Autisme dan Tunagrahita, Tak sama dan Memang Beda. Rabu, Kompas, 2 Maret 2005, hal 9
HATl -hati memberikan layanan pendidikan terhadap anak-anak yang sulit berkomunikasi. Keliru pendekatan dan terapi sangat berisiko menghambat perkembangan intelegensia anak. Selama ini, anak yang sulit berkomunikasi dan menahan emosi cenderung dicap tuna grahita itu karena kurangnya pemahaman utuh tentang apa yang disebut anak-anak berkebutuhan khusus. "Bisa jadi anak yang bergejala demikian tergolong autisme. Antara autisme dan tunagrahita terdapat perbedaan mendasar sehingga perlakuan yang diberikan pun harus berbeda," ujar Mudjito, Di- rektur Pendidikan Luar Biasa Depdiknas di sela-sela seminar "Memahami dan Mencari Solusi Kesulitan Belajar pada Anak Autisme" di Depok, Ja-wa Barat, Sabtu (26/2).Menurut Mudjito, autisme ialah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris, pola bermain, dan emosi. Pe nyebabnya karena antarjaringan dan fungsi otak tidak sirkron . Ada yang maju pesat, sedangkan yang lainnya bia- sa-biasa saja. Survei menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari ibu-ibu kalangan ekonomi menengah ke atas. Ketika dikandung, asupan gi-zi ke ibunya tak seimbang.Adapun tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawah rata-rata. Gejalanya tak hanya sulit berkomunikasi, tetapi juga sulit mengerjakan tugas-tugas akademik. Ini karena per- kembangan otak dan fungsi sarafnya tidak sempurna. Anak-anak seperti ini lahir dari ibu kalangan menengah ke bawah. Ketika dikandung, asupan gizi dan zat antibodi ke ibunya tidak mencukupi. "Sepintas, anak-anak autis dan tunagrahita memang sama-sama sulit berkomunikasi. Tetapi, dalam perkembangannya, pada situasi tertentu anak-anak autis bisa le- bih cerdas membahasakan sesuatu, melebihi anak-anak normal seusianya," tambahMudjito. DALAM seminar yang me-nampilkan drg Sri Utami Soedarsono (Direktur Pelita Hati, Pusat Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus) serta Ely Soekresno Psi (kon-sultan anak berkebutuhan khusus) tersebut terungkap bahwa istilah autisme berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yangn berarti aliran. Autisme berarti suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri. Penyebab autis sangat kompleks, tak lepas dari faktor genetika dan lingkungan sosial. "Pola hidup pada masyarakat kota turut mendukung potensi lahirnya anak autis. Misalnya, mengonsurnsi makanan dan minuman tanpa pengendalian mutu, termasuk makanan cepat sajii. Bisa juga karena buah dan sayuran yang dikon-surnsi mengandung pestisida." awal Februari lalu, para ilmuwan yang bertemu pada "Autisrn Summit" di Califor- nia, Amerika Serikat (AS), se pakat bahwa gejala autisme disebabkan oleh interaksi sejumlah gen dengan fak- tor-faktor lingkungan yang belum teridentifikasi. Mengiltip International Herald Tribune (10/2), Mudjito menguraikan, ditemukan sedikitnya dua indikasi autisme pada bayi baru lahir. Pertama, zat putih pada otak yang berisi serat-serat penghubung neuron di wilayah terpisah dalam otak-berkembang hingga 9 bulan, kemudian berhenti. Pada usia 2 tahun, zat putih ini diternui secara berlebihan di lobes bagin depan, cerebellum, dan wilayah asosiasi di mana terjadi pemrosesan tingkat tinggi. Kedua, lingkaran kepala bayi baru lahir lebih kecil da- ripada rata-rata lingkaran kepala bayi baru lahir pada umumnya. Pada usia 1-2 bulan, tiba-tiba otaknya tumbuh dengan pesat. Hal serupa terjadi pada usia 6 bulan-2 ta- hun. Pertumbuhan ini lalu menurun pada usia 2-4 tahun. Ukuran otak anak autis ber-usia 5 tahun lebih kurang sa- ma dengan ukuran otak anak normal berusia 13 tahun. Beberapa teori lain juga mengungkapkan, autisme ju- ga dapat disebabkan oleh virus seperti rubella, toxo, her- pes, jamur, nutrisi buruk, pendarahan, dan keracunan ma- kanan saat hamil. Hal itu menghambat pertumbuhan sel otak pada bayi sehingga fungsi otak pada bayi yang dikandung terganggu, terutama fungsi pemahaman, ko- munikasi, dan interaksi.Terkait dengan nutrisi, Mudjito menunjuk pola hidup pada masyarakat kota turut mendukung potensi lahirnya anak autis. Misalnya, mengonsumsi makanan dan mi- numan tanpa pengendalian mutu, termasuk makanan ce- pat saji. Bisa juga karena sayur dan buah yang dikonsum- si mengandung zat pestisida.Tak pelak, prevalensi (pe- luang terjadinya) autisme sangat pesat. Tahun 1980-an, di AS, dan hanya 4-5 anak yang autis per 10.000 kelahiran na- ik menjadi 15-20 per 10.000 kelahiran pada tahun 1990-an. Tahun 2000-an, su-dah mencapai 60 per 10.000 kelahiran. Belum ada data tentang prevalensi autisme di Indone-sia. Namun, mengingat pola hidup kurang sehat di negara maju pun sudah merambah masyarakat kota-kota besar di Indonesia, fenomenanya di- yakini mirip AS. "Di sekolah-sekolah luar yang berada di kota besar, tidak sulit menemukan anak autis. Di peda- laman, hampir tidak ditemu-kan," papar Mudjito. la menghargai maraknya inisiatif lembaga sosial di tiap kota yang mernbuka layanan pendidikan khusus bagi autisme. Apalagi pola pendekatannya cenderung menyeluruh, termasuk aspek medis. AUTISME hanyalah satu dan delapan jenis kelainan gejala khusus yang menjadi sasaran layanan pendidikan khusus, yang kini dikembangkan pemerintah dan masyarakat. Jenis-jenis kelainan lainnya mencakup tunanetra (gangguan penglihatan), tunadaksa (kelainan pada alat gerak/tulang, sendi, dan otot), tunagrahita (keterbelakangan mental), dan tunalaras (ber- tingkah laku aneh). Badan Pusat Statistik mencatat, saat ini sekitar 1,5 juta anak di Indonesia yang mengalami kelainan seperti itu. sarana pendidikan luar biasa, baru sekitar 50.000 anak yang mengenyam pendidikan. Se- suai Deklarasi Salamanca 1994 dan UU Sistem Pendidikan Nasional, anak berke-lainan khusus harus mendapatkan pendidikan setara de-ngan anak-anak lainnya. Oleh karena itu, pemerintah menggalakkan model pendi- dikan inklusi, di mana sekolah umum bisa memberikan layanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus, terpadu dengan siswa pada umumnya. Sayangnya. pengadaan guru khusus untuk pendidikan layanan khusus masih sulit dipenuhi. Tahun ini, dari 75.000 kuota pengangkatan pegawai negeri sipil untuk guru, hanya 500 guru sekualifikasi itu yang terang kat. Padahal, secara nasional masih dibutuhkan 1.500. Jika secara totalitas anak berkebutuhan khusus saja sulit terlayani, apalagi anak autis, yang selama ini cenderung dicap tunagrahita. (NASRULLAH NARA) Any Information : [EMAIL PROTECTED] ============================================= Semoga bermanfaat Dede Maulana Ada beberapa cara konvensional untuk mengatasi kegemukan, seperti banyak melakukan olahraga, mengatur pola makan, hidup teratur, atau dengan menggunakan "alat bantu" semisal slimming tea, metode pengobatan akupuntur, sampai pemakaian obat modern yang mengandung bahan kimia. Namun, cara-cara di atas tidak semuanya aman. Tak jarang malah menimbulkan efek sampingan cukup mengganggu. Ingin tahu lebih lanjut cara yg paling aman -- tanpa efek samping -- untuk menurunkan berat badan ?? Klik aja www.myrevell.ly2.com Atau hub saya via email (japri) ================ Kirim bunga, http://www.indokado.com Info balita: http://www.balita-anda.com Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED] Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]