2009, Penyakit Elite Penguasa

Oleh: ERROS DJAROT

Akibat menang Pemilu—meski belum setengah tahun
berkuasa— upaya untuk memenangi pemilu berikut sudah
gencar dibicarakan, dirancang, dan digelar. Hal ini
dilakukan agar kekuasaan bisa diraih kembali nanti.

Pengalaman ini saya rekam saat masih ”mengawal” partai
besar pemenang Pemilu 1999. Saat itu para pemimpinnya
banyak yang menduduki kursi jabatan penting di
pemerintahan.

Alhasil, berbagai urusan menyejahterakan rakyat dan
upaya keluar dari krisis tersedot oleh energi para
pemimpin partai— yang notabene juga pemimpin
negeri—yang amat bergiat mengurus penguatan posisi
partainya sendiri. Targetnya? Agar lebih kuat dan
menang dalam Pemilu 2009, yang notabene masih empat
setengah tahun lagi.

Caranya? Mengumpulkan uang sebanyak mungkin lewat
sejumlah ”kantong basah” dari berbagai instansi
pemerintahan. Selanjutnya, mengumpulkan barisan cukong
untuk ”dibina”. Padahal, rata-rata cukong besar di
negeri ini—saat itu bahkan hingga kini—amat sarat
dengan berbagai ”masalah” mega-utang.

Kultur politik warisan Orde Baru kabarnya masih
trendy. Perilaku politik seperti yang pernah saya
saksikan langsung belakangan santer terdengar kembali.
Maka, tidak mengherankan bila jabatan di berbagai
kursi basah pemerintahan—BUMN misalnya—amat ramai
diintip dan terjadi berbagai tarik-menarik
kepentingan. Begitu pula dengan kenyataan bahwa para
pengguna uang rakyat—sehubungan dengan kasus
BLBI—hingga kini tak satu pun dari mereka yang
tersentuh jeratan hukum.

”Matahari kembar”

Kini, benarkah para penguasa negeri ini masih asyik
bermain di wilayah kultur politik? Dalam berbagai
kesempatan bertemu dengan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), baik sebelum maupun sesudah menjadi presiden,
kesan itu tidak saya rasakan.

Masalahnya, kembali ke persoalan klasik; bagaimana
dengan orang di kanan-kiri dan di sekeliling Mr
President? Misteri ini membuat saya masih menyimpan
berbagai kekhawatiran. Apalagi tersiar adanya semacam
dua faksi kepemimpinan istana yang sering diistilahkan
dengan kiasan ”matahari kembar”.

Pada sisi lain, ada pula kegiatan para tokoh dan
pemimpin ”masa lalu” yang konon secara reguler
berkumpul dan terkesan giat melakukan upaya
penggelembungan barisan oposisi. Salahkah hal ini
dilakukan?

Menurut pakem demokrasi ala sekarang (liberal), jelas
tidak. Hanya saja, jika dua isu ini benar adanya
”matahari kembar” dan barisan oposisi ”malu-malu”,
sebagai rakyat saya prihatin. Harapan saya, seluruh
komponen dan kelompok yang dimiliki negeri ini
sesegera mungkin merapatkan barisan dan bersatu
menggalang kekuatan nasional, membantu pemerintah
memerangi krisis yang sedang dihadapi rakyat bangsa
ini.

Ambil kasus kelangkaan BBM. Hingga kini, langkah pasti
pemerintah dan DPR belum menunjukkan tanda-tanda telah
ditemukannya formula program/ rancangan (strategi
politik minyak nasional)—yang berkelanjutan dan
berketahanan. Belum lagi saat dihadapkan masalah
busung lapar akibat akumulasi panjang—oleh sikap para
elite penguasa negeri ini yang tak peduli nasib rakyat
kecil.

Begitu pula dengan aneka bencana yang menimpa rakyat
negeri ini. Ditambah masalah pilkada yang menyimpan
potensi disintegrasi sosial dan kemungkinan munculnya
kekuatan penguasa dan cukong yang bersatu melawan
kepentingan rakyat.

Dengan semua itu, luar biasa mengerikan bila kita
sempatkan sejenak bertanya; mau ke mana dan apa
jadinya bangsa ini ke depan? Karena itu, saya menjadi
kurang tertarik mendengar laporan seorang pejabat
tentang rating Indonesia yang konon naik di mata
dunia.

Begitu pula dengan prediksi pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang konon akan mencapai 6,3 persen. Bagi
saya, yang terpenting adalah bagaimana kehidupan dan
kualitas ekonomi rakyat pertumbuhannya dapat secara
nyata terlihat dan dirasakan rakyat. Bukan menurut
laporan pejabat atau pengamat, tetapi oleh suara
rakyat itu sendiri!

Galang kekuatan nasional

Mendengar suara rakyat secara langsung, jelas
kehidupan rakyat kebanyakan jauh dari gambaran menuju
ke 6,3 persen pertumbuhan yang diharapkan. Yang
terjadi justru sebaliknya. Musibah demi musibah harus
mereka alami. Dan mereka dalam keadaan tak berdaya!

Itulah sebabnya saya merindukan timbulnya kesadaran
para pemimpin di negeri ini (partai
politik-pemerintah-pengusaha nasional-is) berkumpul di
satu meja, bersatu menggalang kekuatan nasional;
berembuk memecahkan persoalan bangsa, hari ini dan ke
depan. Menyitir pernyataan Bung Karno, ”Kita kuat
karena bersatu, kita bersatu karena kuat!”

Bila dalam keadaan bangsa dan negara seperti ini hal
itu tidak dapat dilakukan, maka jelas kita hanyalah
kumpulan orang kalah dari sebuah bangsa yang kalah!

Bersatu itu indah dan betapa indah bila bersatu! Untuk
itu, sementara, lupakan dulu kepentingan 2009!

Erros Djarot Politikus

Baktos,

Rahman, Wassenaar/NL


                
____________________________________________________
Sell on Yahoo! Auctions – no fees. Bid on great items.  
http://auctions.yahoo.com/


Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke