K A R T I N I
Mungkin Dia Akan Menangis Memandang Putri - Putri Kartini Masa Kini

1. Mukadimah
Bismillahirrahmanirrahiim.
Tinta  sejarah  belum  lagi  kering menulis namanya, namun wanita- wanita
negerinya sudah terbata-bata  membaca cita-citanya.  Kian hari emansipasi
kian  mirip  saja  dengan  liberalisasi  dan  feminisasi.Sementara Kartini
sendiri sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya, dan  ingin   kembali
kepada  fitrahnya.  Perjalanan  Kartini  adalah perjalanan panjang. Dan  dia
belum  sampai  pada  tujuannya. Kartini masih dalam proses. Jangan  salahkan
Kartini  kalau  dia tidak sepenuhnya dapat lepas dari kungkungan adatnya.
Jangan  salahkan  Kartini  kalau  dia tidak dapat  lepas  dari  pengaruh
pendidikan Baratnya. Kartini bukan anak keadaan, terbukti bahwa dia  sudah
berusaha  untuk mendobraknya. Yang kita  salahkan  adalah  mereka  yang
menyalahartikan kemauan Kartini.Kartini tidak dapat diartikan lain  kecuali
sesuai  dengan  apa yang tersirat dalam  kumpulan suratnya : "Door
Duisternis Tot Licht", yang terlanjur diartikan  sebagai  "Habis  Gelap
Terbitlah  Terang". Prof. Haryati Soebadio  (cucu  tiri  Ibu  Kartini) -
mengartikan kalimat  "Door  Duisternis  Tot  Licht"  sebagai  "Dari  Gelap
Menuju Cahaya"  yang  bahasa  Arabnya  adalah "Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur".
Kata dalam bahasa Arab  tersebut,  tidak  lain,  merupakan  inti dari dakwah
Islam yang artinya: membawa manusia dari kegelapan (jahiliyyah atau
kebodohan hidayah) ke  tempat  yang  terang  benderang (petunjuk atau
kebenaran). Di dalam Al-Quran, surat Al-Baqarah : 257, ALLah menegaskan:
 "ALLah  pemimpin  orang-orang  yang  beriman; Dia mengeluarkan mereka  dari
kegelapan  kepada  cahaya.  Dan orang-orang kafir pemimpinnya adalah
syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya ke kegelapan. Mereka itu
adalah penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.

Kartini berada  dalam proses  dari kegelapan  menuju cahaya. Namun cahaya
itu  belum purna  menyinarinya secara terang benderang, karena terhalang
oleh  tabir tradisi  dan usaha  westernisasi. Kartini telah kembali  kepada
Pemiliknya,  sebelum  ia  menuntaskan usahanya untuk mempelajari Islam dan
mengamalkannya, seperti yang diidam-idamkannya:

Moga-moga  kami  mendapat  rahmat,  dapat  bekerja membuat umat agama lain
memandang agama Islam patut disukai.[Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21
Juli 1902]

Kartini yang dikungkung oleh adat dan  dituntun oleh  Barat, telah mencoba
meretas  jalan menuju  benderang. Tapi anehnya tak seorangpun melanjutkan
perjuangannya. Wanita-wanita kini mengurai kembali benang yang  telah
dipintal  Kartini.  Sungguhpun  mereka  merayakan  hari lahirnya,  namun
mereka  mengecilkan  arti  perjuangannya.  Gagasan-gagasan  cemerlang
Kartini  yang  dirumuskan  dalam kamar yang sepi,mereka peringati di atas
panggung yang  bingar. Kecaman  Kartini yang teramat pedas  terhadap Barat,
mereka artikan  sebagai isyarat untuk mengikuti wanita-wanita Barat
habis-habisan.

Kartini  merupakan  salah  satu  contoh  figur  sejarah yang lelah
menghadapi pertarungan ideologi. Jangan kecam Kartini.  Karena  walau
bagaimana pun, beliau telah berusaha mendobrak adat,   mengelak  dari Barat,
untuk mengubah keadaan.

Manusia itu berusaha, Allah lah yang menentukan.
[Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, Oktober 1900]

Demikian kata-kata Kartini yang  mencerminkan suatu  sikapnya yang tawakkal.
Memang,  kita  manusia sebaiknya berorientasi kepada usaha dan bukan
berorientasi pada  hasil. Hal  ini perlu,  agar kita tidak kehilangan
cakrawala. Agar kita tidak mengukur keberhasilan suatu perjuangan dengan
batasan usia  kita  yang  singkat.  Pula  agar kita tidak  mudah  untuk
mengecam  kesalahan yang dibuat oleh orang-orang sebelum kita. Bukan
mustahil, jika kita dihadapkan dalam kondisi yang sama, kita pun akan
berbuat hal yang serupa. Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang
diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan
dimintai pertanggung jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan.[Al-Quran,
surat Al-Baqarah : 134]

2. Siapakah Kartini?

Kartini lahir dari keluarga ningrat jawa.Ayahnya,R.M.A.A Sosroningrat, pada
mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri
dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di
Teluwakur, Jepara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati
beristerikan seorang bangsawan.Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan
tinggi,  maka ayahnya menikah lagi dengan  Raden Ajeng  Woerjan (Moerjam),
keturunan langsung Raja Madura. Setelah  perkawinan itu,  maka ayah  Kartini
diangkat menjadi bupati di  Jepara menggantikan  kedudukan ayah kandung R.A.
Woerjan : R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua
saudara  sekandung,  Kartini  adalah  anak perempuan tertua.Beliau adalah
keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV,
diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak  Kartini, Sosrokartono, adalah
seorang jenius dalam bidang bahasa.Dalam waktusingkat pendidikannya di
Belanda, ia menguasai 26 bahasa:  17 bahasa-bahasa Timur dan 9 bahasa-bahasa
Barat.Kartini sendiri  secara  formal  pendidikannya  hanya  sampai pada
tingkat Sekolah Rendah. Tapi beliau dapat memberikan kritik dan saran yang
jelas kepada kebijaksanaan pemerintah Hindia  Belanda pada waktu itu. Dengan
nota yang  berjudul:  " Berilah Pendidikan kepada bangsa Jawa",  Kartini
mengajukan  kritik  dan  saran  kepada  hampir semua Departemen  Pemerintah
Hindia  Belanda,  kecuali Departemen Angkatan Laut (Marine). Salah satu
saran yang beliau ajukan  kepada Departemen Kesehatan adalah sebagai
berikut:

Para dokter hendaklah juga diberi kesempatan untuk melengkapi pengetahuannya
di Eropa. Keuntungannya sangat menyolok, terutama jika diperlukan
penyelidikan yang menghendaki hubungan  langsung dengan  masyarakat. Mereka
dapat menyelidiki  secara  mendalam  khasiat obat-obatan pribumi yang sudah
sering   terbukti   mujarab.   Jikalau   seorang   awam  menceritakan bahwa
darah cacing  atau belut dapat menyembuhkan mata yang bengkak, mungkin  ia
akan  ditertawakan. Namun adalah suatu kenyataan  bahwa air kelapa dan
pisang batu dapat dipakai sebagai obat. Soalnya, sebetulnya sangat sederhana
: penyakit- penyakit dalam negeri sebaiknya diobati dengan obat-obatan dari
negeri itu sendiri. Telah seringkali terjadi  bahwa  orang-orang  sakit
bangsa
Eropa,  teristimewa   yang  menderita  penyakit  disentri  atau  penyakit
lain, yang  oleh  dokter-dokter  sudah  dinyatakan tak dapat disembuhkan,
masih dapat  ditolong oleh obat-obatan kita yang sederhana dan tidak
membahayakan.  Sebagai  contoh, belum lama  berselang,  seorang  gadis
pribumi  oleh  seorang dokter dinyatakan  menderita  penyakit  TBC
kerongkongan.  Dokter itu mengatakan  bahwa  ia  hanya  dapat  bertahan  2
pekan dan akan meninggal dalam keadaan yang  mengerikan.  Dalam  keadaan
putus asa, ibunya  membawanya kembali  ke desanya  untuk diobati. Dan gadis
itu sembuh, menjadi  sehat, tidak  merasa sakit  lagi dan dapat  bicara
kembali.  Apa  obatnya? Serangga-serangga kecil yang didapat di sawah,
ditelan hidup-hidup  dengan pisang emas. Pengobatan yang  biadab? Apa  boleh
buat. Bagaimanapun obat itu menolong, sedang obat dokter tidak.
Dokter-dokter kita,  sebenarnya  dapat  mengumumkan kasus- kasus  seperti
itu,  tetapi  mereka tidak pernah melakukan hal emikian. Mungkin karena
khawatir  akan ditertawakan  oleh para sarjana? Seorang  dokter bumiputera
yang pengetahuannya setaraf dengan rekannya bangsa Eropa, jika yakin akan
sesuatu, mestinya harus berani menyatakan dan mempertahankan keyakinannya.

Dengan membaca  petikan nota Kartini yang ditujukan kapada pemerintah Hindia
Belanda tersebut, kita dapat memperkirakan  daya nalar Kartini untuk ukuran
jamannya.

3. Kartini Mendobrak Adat

Sesungguhnya adat  sopan-santun kami  orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus
merangkak bila  hendak  lalu  di  hadapanku. Kalau adikku duduk  di kursi,
saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan  menundukkan
kepala,  sampai  aku tidak kelihatan lagi.  Adik-adikku tidak  boleh berkamu
dan berengkau kepadaku. Mereka hanya boleh  menegur  aku  dalam  bahasa
kromo inggil  (bahasa   Jawa  tingkat   tinggi).  Tiap  kalimat  yang
diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah.

Berdiri bulu kuduk bila  kita berada  dalam lingkungan keluarga bumiputera
yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya,
harus perlahan-lahan, sehingga orang yang di dekatnya sajalah yang dapat
mendengar.

Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek- pendek,
gerakannya lambat  seperti  siput,  bila  berjalan agak cepat, dicaci orang,
disebut "kuda liar". [Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]

Peduli  apa   aku  dengan  segala  tata  cara  itu  ...  Segala  peraturan,
semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat
membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu ...
Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami  (Kartini,  Roekmini,  dan
Kardinah)  tidak ada tata cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan
menentukan sampai batas-batas mana cara liberal itu boleh dijalankan.
[Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]

Menurut Kartini,  setiap manusia sederajat dan mereka berhak untuk mendapat
perlakuan sama. Kartini paham benar bahwa saat itu, terutama di Jawa,
keningratan sesorang diukur dengan darah. Semakin biru darah seseorang maka
akan semakin ningrat kedudukannya.  Kartini  menentang  keningratan darah.

 Bagi saya hanya ada dua macam keningratan : keningratan pikiran dan
keningratan budi.  Tidak ada  yang  lebih  gila  dan  bodoh
menurut persepsi saya daripada melihat orang, yang membanggakan asal
keturunannya.  Apakah berarti sudah beramal soleh,  orang yang bergelar
Graaf  atau  Baron?  Tidak  dapat  mengerti  oleh pikiranku yang picik ini.
[Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]

Keningratan darah sekarang ini hanya tinggal sebagai barang  antik di
museum.  Sebagai gantinya sekarang muncul keningratan-keningratan baru:
keningratan  pangkat,  keningratan  jabatan  dan  semacamnya.Puncak dari
segala keningratan itu adalah keningratan ekonomi.  Siapa yang paling banyak
menyimpan harta, dialah yang paling ningrat. Semua dapat diatur olehnya.
Keputusan dan kebijaksanaan semua  orang  akan berjalan merunduk-runduk di
hadapan keputusan dan kebijaksanaan orang tersebut. Anehnya lagi, mereka
yang  mengaku  sebagai  Kartini-Kartini Masa Kini, tidak  menentang
keningratan-keningratan  baru tersebut. Bahkan sebagian besar mereka menjadi
korbannya, kalau  tidak boleh dikatakan sebagai abdinya yang setia.

4. Kartini Memandang Ke Barat

Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik;  orang baik- baik  itu
meniru  perbuatan  orang yang lebih tinggi lagi, dan
mereka itu meniru yang tertinggi pula ialah orang Eropa. [Surat Kartini
kepada Stella, 25 Mei 1899]

Diskriminasi yang dilakukan penjajah  Belanda terhadap bumiputera, telah
menjatuhkan  moral mereka.  Kartini meskipun  berasal dari kaum ningrat,
tapi pendidikan  Barat  yang  dikenyamnya  telah mengajarkan kepadanya
bahwa  Timur  itu  rendah  dan  Barat  itu mulia.  Kartini bukannya tidak
menyadari  indoktrinasi   ini,  tapi   kenyataan  yang dilihatnya  belum
lagi  dapat   dibantah.  Dalam  dunia  pendidikan misalnya, Kartini  melihat
perbedaan  yang menyolok,  antara apa yang dimiliki  oleh  Belanda  dengan
apa  yang  baru  dapat  dicapai oleh Bumiputera.

Bolehlah, negeri Belanda  merasa  berbahagia,  memiliki tenaga- tenaga ahli,
yang amat bersungguh mencurahkan seluruh akal dan
pikiran dalam bidang  pendidikan  dan  pengajaran remaja-remaja Belanda.
Dalam  hal ini  anak-anak Belanda lebih beruntung dari
pada  anak-anak Jawa, yang  telah  memilki  buku   selain  buku pelajaran
sekolah. [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 20 Agustus 1902]

Dari sini  nampak bahwa  Kartini menyadari pentingnya peranan buku dalam
mencerdaskan  kehidupan  anak   manusia.   Kalau   masa  kini, kebudayaan
membaca terkalahkan oleh kebudayaan video, apakah jawabnya adalah Kartini
masa kini  sudah lebih  maju dalam  hal mendidik anak- anak mereka?

Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan
aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih.  [Surat Kartini kepada
Ny. Ovink Soer, 1900]

Agar setaraf dengan Barat, Kartini merasa  perlu untuk  mengejar ilmu ke
Barat.  Barat adalah  kiblat Kartini  setelah melepaskan diri dari
kungkungan adat.

Pergilah ke Eropa. Itulah cita-citaku sampai nafasku yang terakhir.
Surat Kartini kepada Stella [12 Januari 1900]


5. Sahabat-sahabat Dekat Kartini

Adat pada  dewasa itu tidak memperkenankan seorang ningrat bergaul lekat
dengan rakyat biasa. Ningrat harus bergaul dengan  ningrat. Hal seperti ini
sengaja dilestarikan oleh pemerintah kolonial, agar para ningrat  kehilangan
kepekaan   terhadap   problematika  rakyatnya, menghindari  keterpihakan
ningrat  kepada  rakyat  yang  tertindas; sekaligus pula memperbesar jarak
agar antara ningrat dan rakyat tidak tergalang  suatu  kekuatan  untuk
melawan  penguasa.  Dalam  situasi demikian, dapat dipahami bila  pergaulan
Kartini  hanya terbatas pada lingkungan keluarganya dan orang-orang Belanda
saja. Pergaulan dengan orang-orang Belanda, tidaklah dilarang, karena orang
Belanda dianggap lebih ningrat daripada orang Jawa. Kartini  adalah  seorang
wanita  yang mempunyai pemikiran jauh ke depan. Hal ini sudah diamati dan
diketahui oleh teman-temannya bangsa Belanda.  Banyak orang Belanda di
Hindia  Belanda  maupun  di  negeri Belanda  sendiri  ingin  menjalin
persahabatan dengan Kartini,  namun pada umumnya sebenarnya mereka ini
adalah "musuh-musuh dalam selimut" yang ingin memperalat Kartini dan
memandulkan pikiran-pikirannya. Berikut  ini  adalah  beberapa  teman  dekat
Kartini, yang sering  terlibat diskusi maupun korespondensi dengannya :

 J.H. Abendanon
Abendanon datang ke Hindia-Belanda pada tahun  1900. Ia ditugaskan oleh
Nederland  untuk  melaksanakan  Politik  Etis.  Tugasnya adalah sebagai
Direktur Departemen Pendidikan,  Agama dan  Kerajinan. Karena 'orang  baru'
di  Hindia-Belanda, Abendanon tidak mengetahui keadaan masyarakat
Hindia-Belanda dan tidak paham bagaimana dan dari  mana ia memulai
programnya.  Untuk  keperluan  itu, Abendanon banyak meminta nasihat  dari
teman  sehaluan  politiknya, Snouck Hurgronye, seorang orientalis yang
terkenal sebagai arsitek perancang kemenangan Hindia- Belanda dalam Perang
Aceh. Lebih jauh,  Hurgronye  mempunyai  konsepsi  yang  disebut sebagai
Politik  Asosiasi,   yaitu  suatu  usaha  agar  generasi  muda  Islam
mengidentifikasikan  dirinya  dengan  Barat.   Menurut  keyakinannya,
golongan yang paling keras menentang penjajah Belanda adalah golongan Islam,
terutama golongan santrinya. Memasukkan peradaban  Barat dalam masyarakat
pribumi  adalah cara yang paling jitu untuk membendung dan akhirnya
mengatasi  pengaruh Islam  di Hindia  Belanda. Tidak mungkin membaratkan
rakyat   bumiputera,   kecuali  jika  ningratnya  telah dibaratkan. Untuk
tujuan itu, maka langkah pertama yang harus diambil adalah mendekati
kalangan ningrat terutama yang Islamnya teguh, untuk kemudian dibaratkan.
Hurgronye menyarankan  Abendanon untuk mendekati Kartini,  dan  untuk tujuan
itulah  Abendanon  membina hubungan baik dengan  Kartini.  Kelak,
Abendanonlah  yang  paling  gigih  berusaha menghalangi  Kartini  belajar
ke  Nederland.  Ia tidak ingin Kartini lebih maju lagi.

E.E. Abendanon (Ny. Abendanon)
Dia adalah pendamping setia  suaminya  dalam  menjalankan tugasnya mendekati
Kartini.  Sampai  menjelang  akhir hayatnya, Kartini masih membina hubungan
korespondensi dengannya.

Dr. Adriani
Keluarga Abendanon pernah mengundang keluarga Kartini  ke Batavia. Di
Batavia  inilah,  Ny.  Abendanon memperkenalkan Kartini dengan Dr. Adriani.
Ia  seorang  ahli   bahasa  serta   pendeta  yang  bertugas menyebarkan
kristen di Toraja, Sulawesi Selatan. Dr Adriani berada diBatavia dalam
rangka perlawatannya keliling Jawa  dan Sumatera. Untuk selanjutnya,  Dr.
Adriani  menjadi  teman korespondensi Kartini yang intim.

Annie Glasser
Ia adalah seorang  guru  yang  memiliki  beberapa  akta pengajaran bahasa.
Ia  mengajarkan bahasa  Perancis secara privat kepada Kartini tanpa memungut
bayaran. Glasser  diminta oleh  Abendanon ke Kabupaten Jepara untuk
mengamati dan mengikuti perkembangan pemikiran Kartini. Tidak mengherankan
jika  kelak  Abendanon  dapat  mematahkan rencana Kartini  untuk  berangkat
belajar ke Nederland, dengan mempergunakan diplomasi psikologis  tingkat
tinggi.  Semua pihak  telah gagal dalam
segala upaya  untuk menghalangi kepergian Kartini ke Belanda. Kartini telah
berbulat tekad untuk  ke  Belanda.  Tapi,  tiba-tiba, Abendanon datang
langsung  dari Batavia  ke Jepara  untuk menemui Kartini tanpa perantaraan
surat.  Abendanon  hanya  berbicara  beberapa  menit saja dengan  Kartini.
Hasilnya?  Kartini  memutuskan  untuk  membatalkan keberangkatannya ke
Belanda. Hal  ini  hanya  mungkin  jika Abandanon mengetahui  secara  persis
kondisi  psikologis  Kartini; dan hal ini mudah baginya karena  ia
menempatkan  Annie  Glasser  sebagai "mata- mata"nya.

Stella (Estelle Zeehandelaar)
Sewaktu  dalam  pingitan  (lebih  kurang  4 tahun), Kartini banyak
menghabiskan  waktunya  untuk  membaca.  Kartini  tidak   puas  hanya
mengikuti perkembangan  pergerakan wanita  di Eropa  melalui buku dan
majalah saja.  Beliau  ingin  mengetahui  keadaan  yang sesungguhnya. Untuk
itulah,  beliau kemudian  memasang iklan di sebuah majalah yang terbit di
Belanda : "Hollandsche Lelie".  Melalui iklan  itu, Kartini menawarkan  diri
sebagai  sahabat  pena  untuk  wanita Eropa. Dengan segera iklan  Kartini
tersebut  disambut oleh  Stella, seorang wanitaYahudi Belanda.  Stella
adalah  anggota militan pergerakan feminis di negeri  Belanda  saat itu. Ia
bersahabat  dengan tokoh  sosialis; Ir. Van Kol,  wakil ketua  SDAQ (Partai
Sosialis Belanda) di Tweede Kamer  (Parlemen).

Ir. Van Kol
 Sebelum berkenalan  dengan  Kartini,  Van  Kol  pernah  tinggal di Hindia
Belanda  selama 16  tahun. Selain sebagai seorang insinyur, ia juga seorang
ahli dalam  masalah-masalah  kolonial.  Stella-lah yang selalu  memberi
informasi  tentang  Kartini  kepadanya,  sampai pada akhirnya ia
berkesempatan datang  ke Jepara  dan berkenalan langsung dengan  Kartini.
Van  Kol  mendukung  dan  memperjuangkan  kepergian Kartini ke  negeri
Belanda  atas  biaya  Pemerintah  Belanda. Namun, rupanya  ada  udang
dibalik  batu. Van Kol berharap dapat menjadikan Kartini sebagai "saksi
hidup" kebobrokan pemerintah  kolonial Hindia- Belanda.  Semua   ini  untuk
memenuhi  ambisinya  dalam  memenangkan partainya (sosialis) di Parlemen.

Nellie Van Kol (Ny. Van Kol)
Ia adalah seorang penulis  yang  mempunyai  pendirian  humanis dan
progresif.  Dialah  orang  yang  paling  berperan dalam mendangkalkan aqidah
Kartini.  Pada  walnya,  ia  bermaksud  untuk  mengkristenkan Kartini,
dengan  kedatangannya  seolah-olah  sebagai  penolong  yang mengangkat
Kartini  dari  ketidakpedulian  terhadap  agama.  Memang, agaknya  setelah
perkenalannya  dengan  Ny. Van Kol,  Kartini  mulai perduli  dengan
agamanya,  Islam.   Kepeduliannya  ditandai   dengan diakhiri gerakan "mogok
shalat" dan "mogok ngaji".

Sekarang kami merasakan badan kami lebih  kokoh, segala sesuatu tampak lain
sekarang. Sudah  lama cahaya itu tumbuh dalam hati sanubari kami; kami belum
tahu waktu  itu, dan  Nyonya Van Kol yang  menyibak  tabir  yang  tergantung
di  hadapan kami. Kami sangat berterima kasih kepadanya. [Surat Kartini
kepada Ny. Ovink Soer, 12 Juni 1902]

Setelah Kartini  kembali  menaruh  perhatian  pada masalah-masalah agama,
mulailah Nellie Van Kol melancarkan missi kristennya.

Nyonya Van  Kol banyak  menceritakan kepada  kami tentang Yesus yang tuan
muliakan itu, tentang rasul-rasul  Petrus dan Paulus, dan kami senang
mendengar semua itu

Nyonya  van  Kol gagal untuk mengkristenkan Kartini secara formal, tapi ia
berhasil untuk  memasukkan nilai  kristen ke  dalam keislaman Kartini. Dalam
banyak suratnya  Kartini menyebut  Allah dalam konsep trinitas.

Malaikat yang baik beterbangan  di  sekeliling  saya  dan Bapak yang ada  di
langit  membantu saya dalam perjuangan saya dengan
bapakku yang ada di dunia ini. Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 12 Juli
1902]

6. Kartini Ingin Menjadi Muslimah Sejati

Pada  masa  kecilnya,  Kartini  mempunyai  pengalaman  yang  tidak
menyenangkan  ketika  belajar  mengaji  (membaca Al-Quran).  Ibu guru
mengajinya memarahi beliau ketika Kartini menanyakan makna dari kata- kata
Al-Quran yang diajarkan kepadanya untuk membacanya.  Sejak  saat itu
timbullah penolakan pada diri Kartini.

"Mengenai  agamaku  Islam,  Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam
melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula
sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana  aku  dapat
mencintai   agamaku,  kalau   aku  tidak mengerti, tidak boleh memahaminya?
Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun.  Di
sini  tidak ada orang yang  mengerti bahasa  Arab. Di sini orang diajar
membaca Al-Quran tetapi tidak  mengerti  apa  yang  dibacanya. Kupikir,
pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang
dibacanya  itu.  Sama  saja  halnya  seperti engkau mengajarkan aku  buku
bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi  tidak  satu  patah
kata  pun  yang  kau jelaskan kepadaku apa  artinya. Tidak  jadi orang
sholeh pun tidak apa- apa,  asalkan  jadi  orang  yang  baik  hati,
bukankah  begitu Stella?"  [Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899]

"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang  tidak tahu  apa
perlunya  dan  apa  manfaatnya.  Aku  tidak mau lagi membaca  Al-Quran,
belajar  menghafal  perumpamaan-perumpamaan dengan  bahasa  asing  yang
tidak  aku  mengerti artinya,  dan jangan-jangan   guru-guruku   pun   tidak
mengerti   artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan
mempelajari apa
saja.  Aku berdosa,  kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak
boleh mengerti apa artinya. [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus
1902]

Sampai suatu ketika Kartini berkunjung ke  rumah pamannya, seorang Bupati
di  Demak  (Pangeran  Ario  Hadiningrat).  Di Demak waktu itu sedang
berlangsung pengajian bulanan  khusus untuk  anggota keluarga. Kartini ikut
mendengarkan pengajian  tersebut bersama para raden ayu yang lain, dari
balik tabir. Kartini  tertarik pada  materi pengajian yang disampaikan  Kyai
Haji  Mohammad Sholeh bin Umar,  seorang ulama besar dari Darat, Semarang,
yaitu  tentang  tafsir  Al-Fatihah. Kyai Sholeh Darat  ini - demikian ia
dikenal - sering memberikan pengajian di berbagai kabupaten di sepanjang
pesisir utara. Setelah selesai acara  pengajian  Kartini  mendesak  pamannya
agar bersedia menemani  dia untuk menemui Kyai Sholeh Darat. Inilah dialog
antara Kartini  dan  Kyai  Sholeh  Darat,  yang  ditulis  oleh Nyonya
Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat :

"Kyai,  perkenankanlah   saya  menanyakan,  bagaimana  hukumnya apabila
seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?" Tertegun  Kyai  Sholeh
Darat  mendengar  pertanyaan  Kartini yang diajukan secara diplomatis
itu."Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?" Kyai Sholeh  Darat balik
bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang  dimaksud  oleh  pertanyaan
Kartini  pernah   terlintas  dalam pikirannya.
"Kyai,  selama  hidupku  baru  kali  inilah aku sempat mengerti makna dan
arti surat  pertama, dan  induk Al-Quran  yang isinya begitu  indah
menggetarkan  sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati  aku  kepada
Allah,  namun  aku  heran  tak habis- habisnya,  mengapa  selama  ini  para
ulama kita melarang keras penerjemahan  dan   penafsiran  Al-Quran   dalam
bahasa  Jawa.  Bukankah Al-Quran  itu justru  kitab pimpinan hidup bahagia
dan sejahtera bagi manusia?"

Setelah pertemuannya dengan Kartini,  Kyai Sholeh  Darat  tergugah untuk
menterjemahkan  Al-Quran  ke  dalam  bahasa  Jawa.  Pada  hari pernikahan
Kartini,   Kyai  Sholeh  Darat  menghadiahkan   kepadanya terjemahan
Al-Quran  (Faizhur  Rohman  Fit  Tafsiril  Quran),  jilid pertama yang
terdiri dari 13 juz,  mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat
Ibrahim. Mulailah  Kartini  mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya.
Tapi sayang tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia,
sehingga Al-Quran tersebut belum selesai diterjemahkan seluruhnya  ke dalam
bahasa Jawa.  Kalau saja Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam
(Al-Quran)  maka  tidak  mustahil  ia  akan  menerapkan semaksimal   mungkin
semua   hal   yang   dituntut  Islam  terhadap muslimahnya.  Terbukti
Kartini sangat  berani  untuk  berbeda  dengan tradisi  adatnya  yang  sudah
terlanjur mapan.  Kartini juga memiliki modal kehanifan yang tinggi
terhadap  ajaran  Islam.  Bukankah  pada mulanya beliau paling keras
menentang poligami, tapi kemudian setelah mengenal Islam, beliau dapat
menerimanya. Saat mempelajari Al-Islam lewat Al-Quran terjemahan berbahasa
Jawa itu, Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa Allahlah
yang telah membimbing orang-orang beriman dari  gelap  kepada  cahaya
(Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Rupanya, Kartini terkesan dengan kata- kata
Minazh-Zhulumaati  ilan  Nuur  yang  berarti  dari gelap kepada cahaya.
Karena Kartini merasakan sendiri proses  perubahan  dirinya, dari pemikiran
tak-berketentuan kepada pemikiran hidayah.Dalam  banyak   suratnya  sebelum
wafat,  Kartini  banyak  sekali mengulang-ulang kalimat "Dari  Gelap  Kepada
Caaya"  ini.    Karena Kartini selalu  menulis suratnya dalam bahasa
Belanda, maka kata-kata ini dia terjemahkan dengan "Door Duisternis Tot
Licht".Karena  seringnya  kata-kata  tersebut  muncul  dalam  surat-surat
Kartini,  maka  Mr.  Abendanon yang mengumpulkan surat-surat
Kartini-menjadikan  kata-kata  tersebut  sebagai  judul  dari  kumpulan
surat Kartini.  Tentu  saja  ia  tidak  menyadari  bahwa kata-kata tersebut
sebenarnya dipetik dari Al-Quran. Kemudian  untuk  masa-masa  selanjutnya
setelah Kartini meninggal, kata-kata Door Duisternis Tot Licht telah
kehilangan maknanya, karena diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan istilah
"Habis Gelap  Terbitlah Terang".  Memang lebih puitis, tapi justru tidak
persis. Setelah  Kartini  mengenal  Islam  sikapnya  terhadap  Barat mulai
berubah :

"Sudah lewat masanya,  tadinya  kami  mengira  bahwa masyarakat Eropa  itu
benar-benar  satu-satunya  yang  paling baik, tiada taranya. Maafkan kami,
tetapi  apakah  ibu  sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna?
Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu
terdapat  banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai
peradaban?"
[Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902]

Kartini  juga  menentang  semua  praktek  kristenisasi  di  Hindia Belanda :

"Bagaimana pendapatmu  tentang Zending,  jika bermaksud berbuat baik  kepada
rakyat  Jawa  semata-mata atas dasar cinta kasih,
bukan  dalam  rangka  kristenisasi?  ....  Bagi   orang  Islam, melepaskan
keyakinan   sendiri   untuk  memeluk  agama  lain, merupakan  dosa  yang
sebesar-besarnya.   Pendek  kata,  boleh melakukan   Zending,   tetapi
jangan   mengkristenkan  orang. Mungkinkah itu dilakukan?"  [Surat Kartini
kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903]

Bahkan Kartini bertekad untuk memenuhi panggilan  surat Al-Baqarah ayat
193,  berupaya  untuk  memperbaiki citra Islam selalu dijadikan
bulan-bulanan  dan  sasaran  fitnah.  Dengan  bahasa   halus  Kartini
menyatakan :

"Moga-moga  kami  mendapat  rahmat,  dapat bekerja membuat umat agama lain
memandang agama Islam patut disukai."
[Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]

7. Cita-cita Kartini Yang Sering Disalahartikan.

Kartini merasa bahwa hati kecilnya selalu mengatakan :
"Pergilah. Laksanakan  cita-citamu. Kerjalah  untuk hari depan. Kerjalah
untuk  kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di
bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham yang  palsu tentang mana  yang
baik  dan   mana  yang   buruk.  Pergi.  Pergilah.
Berjuanglah   dan   menderitalah,    tetapi   bekerjalah  untuk kepentingan
yang abadi" 
[Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]


Petikan suratnya  berikut ini adalah cita-cita Kartini yang banyak salah
dimengerti :

"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan,
bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan  itu  menjadi
saingan   laki-laki  dalam  perjuangan hidupnya. Tapi  karena kami  yakin
akan  pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum  wanita,  agar  wanita  lebih
cakap melakukankewajibannya, kewajiban  yang diserahkan  alam sendiri ke
dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.
[Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902]

Inilah gagasan Kartini yang sebenarnya, namun kenyataannya  sering diartikan
secara sempit dengan satu kata: emansipasi. Sehingga setiap orang bebas
mengartikan semaunya sendiri.

8. Pelajaran Bagi Umat Islam
Pada dasarnya Kartini ingin berjuang  di jalan  Islam. Tapi karena
pemahamannya  tentang  Islam  belum  menyeluruh,  maka  Kartini tidak
mengetahui panjangnya jalan yang  akan  ditempuh  dan  bagaimana cara
berjalan  diatasnya.  (Mudah-mudahan  Allah merahmati Kartini, beliau sudah
berusaha, tapi Allah terlebih dahulu memanggilnya).Apabila kita mempelajari
lebih  jauh  konsep-konsep  yang diajukan Kartini,  meskipun  secara  global
adalah  konsep Islam, tapi secara terperinci dan operasional, rancu  dengan
konsep-konsep  Barat. Kita tahu  sebagian  besar  teman-teman  dekat
Kartini  adalah Yahudi dan Nasrani. Allah sudah memperingatkan kepada kita
: Tidak  akan pernah ridho  orang-orang  Yahudi  dan  Nasrani, sebelum kamu
mengikuti tata cara mereka (Al-Quran, 2:120).
Apa yang dialami Kartini merupakan sejarah yang senantiasa  selalu
terulangi.  Setiap  seseorang  akan memperjuangkan Islam,  maka tiba- tiba
pihak-pihak  yang  tidak  menyukai  Islam  akan  bersatu  untuk
menghancurkannya.   Bila  posisi  mereka  lemah,   maka  mereka  akan
menempuhnya dengan cara yang halus dan tersembunyi.  Tapi jika posisi mereka
kuat, maka mereka akan menempuh cara-cara paksa. Secara tidak sadar  Kartini
menceritakan  praktek  keburukan umat Islam (bukan  Islam yang  buruk)
kepada sahabat-sahabatnya non-Islam. Sehingga kelak kemudian hari  menjadi
bumerang  dan fitnah  bagi umat Islam. Sebaik-baiknya  sahabat non-Islam,
walau  bagaimanapun tidak akan membantu Islam (Al-Quran, 3:119-120).
Kartini  berjuang  seorang  diri  dan tidak menghimpun para santri lain yang
ada di  pulau Jawa.  Salah seorang  sahabat RasuluLLah, Ali bin Abi Thalib
RA pernah berpesan kepada kita bahwa:   Kebenaran yang tidak   terorganisir
dapat   dikalahkan    oleh   kebathilan   yang  terorganisir.  Dan  Allah
pun mencintai orang-orang yang berjuang di jalanNya dalam suatu barisan
(Al-Quran, 61:4).

Wallahu'alam bissawab.

AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA 
UTARA !!!
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke