adalah konstruksi 
sosial belaka.< /P>

Persoalannya, selalu ada yang tidak beres dengan konstruksi sosial. Pada 
umumnya pernikahan masih melanggengkan dominasi pria atas wanita. Kecuali 
di beberapa negara liberal Eropa, hukum tidak terlalu berpihak pada istri. 
Di Indonesia ini terlihat pada setidaknya undang-undang perkawinan, 
perburuhan, maupun imigrasi. Di masyarakat, begitu banyak pengaduan kasus 
kekerasan domestik terhadap perempuan. Kita dengar dari media massa 
tentang pemukulan atas pembantu rumah tangganya Imaniar hingga atas Ayu 
Azhari oleh suaminya sendiri. Ketimpangan jender harus diakui.

Tapi puncak pengesahan supremasi pria atas wanita adalah dalam poligami. 
Tema yang hampir-hampir tak pernah dikembangkan, bahkan dalam dongeng 1001 
malam. (Menurut saya topik ini digarap dengan amat muram dan mencekam 
dalam Raise the Red Lentern oleh Zhang Yi Mou). Bahwa seorang lelaki boleh 
memiliki banyak bini, tapi seorang istri tidak diperkenankan memiliki 
banyak laki. Padahal, secara biologis perempuanlah yang bisa betul-betul 
yakin bahwa anak yang dikandungnya adalah anaknya sendiri. Waktu remaja 
tentu saja saya merasa tidak nyaman membaca berita bahwa Rhoma Irama kawin 
lagi dengan Rika Rachim, yang lebih muda dan segar daripada Veronica, 
istri pertamanya yang kemudian minta cerai karean tidak mau dimadu. (Saya 
menyetujui perselingkuhan, sebab perselingkuhan istri maupun suami 
sama-sama tidak disahkan hukum).

Saya anti-poligami. Tapi bukannya tidak bisa melihat rasionalisasi di 
balik kawin ganda ini. Poligami adalah masuk akal di dalam masyarakat yang 
amat patriarkal, yang berasumsi bahwa pria superior, bahwa pria menyantuni 
perempuan dan tak mungkin sebaliknya, sehingga tanpa lelaki seorang 
perempuan tak memiliki pelindung. Para pendukung poligami umumnya gagal 
untuk mengakui bahwa poligami hanya adil untuk sementara, yaitu dalam 
konteks masyarakat patriarkal. Dan bahwa kita punya pekerjaan besar untuk 
mengubah sistem yang cenderung berpihak pada pria itu. Makanya, saya 
kecewa ketika dalam periode Gus Dur, Menteri Pemberdayaan Perempuan tidak 
menentang pencabutan PP 10 yang melarang pegawai negeri beristri banyak. 
(Dalam hal ini saya lebih suka Soeharto daripada Hamzah Haz.)



Lantas, apa hubungan semua perkara besar itu dengan saya? Hubungannya 
adalah bahwa saya peduli, yaitu jengkel dengan idealisasi tadi. Barangkali 
saya ingin mengatakan bahwa ada persoalan di balik pengagungan atas 
pernikahan. Pernikahan tidak dengan sendirinya membuat hidup Anda sempurna 
atau bahagia. Saya ingin mengingatkan, ada jalan alternatif. Perempuan tak 
perlu menjadi istri kesekian atau kawin dengan lelaki bertelapak tangan 
ringan hanya demi jadi Nyonya Fulan. 

Catatan: Jika perkawinan ibarat pasar, orang-orang yang memutuskan tidak 
menikah sesungguhnya mengurangi pasokan istri seperti OPEC mengatur suplai 
minyak. Juga memperingatkan para suami bahwa istri bisa tak bergantung 
pada dia. Dengan demikian, mestinya harga istri menjadi lebih mahal 
sehingga harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya. (Nah, saya peduli dan 
berniat baik, kan?)


5      Trauma. Saya punya trauma. Bukan pada lelaki, sebagaimana 
diperkirakan banyak orang, misalnya seorang ibu pendakwah di televisi. 
Melainkan pada sesama perempuan yang tidak sadar bahwa mereka tunduk dan 
melanggengkan
nilai-nilai patriarki. 


Saya punya dua bibi pemuja perkawinan. Salah satunya begitu mengagungkan 
persuntingan sehingga jika saya menikah, ia takkan menyapa saya dalam 
suratnya sebagai Ayu, melainkan sebagai Nyonya Anu. Tapi mereka sendiri 
tidak menikah. Bukan tak mau, melainkan karena tak dapat suami. Mereka 
juga pencemburu pada perempuan lain yang bukan sedarah dalam keluarga 
kami. Mereka cenderung menganggap anak laki-laki lebih berharga ketimbang 
anak perempuan. Syukurlah bahwa ayah-ibu saya memperlakukan sama 
puta-putrinya, sehingga saya tidak punya dendam, sembari tetap melihat 
ketidakadilan.


Saya juga punya guru-guru di SD dan SMP yang memenuhi segala stereotipe 
tentang perawan tua, perempuan "tidak laku" yang dengki. Mereka 
mengidealkan perkawinan. Mereka tidak mendapat suami. Mereka adalah 
guru-guru paling killer di sekolah. Mereka menghukum dengan berlebihan. 
Mereka membenci murid-murid yang cantik, setidaknya begitu mudah berang 
pada wajah ayu. Syukurlah, saya tidak ayu dan cenderung tomboy sehingga 
mereka baik pada saya. Dengan demikian, saya punya simpati baik pada si 
guru maupun pada korbannya, teman saya yang cantik. Sembari tetap 
merasakan ketidakadilan.


Pada masa kanak dan remaja, kesejajaran antara "perawan tua" dengan tabiat 
pendengki tampak begitu nyata, sehidup kakak tiri Cinderella. Untuk 
mengatakan bahwa hal-hal tersebut tidak saling berkaitan adalah naif. Lagi 
pula, demikianlah stereotipe yang dilanggengkan masyarakat. Tapi, untuk 
mempercayai bahwa perempuan yang tidak kawin niscaya mempunyai problem 
psikologis juga terlalu menyederhanakan persoalan.

Inilah trauma saya: bahwa saya melihat sindrom perawan tua. Sejak remaja 
saya merasa terganggu olehnya. Bertahun lalu saya menulis dalam diary, 
"Barangkali saya tidak akan menikah kelak, tetapi saya tidak akan menjadi 
pencemburu." Mungkin inilah jalan yang saya pilih: masuk ke dalam trauma 
itu dan membalikkannya. Masuk ke dalam prasangka masyarakat dan 
membuktikan kesalahannya.


Bibi saya, guru saya, adalah orang yang terluka. Mereka dilukai oleh 
masyarakat yang hanya menganggap sempurna wanita berkeluarga dan 
menganggap tak laku perempuan lajang tua. Dan luka itu adalah milih setiap 
perempuan.
Saya ingin mengorak luka itu, luka saya juga, dan menunjukkan bahwa ini 
hanya konstruksi sosial, sehingga kita tak perlu menjadi sakit karenanya.

Tapi alasan ini kok terlalu heroik ya? Nah alasan berikutnya adalah:


6      Tidak berbakat. Rasanya, saya tidak berbakat untuk segala yang 
formal dan institusional. Contohnya, sejak SMP saya tidak pernah menjadi 
murid yang baik.


7      Kepadatan penduduk. Saya tidak ingin menambah pertumbuhan penduduk 
dengan membelah diri.


8      Seks tidak identik dengan perkawinan. Wah, pertama ini konsekuensi 
alasan ke-5 tadi: saya kan harus membuktikan bahwa perawan tua dan tak 
menikah tidak berhubungan. Kedua, siapa bilang orang menikah tidak
berhubungan seks dengan bukan pasangannya.


9      Sudah terlanjur asyik melajang.



10      Tidak mudah percaya. Ibu saya selalu mengatakan bahwa menikah 
membuat kita tidak kesepian di hari tua. Tapi siapa yang bisa jamin bahwa 
pasangan tak akan bosan dan anak tidak akan pergi? Tak ada yang abadi di 
dunia ini,
jadi sama saja. 


+1      Dan kenapa saya menceritakan semua itu? Sebab selalu ditanya. 
Inilah anehnya kesadaran. Ketika kita menjalani hidup, sebetulnya semua 
mengalir begitu saja. Tetapi ketika kita ditanya, kita seperti dipaksa 
untuk
menyadari dan merumuskan. Lantas, sesuatu yang semula terasa wajar 
menjelma sikap politik.


      Biodata Singkat
      Dilahirkan di Bogor 21 November 1968, Ayu Utami adalah lulusan 
jurusan
Sastra Rusia Fakultas Sastra UI. Pernah menjadi wartawan majalah Matra,
Forum Keadilan, dan D&R. Ikut mendirikan Alianji Jurnalis Independen (AJI)
dan Komunitas Utan Kayu - sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan
kebebasan informasi. Pada tahun 2000 Ayu mendapat Prince Clause Award.



Kirim email ke