Oh, Paguyuban Pasundan!
Oleh H. UU RUKMANA

IBARAT bola salju pernyataan H.A. Syafe'i, Ketua Umum Pengurus Besar
Paguyuban Pasundan (PP), beberapa waktu yang lalu, memberi pernyataan
saat kabar mengenai akan terjadinya reshuffle kabinet terdengar
santer. Pada acara silaturahmi PP di Pendopo Kota Bandung, Syafe'i
berucap bahwa jika menteri yang berasal dari etnis Sunda tergeser, dia
tidak akan berdiam diri (dengan istilah moal cicingeun). Saat itu,
masih ada tanda tanya besar di kalangan masyarakat, siapakah kiranya
menteri yang sudah tidak terpakai lagi pada kabinet SBY.

Banyak orang bertanya, ada apa dengan Paguyuban Pasundan, sehingga
ketua umumnya begitu bersemangat memasuki wilayah yang bukan
habitatnya. Meskipun memang, sekarang-sekarang ini, agaknya sudah
tidak begitu aneh lagi jika PP mengeluarkan statement yang berbau
politik. Ternyata, justru menteri yang berasal dari etnis Sundalah
yang dilengserkan: Yusuf Anwar (Menteri Keuangan) dan Andung
Nitimihardja (Menteri Perindustrian). Lantas kita pun menunggu, meski
tidak eksplisit menagih janji, Syafe'i dalam kapasitas orang nomor
satu di PP akan berbuat apa, dalam upaya merealisasikan ucapannya itu.

Sebetulnya sudah menjadi pengetahuan umum bahwa reshuffle kabinet
adalah sepenuhnya wewenang presiden, berdasar kinerja para menteri
yang bersangkutan.

Namun karena ucapan tersebut dilontarkan oleh Ketua Umum PP, maka
persoalannya menjadi lain. Bagi mereka yang tidak tahu persis, PP
sering dianggap mewakili orang Sunda. Karena itu, apa-apa yang
mengemuka dari organisasi ini akan terkesan itulah sikap orang Sunda.
Di lain pihak, Syafe'i sendiri dalam kapasitas Ketua Umum PP sering
mengatasnamakan Sunda, yang hal itu masih sangat perlu dan patut
dipertanyakan. Pernyataan Syafe'i yang terkait dengan reshuffle
kabinet paling tidak mempunyai dua tafsiran.

Pertama, komitmen PP dalam memperjuangkan Sunda di pentas nasional
seolah-olah begitu besar, sampai-sampai ketua umumnya berucap lantang:
moal cicingeun!

Kedua, orang akan menafsirkan bahwa PP tidak memiliki pengetahuan yang
cukup tentang penyelenggaraan pemerintahan, sehingga dalam urusan
pergantian di kabinet pun ingin merecokinya; terlebih-lebih PP
bukanlah partai politik yang punya daya tawar dalam urusan seperti
itu. Saya tidak tahu, apakah umumnya orang Sunda berpegang pada
tafsiran pertama, atau justru yang kedua. Tunggu punya tunggu, "janji"
Ketua Umum PP tidak terbukti. Ketika PP mengumpulkan sejumlah tokoh di
sekretariatnya, awal Desember kemarin, dari forum tersebut tidak lahir
pernyataan yang menggigit, yang bisa ditafsirkan sebagai tindak lanjut
ucapan Syafe'i. Yang terdengar hanyalah sebatas ungkapan penyesalan
(dan mungkin juga kekesalan) terhadap SBY, karena telah mencopot Yusuf
dan Andung, meskipun bersandar pada alasan the right man on the right
place.

Justru yang muncul kemudian adalah tanggapan terhadap penyesalan dan
kekesalan PP, sebagaimana yang dimuat pada surat kabar ini beberapa
waktu yang lalu, di antaranya dengan memunculkan pendapat Prof. Saini
KM. Pada intinya Saini mengatakan bahwa tidaklah proporsional kalau
kita berbicara soal etnis para pergantian kabinet. Saya tidak akan
mengomentari substansi dari perbedaan pendapat di atas, melainkan
lebih ditekankan kepada implikasinya, khususnya pandangan orang lain
terhadap Sunda.

Dengan adanya persoalan di atas, jangan-jangan malah jadi kontra
produktif terhadap upaya-upaya memposisikan Sunda di panggung
nasional. Hal ini kiranya patut disayangkan.

Kalaulah saya mengatakan bahwa "PP tidak punya daya tawar dalam urusan
seperti itu (maksudnya dalam bidang politik)", tidak bermaksud untuk
membonsaikan organisasi yang didirikan awal abad dua puluh ini. PP
memang organisasi besar dengan jam terbang sudah mendekati satu abad.
Namun, titik berat perjuangan PP adalah dalam bidang pendidikan dan
budaya. Pernah juga PP banting setir ke politik, lalu menjadi salah
satu kontestan pada Pemilu 1955 dengan nama Parki, namun satu kursi di
parlemen pun tidak berhasil diperoleh. Mendingan Daya Sunda yang
melahirkan Gerpis, yang berhasil menempatkan satu perwakilannya
(Soetisna Sendjaja) sebagai anggota konstituante. Dalam bidang
pendidikan, PP memang besar dan kaya. Sekolah yang dimilikinya
tersebar hampir di seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat, ditambah
dengan beberapa perguruan tinggi.

Dan kebesaran PP tersebut memang sudah sejak dulu, bukan hasil
perjuangan para pengurus sekarang. Pihak-pihak yang banyak berjasa
dalam membesarkan PP adalah para guru, kepala sekolah, dosen, dekan,
dan rektor, yang tidak pernah disebut-sebut, apalagi diberi
penghargaan oleh organisasi. Di luar itu, mereka yang berjasa adalah
para orang tua murid dan orang tua mahasiswa yang memasukkan
anak-anaknya untuk bersekolah atau kuliah di lingkungan pendidikan
yang dikelola PP. Mereka itulah yang menjadi sumber dana, sehingga PP
menjadi besar. Sebab, baik Yayasan Dikti (Pendidikan Tinggi) maupun
YPDM (Yayasan Pendidikan Dasar dan Menengah), tidak punya sumber dana
lain, di luar yang berasal dari para orang tua murid dan mahasiswa.

Tanpa keterlibatan mereka, Yayasan Dikti dan YPDM tidak akan bisa
berbuat apa-apa. Selain itu, pada praktiknya, sebagai upaya mewujudkan
lembaga pendidikan yang berkualitas, peranan kepala sekola atau
pimpinan perguruan tinggi amatlah besar. Beberapa di antaranya ada
yang mengambil inisiatif melakukan pembangunan, meski tanda dukungan
finansial. Mereka semata-mata hanya berbekal tekad. Saya banyak tahu
tentang hal itu, karena sering terlibat sebagai penjamin kepada pihak
bank. Sekarang kita melihat beberapa lembaga pendidikan di lingkungan
PP, baik SMP/SMA maupun perguruan tinggi yang berdiri dengan megahnya.

Ironisnya, pengurus PP sekarang lebih tergiur untuk memberikan
penghargaan --semacam penghargaan putra bungsu-- kepada orang-orang
luar yang sangat mungkin tidak tahu apa-apa jika ditanya soal PP.
Terkait dengan pemberian gelar semacam itu, yang proses keputusannya
tidak melalui rapat, selain ketua umumnya sendiri, beberapa orang
pengurus PP lainnya tampak menikmati, meski ada juga yang terdengar
menggerutu. Tapi kenapa, Prof. Muchtar Affandi yang begitu berjasa
dalam membangun Unpas (untuk menyebut salah satu contoh), terkesan
dilupakan begitu saja; tidak ada penghargaan yang diberikan.
Jangan-jangan pengurus PP lebih mengutamakan orang luar, yang
kebetulan sedang berkuasa, ketimbang orang-orang dalam yang justru
sudah banyak berjasa (dalam ungkapan bahasa Sunda: ngawur kasintu
nyieuhkeun hayam).

Secara pribadi, saya mulai terlibat dalam PP semenjak 1983, yaitu
pasca kongres di Sukabumi yang melahirkan dua kepengurusan (Sukanda
Bratamanggala dan Adjam Syamsoepradja). Keterlibatan saya tersebut
atas permintaan Pa Ema Bratakusuma, yang saat itu oleh para tokoh dan
sesepuh Sunda diberi mandat untuk menyelesaikan kemelut pada PP,
akibat timbulnya dualisme kepemimpinan. Selain Pa Ema, ada delapan
nama lainnya yang sebagian besar sudah berpulang ke alam baqa
(Duljalil, Oesadi, Hasan Natapermana, Tjetje Hidajat Padmadinata, Tata
Gautama, Ottih Rostoyati, Bachrum Suharsa, dan saya sendiri).

Kemelut dapat diakhiri, setelah PP menggelar kongres luar biasa, di
Bandung, yang bisa terselenggara atas keterlibatan pihak Pemda
Provinsi Jawa Barat sebagai fasilitator, atau mungkin lebih tepat
sebagai penyelenggara. Naiklah Prof. Thoyib Hadiwijaya sebagai ketua.
Untuk personalia kepengurusan lainnya di antaranya diambil dari
beberapa organisasi yang berbasis kesundaan, di antaranya Daya
Mahasiswa Sunda (Damas), dengan duduknya Kuntara Magnar sebagai
sekjen. Saya yang berangkat dari Angkatan Muda Siliwangi (AMS) akan
diposisikan sebagai wakil sekjen. Namun hal itu urung terlaksana,
karena Kang Tjetje sebagai senior AMS tidak setuju, dan lantang
bersuara, "AMS mah teu butuh jojodog!"

Selanjutnya, keterlibatan saya di PP tidak secara formal
organisatoris, melainkan lebih dikhususkan pada penanganan berbagai
persoalan yang dianggap krusial, di antaranya membereskan tanah di
Jalan Tamansari, yang sekarang dijadikan kampus Unpas. Selain itu,
juga dalam pengadaan sarana untuk lembaga-lembaga pendidikan. Barulah
setelah kongres 2000 di Garut, yang menempatkan Ateng Sopala sebagai
ketua umum, saya mendapat kepercayaan di lembaga Dewan Pangaping.
Waktu itu, kandidat ketua umum yang mendapat suara terbanyak
sebetulnya Didi Turmudzi, namun yang bersangkutan terlihat ragu untuk
maju, sehingga akhirnya kursi ketua umum diisi Ateng Sopala. Ternyata
Ateng Sopala hanya setahun saja menjadi ketua umum, karena meninggal
dunia, lalu digantikan Syafe'i. Terpilihnya Syafe'i lebih banyak
disebabkan oleh faktor umur, sebab yang bersangkutan merupakan salah
seorang ketua yang paling tua (kelahiran 1935).

Pada periode Syafe'i inilah PP dianggap sering bergeser dalam
berkiprah, sehingga tidak lagi murni sebagai organisasi yang bergerak
di bidang pendidikan dan budaya. Duet Syafe'i dan Didi (sebagai
sekjen), sebetulnya cukup rentan bagi munculnya bibit-bibit konflik
(disharmoni), karena dinilai tidak ada persamaan visi yang kuat.
Selain memunculkan statement-statement yang dianggap berbau politik,
pada periode Syafe'i berlangsung pula pemberian gelar kepada
orang-orang tertentu, yang kebetulan sedang memegang kekuasaan. Di
luar itu, jika ada orang Sunda yang kebetulan lagi manggung, maka akan
diklaim (diakui) sebagai warga PP; dimunculkan sedemikian rupa,
seolah-olah yang bersangkutan adalah kader yang dibina PP, padahal
orang-orang pun tahu bahwa kemunculan atau keberhasilannya itu karena
dirinya sendiri.

Padahal, kalau kita menoleh ke belakang, PP periode sebelum Syafe'i
tidak pernah melakukan hal-hal seperti itu. Sebut saja Umar
Wirahadikusumah dan Mochtar Kusumatmadja, dua putra Sunda yang
prestasinya di bidang masing-masing telah diakui.

Tokh pengurus PP pada zaman itu tidak pernah memberikan gelar, lalu
menganggap kedua tokoh tersebut sebagai bagian dari PP, terlebih-lebih
jika dianggap sebagai kader didikan PP. Memang betul ada juga orang
Sunda berprestasi yang terkait dengan PP, namun bukan sebagai kader
binaan, melainkan hanya sebatas pernah menjadi murid di sekolah
Pasundan (contohnya Thoyib Hadiwijaya yang semasa kecilnya menjadi
murid HIS Pasundan di Tasikmalaya). Karena pemberian gelar yang
dilakukan Syafe'i tidak diputuskan melalui mekanisme rapat, beberapa
pengurus lain ada yang mengkritisinya, namun tidak mampu berbuat
banyak; anjing menggonggong, kafilah lalu.

Selain itu, setelah gelar diberikan, PP tidak melakukan tindak lanjut;
misalnya orang yang bersangkutan dijadikan sebagai bagian dari PP,
lalu potensinya ikut diaktualisasikan untuk kepentingan organisasi.
Meski yang bersangkutan telah diberi gelar, namun jika orang tersebut
tidak punya lagi jabatan, maka PP tidak ada lagi keinginan untuk
berkomunikasi. Periode pertama Syafei berakhir Juli 2005 yang lalu,
ketika kongres di Cianjur digelar.

