Bersama Kita (Bisa) Terima Kritik

Di era 1980-an, ketika rezim Orde Baru sedang berada di puncak
kekuasaannya, humor dan anekdot menjadi semacam katup pelepas bagi
masyarakat untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah. Ketika kata
pembangunan menjadi jargon utama, dan setiap kritik dianggap sebagai
tindakan antipembangunan, bahasa plastis pun jadi ruang tempat berpijak.

Rasanya baru saja kemarin masa-masa pembungkaman itu berlalu. Belum
terlalu lama, memang, ketika para mahasiswa berbincang ringan tentang
buku yang juga tak kalah ringan (isi)-nya: Mati Ketawa Cara Rusia
(Pustaka Grafitipers, 1987).

Meski isinya tak ada kaitan secara langsung dengan perkuliahan
sehari-hari, di dalamnya ada banyak hal yang terasa pas dengan
keseharian hidup di negeri ini. Tak heran bila anekdot-anekdot dalam
Mati Ketawa Cara Rusia sempat begitu populer di kalangan mereka. Juga
di masyarakat luas. Harian ini bahkan mencatat buku tersebut termasuk
satu di antara buku terlaris selama tahun 1987 (Kompas, 9 Januari 1988).

Taruhlah tentang sosok sang pemimpin. Dalam salah satu bagian buku
yang diberi catatan pengantar oleh Abdurrahman Wahid tokoh
prodemokrasi yang belakangan terpilih menjadi Presiden RI ke-4 itu
digambarkan betapa kebijakan dan tindakan yang diambil oleh sang
pemimpin bagaikan Tuhan.

Bahwa pemimpin itu selalu benar. Tak pernah salah. Kalau salah?
Kembali ke pernyataan awal: pemimpin (harus) selalu benar! Lalu siapa
yang salah? Rakyat! Pemimpin tak pernah berbuat salah.

Dalam bentuk yang lain, sekarang pun kita dihadapkan pada kenyataan
bahwa para pemimpin kita mulai menunjukkan gejala tak ingin ada
kritik. Meski belum sampai pada tahap pembungkaman secara terbuka,
seperti di era Orde Baru, sikap defensif para birokrat dalam
menanggapi sejumlah kritik mengindikasikan adanya sikap merasa benar
sendiri.

Bahkan ada kalanya sebuah kritik langsung direspons secara reaktif,
emosional, tanpa diawali pengendapan untuk menangkap makna esensial
dari kritik tersebut. Memang menyedihkan, tetapi itulah sebagian
peristiwa kehidupan berbangsa yang kita hadapi dalam bulan-bulan
terakhir tahun 2005.

Terbawa arus?

Di bidang pendidikan pun setali tiga uang. Masukan dari masyarakat
pendidikan yang mengarah pada ungkapan bernada kritis langsung
mendapat tanggapan balik. Kadang-kadang tanggapan lebih bersifat
personal sehingga pokok soalnya kerap bergeser atau sekadar mencari
pembenaran dengan menunjuk kasus lain.

Penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) adalah contoh kecil.
Ketika kritik terhadap kenyataan bahwa kehadiran BOS tak mengurangi
beban orangtua murid di perkotaan dalam pembiayaan pendidikan dasar,
Mendiknas menjawabnya dengan mengunjungi sekolah-sekolah yang tak lagi
memungut biaya pendidikan.

Berdasarkan fakta dari satu dua sekolah yang dikunjungi, lalu muncul
pernyataan: BOS yang disalurkan pemerintah terbukti ampuh membebaskan
orangtua dari berbagai beban pungutan. Tak cuma itu, liputan yang
secara nyata menampilkan para orangtua murid miskin yang masih
dipungut berbagai jenis biaya pendidikan dijawab dengan iklan berbagai
keberhasilan Bambang Sudibyo selama setahun menjadi Mendiknas.

Sikap defensif terhadap kritik juga menular ke pejabat yang lebih
rendah. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Suyanto pun tak
mau ketinggalan. Ketika menanggapi kekhawatiran naiknya angka putus
sekolah akibat beratnya beban masyarakat pascakenaikan harga BBM per 1
Oktober 2005, sementara sekolah-sekolah penerima dana BOS masih banyak
yang memungut biaya, Suyanto menegaskan bahwa itu hanya terjadi di
perkotaan. Di pedesaan sebaliknya, dana BOS sangat membantu masyarakat.

Pernyataan ini jelas menambah masalah baru; mendikotomikan kebijakan
pendidikan di desa dan di kota! Jawaban-jawaban yang telontar bukan
dalam kerangka bersama-sama mencari solusi atas kritik masyarakat,
tetapi lebih terkesan sebagai bentuk pembelaan diri.

Bahkan, Teguh Juwarno sebagai juru bicara Mendiknas, pun ikut bersikap
defensif. Dalam satu acara parodi di sebuah stasiun televisi swasta,
misalnya, Teguh malah sangat defensif. Bahkan, ia sempat membuat
pembelaan yang malah konyol. Bahwa tahun 2007, tunjangan profesi guru
negeri dan swasta akan sama: 200 persen! Padahal, ketentuan ini sudah
hilang dalam UU Guru dan Dosen.

Saya grogi, serasa masuk killing ground, begitu ia berdalih.

Soalnya bukan grogi atau tidak. Kata kuncinya adalah bagaimana
menempatkan kritik sebagai sahabat dan bukan musuh yang mengancam.
Mudah-mudahan, di tahun 2006, kritik tak lagi dianggap musuh, tapi
teman seiring untuk membangun bangsa. (nar/ken)





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital.
http://us.click.yahoo.com/f4eSOB/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke