Dear moms n dads.... ada Artikel dari nakita seputar masalah pelabelan nama kpd anak, smoga berguna ...
~Umminya Abi n Farras~ www.babiesonline.com/babies/a/abifarras "KAMU NAKAL BANGET SIH!" Jangan kelewat gampang melakukan pelabelan terhadap anak. Bukan tidak mungkin si pintar benar-benar akan jadi si bodoh jika telanjur kenyang dicap negatif. Setiap hari, disadari atau tidak, orang tua kerap memberikan label kepada anak-anaknya. Tidak percaya? Lihat saja saat si kecil terlihat pasif dan pemalu dibanding teman-temannya, orang tua langsung nyeletuk, "Ayo, dong! Masak anak Mama pemalu gitu sih? Malu-maluin aja!" Atau saat si kecil bolak balik penasaran menyentuh keramik hiasan di rumah, hardikan sering diterimanya. "Jangan dipegang-pegang terus dong, Nak. Kamu kok nakal banget sih, enggak bisa dibilangin!" Pelabelan, menurut Henny E. Wirawan, M.Hum Psi, merupakan tindakan memberi label, ciri, atau cap tertentu kepada seseorang berdasarkan perilaku, sifat, atau bentuk fisiknya. Hal itu biasanya dilakukan untuk mempermudah pengenalan identitas seseorang. Contohnya, saat menyebut nama Agus, maka kita akan bertanya Agus yang mana, apakah Agus yang gendut, yang pendiam atau yang lincah? Sementara dalam buku A Handbook for The Study of Mental Health, pelabelan merupakan sebuah definisi yang ketika diberikan kepada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut. Identitas ini akan menjelaskan kepada orang lain mengenai tipe yang bersangkutan. Dengan kata lain, simpul Henny, pemberian label kepada seseorang cenderung membuat orang lain melihat keseluruhan kepribadian si penyandang label dan bukan pada perilakunya satu demi satu. Pelabelan, lanjutnya, tidak melulu berisi cap bermakna negatif semacam nakal, bandel, malas, hitam, gendut, jelek dan seterusnya, melainkan juga kerap merupakan kata-kata yang bermakna positif seperti pintar, cakep, cantik, hebat, kuat dan sejenisnya. Hanya saja pemberian label negatif ini lebih sering berkenaan dengan sebuah perilaku yang menurut si pemberi label bersifat negatif. Padahal siapa pun dan berapa pun usianya, pastilah tidak suka mendapat cap negatif. Itulah mengapa pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta ini mengingatkan agar orang tua jangan kelewat gampang memberi label pada anak-anaknya. "Cintai dan hargailah mereka apa adanya." Kalaupun dirasa tak mudah, sarannya, kenanglah betapa susahnya mengandung anak selama sembilan bulan. Belum lagi proses persalinan yang sangat melelahkan dan menyakitkan sekaligus membahagiakan. Apa pun, anak adalah harta yang amat berharga sekaligus titipan dan Yang Maha Kuasa. "Jadi, berikan respons, sikap, atau ucapan positif kepada anak." Henny tak menyangkal bila di saat-saat tertentu orang tua tak bisa menahan diri untuk tidak melontarkan tanggapan negatif menghadapi perilaku anak yang dianggap menjengkelkannya. Walaupun boleh jadi sesungguhnya orang tua tidak bermaksud buruk dengan respons negatif tersebut. Akan tetapi tanpa disadari apa yang dikatakan orang tua dan bagaimana orang tua bertindak akan meresap dalam pikiran dan sanubari anak yang sedikit banyak berpengaruh dalam kehidupannya. PENGARUHI KONSEP DIRI Yang juga perlu diingat, "Label akan mempengaruhi konsep diri anak," kata Henny. Anak yang mendapat label negatif bukan tidak mungkin akan memiliki konsep diri yang negatif pula. Contohnya, anak yang sering dibilang nakal dan nakal secara terus-menerus mau tidak mau akan memosisikan dirinya sebagai anak yang nakal. Terlebih jika yang memberi cap semacam itu adalah orang-orang terdekatnya, terutama orang tua. Padahal, seperti yang tercantum dalam buku Raising A Happy Child, para pakar berpendapat bahwa konsep diri seseorang atau bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan menjadi pijakan bagi yang bersangkutan saat beradaptasi dalam lingkungannya. Konkretnya, anak yang memandang dirinya dengan konsep diri positif, misalnya, pastilah akan mendekati orang lain dengan rasa percaya dan memandang dunia sebagai tempat yang aman. Bukankah kebutuhannya akan rasa aman dan nyaman sudah terpenuhi. Sebaliknya, anak yang memandang rendah harga dirinya akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil risiko, dan sulit untuk mengukir prestasi. TERUS MEREKAM Memang dampak negatif ini tidak akan langsung dirasakan oleh anak usia batita mengingat pemahamannya masih terbatas pada hal-hal nyata. Sementara kosakata maupun kecakapan berbicaranya pun masih amat terbatas. Ia sama sekali belum bisa memahami benar apa arti kata-kata nakal, bandel atau bodoh. Tapi jangan lupa daya rekam anak terhadap kata-kata yang dilontarkan orang tua kepadanya sangatlah kuat. Alam bawah sadarnya akan terus merekam semua pengalaman dari lingkungan. "Jadi, jangan mentang-mentang anak kelihatan belum mengerti, orang tua bisa seenaknya memberi label." Dampaknya, tandas Henny, baru akan mulai terasa saat anak memahami label yang ditempelkan padanya, yakni di usia prasekolah ataupun usia sekolah. Di situlah anak akan menganggap dirinya identik dengan apa yang dilabelkan padanya. Akibatnya, anak akan cenderung bertindak sesuai dengan label-label yang dilontarkan lingkungan terdekatnya, terutama ayah dan ibunya. Jika dia dicap nakal, contohnya, anak akan terpanggil untuk menunjukkan kenakalannya. "Lo, aku kan memang dibilang anak nakal," begitu si anak memosisikan dirinya. Henny lantas mencontohkan pengalamannya menangani anak yang selalu jadi trouble maker di sekolahnya. Dia kerap membolos dan kalaupun tidak membolos, bisa dipastikan dia selalu jadi biang kerok munculnya keributan. Saat ditegur, si anak hanya berkomentar enteng. "Aku kan memang sudah dicap nakal sama orang tua dan guru. Ya udah beginilah caraku menunjukkan kenakalanku." Label ini, lanjut Henny, akan semakin kuat pengaruhnya jika lingkungan juga memberi perlakuan kepada anak tersebut sesuai dengan label tadi. Kepada anak cerdas, misalnya, orang tua maupun guru cenderung memberi banyak tugas yang relatif lebih berat dan menantang dibanding anak lain. Mereka hanya berkata, "Ahbuat anak secerdas dia sih, tugas seperti ini sih gampang." Perlakuan yang nyata-nyata berbeda dirasakan oleh anak yang dianggap kurang cerdas. "Lo kalau dikasih banyak tugas yang berat, mana mungkin dia mampu?" Begitu ucapan yang jelas-jelas terdengar melecehkan. Dengan perbedaan perlakuan semacam ini saja, tandas Henny, maka anak yang kurang pandai tadi sudah punya keengganan untuk menunjukkan hasil terbaiknya. Dengan kata lain, ia tidak termotivasi untuk maju. Akibatnya, penghargaan terhadap dirinya jadi sedemikian rendah. Nah, kalau sudah begini, bagaimana ia mau dihargai orang lain jika si anak tidak menghargai dirinya sendiri. Ujung-ujungnya, kemampuan yang dimiliki anak pun tidak akan berkembang optimal. Sebaliknya, anak-anak yang mendapat label positif umumnya akan tumbuh menjadi pribadi yang positif. Paling tidak anak akan terpacu untuk mempertahankan label-label positif yang diterimanya tersebut. Ia pun akan merasa malu jika bertindak atau bersikap tidak sesuai dengan labelnya. Anak yang mendapat label pintar, contohnya, tentu akan terus tergerak untuk lebih giat belajar. Begitu juga anak yang dibilang terampil menggambar atau gemulai saat menari, akan terus berusaha seolah tanpa lelah untuk terus menggambar maupun menari dengan baik. HATI-HATI LABEL POSITIF Meskipun begitu, ujar Henny mengingatkan, orang tua hendaknya jangan pula gampang mengobral label positif. "Dampaknya sama tidak baik. Sangat mungkin anak yang terlalu banyak mendapat label positif akan tumbuh menjadi individu yang sombong. Ia tidak bisa menerima kekurangan dan kelemahan dirinya. Akibatnya, bukan tidak mungkin anak gampang frustrasi dan tak memiliki kepercayaan diri." Contohnya adalah anak yang selalu dibilang pintar hanya karena sering jadi juara kelas. Akibatnya, begitu anak pindah ke kelas atau sekolah yang lebih ketat persaingannya, prestasinya akan menurun drastis dan hal itu membuatnya tertekan. Hal yang terbaik adalah tidak sesumbar memberikan label. Lontarkan saja pujian sesuai dengan tingkah laku anak. Jika anak memang memiliki keterampilan yang positif, semisal mau berbagi dan sebagainya, pujilah perilakunya itu saja. "Ayah senang kamu mau meminjamkan bonekamu," misalnya. Sebaliknya, jangan segan untuk memberikan kritik atau teguran jika perbuatan anak dirasa tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan. Contohnya saat anak mengumpat atau memukul anak lain. Dengan cara ini anak akan tahu mana perbuatan yang salah dan mana pula yang benar. BISA BERTOLAK BELAKANG Namun, lanjut Henny, dampak pelabelan ini dapat juga bertolak belakang dengan kemungkinan tadi. Contohnya, anak yang dicap bodoh oleh teman-teman, pihak sekolah, atau bahkan orang tuanya bisa jadi tumbuh menjadi anak yang pintar, bahkan jenius. Jadi, seperti apa dampak ini pun tergantung pada perlakuan lingkungan dan motivasi si anak sendiri. Bisa jadi anak yang dilabel bodoh, begitu memasuki dunia sekolah malah begitu terpacu untuk menyingkirkan label buruk itu. Atau boleh jadi ia memang punya kelebihan yang tidak muncul saat duduk di bangku sekolah. Di rumahlah ia menciptakan kreasi dan karya-karya besar. Henny lantas mencontohkan Thomas Alfa Edison yang menciptakan berbagai penemuan penting bagi lahirnya industrialisasi dan pijakan buat para ahli hingga saat ini. Thomas kecil tak lebih dari seorang bocah yang dianggap idiot karena belum bisa bicara di usia tiga tahun, bahkan sampai saat memasuki usia sekolah. Guru-guru di sekolahnya angkat tangan karena tak sanggup lagi mengajarinya. Bahkan saking bodohnya, mereka menyerahkan pendidikan Thomas sepenuhnya ke tangan orang tuanya. Toh label bodoh yang diterimanya, tidak membuat Thomas bodoh sungguhan. Berkat ketekunan sang ibu, Thomas terasah menjadi anak jenius. Ibunya begitu yakin anaknya tidak sama dengan yang disebut-sebut oleh para guru dan murid-murid di sekolah anaknya. Menurut Henny, semestinya para orang tua juga bersikap sama seperti ibunda Thomas begitu tahu anaknya mendapat label negatif, entah dari teman atau saudara-saudaranya. Orang tua mesti bisa memotivasi anak dengan mengatakan bahwa setiap anak adalah pribadi unik dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Mungkin saja anak selalu mendapat nilai rendah dalam pelajaran matematika. Namun bukan mustahil bahwa ia memiliki kemampuan lebih di bidang lain seperti kesenian dan olahraga. Nah, ketimbang terpaku pada kekurangan anak, mengapa tidak memfokuskan perhatian pada kelebihannya? "Nilai matematikamu memang kurang bagus. Tapi menurut Papa sih kamu pintar menggambar. Papa yakin kamu bisa jadi pelukis atau arsitek." Dengan begitu, anak bisa mengembangkan potensinya sekaligus membangun rasa percaya diri. BENTENG PERTAHANAN DIRI Pelabelan, ditegaskan Henny, tidak hanya berlaku pada anak, tapi juga bagi kalangan dewasa. Begitu pula dampaknya. Mereka yang pernah mendapat label-label tertentu (terutama yang negatif) akan mengembangkan pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya ditolak inilah yang bila dibarengi oleh penolakan yang sesungguhnya dapat menghancurkan kemampuannya berinteraksi. Langsung atau tidak, penolakan ini akan menurunkan harga dirinya sekaligus melumpuhkan kinerjanya secara umum. Akan tetapi bila label-label negatif ini baru diterima seseorang saat dewasa, dampaknya tidaklah sefatal dibanding bila terjadi di masa kecil. Pasalnya, orang dewasa umumnya sudah memiliki benteng pertahanan diri yang baik. Benteng inilah yang memungkinkannya merespons secara wajar si pemberi label. Selain bisa menemukan berbagai kelebihan di balik kekurangannya. Dengan demikian ia bisa memoles konsep dirinya yang tadinya negatif menjadi positif kembali. TIPS BAGI ORANG TUA Seperti diakui Henny, bukan hal mudah untuk tidak melontarkan label-label tertentu pada anak. Berikut beberapa kiat untuk mengikis kebiasaan buruk tersebut: * Ucapkan kritik atau pujian secara spesifik kepada anak. Jangan mudah terpancing memberikan label yang menelanjangi seluruh kepribadiannya. Kala anak terlihat menjahili kucing, contohnya, jangan lantas berujar "Kamu nakal banget sih!" atau "Dasar anak bandel!". Akan tetapi katakan, "Adek jangan pukuli kucing itu. Kasihan dia kesakitan tuh." Konkretnya, jangan berikan cap si anak nakal, tapi jelaskan perilakunya yang salah. Jangan lupa, masa batita merupakan masa eksplorasi di mana anak selalu ingin mencoba-coba sesuatu. Akibatnya, anak sering terlihat sebagai sosok yang agresif, nakal dan tak tahu aturan. Disamping anak juga belum sepenuhnya mengetahui hal yang baik dan buruk, benar-salah maupun boleh-tidak boleh. * Dalam hal-hal tertentu, bisa saja orang tua menggunakan label pada anaknya. Dengan syarat, pelabelan itu dilakukan semata-mata demi memperbaiki kekurangan anak. Selain tidak mengatakannya secara langsung di depan anak. * Jika sudah tidak bisa menjaga sikap menghadapi si kecil, sebaiknya orang tua menarik napas sejenak atau malah undur diri dulu. Tanpa itu, orang tua akan cenderung memberi label-label negatif kepada anak. Saeful Imam. Ilustrator: Pugoeh/nakita