Dalam pandangan saya, ada hal yang memalukan ketika kongres tersebut
berlangsung, yang mencerminkan baru sejauh mana PP bisa berdemokrasi.
Hal yang saya maksud adalah upaya memanipulasi aspirasi yang
nyata-nyata muncul dari bawah. Waktu itu, Aan Burhanudin yang menjadi
pimpinan sidang memutuskan bahwa untuk menjaring nama-nama yang akan
muncul sebagai kandidat ketua umum akan ditetapkan oleh floor. Lalu
peserta kongres pun menuliskan nama pilihan mereka pada secarik
kertas, yang selanjutnya dimasukkan ke dalam kotak. Terjadilah
dagelan, karena tanpa membuka kotak suara terlebih dahulu, pimpinan
sidang langsung mengumumkan dan memutuskan bahwa Ketua Umum PP masih
tetap Syafe'i, karena pihak lain tidak ada yang bersedia maju. Siapa
saja yang tertulis di dalam kotak, saat itu seorang pun tidak ada yang
tahu.

Kongres berlangsung kisruh, para peserta ada yang melakukan walk-out,
lalu mereka akan langsung pulang ke daerah masing-masing, karena
kongres sudah dianggap melenceng dari aturan yang telah disepakati
bersama (yang saya ingat utusan dari Tasikmalaya dan Ciamis). Bisa
dipastikan, kongres pun akan bubar begitu saja. Dan kalau hal itu
sampai terjadi, maka kita pasti merasa malu, karena akan dinilai tidak
mampu berdemokrasi. PP yang merupakan organisasi besar, ternyata tidak
mampu melaksanakan kongres dengan benar, karena ulah beberapa oknum
pengurus yang melanggar keputusan bersama.

Saya berupaya mencegah agar hal tersebut jangan sampai terjadi, dengan
mengambil jalan tengah melalui penambahan anggota formatur. Dalam hal
ini, upaya menjaga citra lebih dikedepankan ketimbang rasa tidak puas
akibat manipulasi aspirasi yang dilakukan pimpinan sidang. Syafe'i
naik lagi sebagai Ketua Umum PP melalui proses seperti itu. Adapun
pemilihan yang dinilai demokratis hanyalah pada saat akan menentukan
ketua Dewan Pangaping, yaitu dengan terpilihnya Ginandjar Kartasasmita.

Pada bagian akhir tulisan ini, saya ingin menyampaikan beberapa
pemikiran, yang mudah-mudahan saja bisa menjadi semacam solusi. Sebab,
walau bagaimanapun yang menjadi dorongan terhadap saya dalam menyusun
tulisan ini bukanlah rasa kebencian, atau ingin memperkeruh suasana,
melainkan karena adanya rasa memiliki, sehingga ingin melakukan
perbaikan-perbaikan.

1. Hentikanlah pemberian gelar kepada orang-orang luar, apalagi jika
prosesnya tidak melalui mekanisme rapat pengurus. Kalaupun PP akan
memberikan penghargaan, sangatlah tepat kalau yang dipilih adalah
orang-orang dalam yang sudah banyak berjasa (misalnya para kepala
sekolah atau pimpinan perguruan tinggi).

2. PP harus sudah mulai melangkah untuk melakukan pembinaan kader, di
antaranya dalam bidang politik, sebagaimana yang telah dilakukan oleh
organisasi lain, misalnya Gema Jabar, AMS, atau Damas.

3. Harus dibangun hubungan baik dengan seluruh instansi/lembaga dengan
prinsip kesetaraan, yang kemudian ditindaklanjuti dengan
program-program untuk kepentingan masyarakat, misalnya mengentaskan
kemiskinan atau membantu mereka yang terkena musibah alam.

4. Menerbitkan media untuk menjalin komunikasi, misalnya saja dengan
menghidupkan kembali harian berbahasa Sunda Sipatahunan yang pada masa
lalu pernah berjaya.

5. Menyelenggarakan kegiatan (event) budaya yang murni produk PP,
sehingga bisa menjadi ciri khas (contohnya pasanggiri tembang Sunda
oleh Damas, atau pasanggiri penca oleh PPSI). Dalam bidang sastra, PP
pernah beberapa kali menyelenggarakan pasanggiri ngarang D.K.
Ardiwinata. Namun sayang hal itu sekarang sudah tidak berjalan lagi,
misalnya kalah oleh Hadiah Sastra Rancage yang terus kontinu setiap
tahun.***

Penulis Wakil Ketua Dewan Pangaping PP, Ketua Dewan Pembina Daya
Sunda, dan Ketua Dewan Pembina AMS. 






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital.
http://us.click.yahoo.com/cRr2eB/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke