Adam Smith dan Reformasi Sosial 
 
Sugeng Bahagijo  
Pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 16 Agustus lalu sedikitnya 
menyinggung tiga perkara: reformasi politik, reformasi ekonomi, dan reformasi 
sosial. Perdamaian di bumi Aceh menjadi capaian reformasi politik, sedangkan 
upaya perbaikan iklim investasi mewakili capaian-capaian di lini reformasi 
ekonomi. 
Bagaimana dengan reformasi sosial? Kemiskinan, pengangguran, kesehatan, dan 
pendidikan serta bencana alam menjadi kata kuncinya. Pembangunan puskesmas, 
penurunan harga obat generik, serta kenaikan tunjangan guru dan dosen menjadi 
solusi yang akan dilaksanakan. 
Sayangnya, meskipun menyebut satu dua solusi pengurangan kemiskinan dan 
pengangguran, pidato presiden kurang merinci apa saja keruwetan dan rintangan 
dalam reformasi sosial. Selain faktor pertumbuhan ekonomi dan investasi, pidato 
tidak mengurai dilema-dilema bagi reformasi sosial. 
Apakah keruwetan pada penganggaran/ pendanaan, regulasi, ataukah kinerja 
institusi/birokrasi ? Akibatnya, pidato presiden dianggap kurang inspiratif. 
Bahkan cenderung truisme dan tidak memiliki fokus, kata ilmuwan sosial Herry B 
Priyono (Kompas, 18/8/2006). 
Reformasi sosial  
Reformasi sosial tidak lain adalah langkah dan kebijakan negara dalam mengatasi 
kemiskinan dan pengangguran serta marginalisasi sosial. Negara, ujar James 
O’Connor (1973), memiliki dua peran ganda, akumulasi dan legitimasi: negara 
aktif menciptakan "kue ekonomi" dan sekaligus aktif meneteskan atau membagi 
"kue ekonomi" itu. Ini kiranya senada dengan kata kunci pidato 17 Agustus itu: 
" "pertumbuhan dan pemerataan". 
Jangan lupa, bapak pasar bebas Adam Smith (1776) pun pernah menulis, salah satu 
tugas negara adalah "menegakkan dan menjaga lembaga-lembaga publik sehingga 
walaupun lembaga-lembaga itu sedemikian menguntungkan bagi masyarakat, 
manfaatnya tak akan pernah dapat mengimbangi pengorbanan individu-individu atau 
sekelompok kecil individu" (Barr, The Economic of Welfare State, Stanford 
University Press, 1998). 
Karena itu, di berbagai negara maju hadir aneka kebijakan dan institusi dalam 
bidang upah, pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial. Ahli ekonomi Nicholas 
Barr dari London School of Economics menulis, dalam ekonomi pasar, kebijakan 
pemerintah vital dan tak tergantikan. Karena informasi yang tidak lengkap, 
pasar bisa gagal (Stiglitz, Akerloff). Maka, regulasi, pendanaan, dan produksi 
barang dan jasa menjadi metode bagi pemerintah. Tujuannya ganda tetapi saling 
mendukung: keadilan sosial dan efisiensi ekonomi. 
Urgensi reformasi sosial ini bukan barang baru. Di Inggris, sejak Poor Law dan 
Beveridge Report 1942, urusan kemiskinan, pengangguran, kesehatan, dan usia tua 
menjadi urusan negara (kebijakan publik). Di Inggris, National Health System 
(NHS) menjadi sistem institusi kesehatan yang universal, bermutu, dan andal. 
Sejak UNDP mencanangkan konsep human development, ukuran kemajuan bangsa diukur 
pula dengan capaian-capaian HDI (Human Development Index). Bukan sekadar 
angka-angka PDB. 
Kita tahu di Uni Eropa, anggota-anggota Uni Eropa diikat oleh social charter 
yang menetapkan pedoman upah layak, pendidikan, kesehatan, serta jaminan sosial 
dan sebagainya. Intinya, pertumbuhan ekonomi serentak disertai belanja sosial 
dan institusi-institusi sosial yang menunjangnya. 
Koherensi ekonomi dan sosial  
Untuk meraih reformasi sosial, salah satu keruwetan klasik di negara berkembang 
adalah absennya koherensi antara lini ekonomi dan keuangan di satu pihak dengan 
tujuan-tujuan reformasi sosial, di pihak lain. Diskoneksi terjadi pada 
rancangan ekonomi keuangan yang konservatif dan kontraktif, dengan 
target-target pembaruan sosial. 
Satu indikator adalah Menko Perekonomian kuat dalam makroekonomi dan keuangan, 
tetapi lemah dalam analisis HDI, institusi sosial, dan reformasi sosial. Di 
kantor Presiden dan Wapres tidak ada semacam unit strategi kebijakan yang 
membantu memastikan koherensi dan koneksi antara berbagai sektor dan lintas 
sektor. Keterputusan mata rantai sering berlangsung antara rencana di atas 
kertas dan pelaksanaan di lapangan (problem delivery system). 
Indikator lain adalah alokasi dan belanja APBN. Simaklah data APBN 2007 
berikut. Besar "amplop" pemerintah dirancang sebesar Rp 713 triliun lebih (20,2 
persen PDB). Itu lebih besar dari tahun 2006 (Rp 651,9 triliun), tetapi secara 
rasio PDB lebih kecil (tahun 2006, 20,9 persen). Defisit dipatok lebih kecil, 
0,9 persen. Padahal, UU Keuangan Nomor 17 Tahun 2003 membolehkan defisit hingga 
3 persen PDB. 
Untuk memacu investasi pemerintah, belanja modal menjadi andalan. Namun, 
belanja modal yang cuma 1,9 persen PDB menurun daripada tahun 2006 (2,1). 
Padahal, kita perlu tumbuhnya sektor riil dalam negeri. Wajarlah jika analis 
keuangan menilai, APBN 2007 sulit untuk menjadi stimulus ekonomi yang memadai 
(Paulus Nurwadono, Kompas, 19/8/2006). 
Reformasi sosial memang tidak lepas dari minimnya fiskal (beban utang dan 
besaran dana) dan kinerja birokrasi dalam pelayanan publik. Karena itu, 
koherensi antara makroekonomi dan reformasi sosial penting. Di Indonesia, 
barangkali ini adalah tugas Menko Perekonomian dan Menko Kesra. 
Akan tetapi, reformasi sosial dapat juga dilakukan di tengah minimnya dana. 
Sebab, di tangan pemerintah ada dua sumber daya/instrumen selain anggaran: 
regulasi dan institusi. Contohnya adalah kelahiran UU Kewarganegaraan yang 
baru. UU ini boleh menjadi catatan positif dari reformasi sosial. Meskipun di 
sana-sini ada keterbatasan, semangat dan isinya lebih universal dan inklusif. 
"Median voters"  
Peran presiden tidak lain adalah memastikan adanya koherensi konseptual dan 
koordinasi kelembagaan, antara lain dengan menetapkan ragam sarana atau 
gabungan sarana (budget, regulasi, institusi) itu untuk memecahkan aneka 
masalah. Lebih dari menteri yang sektoral dan satu-dimensi, Presiden de facto 
dan de jure menilai masalah secara lintas-bidang (cross-cutting) dan 
multidimensi sehingga reformasi sosial berjalan seiring dengan reformasi 
politik dan ekonomi. 
Dari sisi politik, pemerintah dan presiden biasanya concern dengan para 
pemilih. Di berbagai negara maju ada istilah median voters yang mencerminkan 
tren kebutuhan atau aspirasi sosial rata-rata pemilih dalam pemilu. Median 
voters biasanya lalu menjadi rujukan pemerintah demokratis yang lahir dari 
pemilu. Seandainya berbagai jajak pendapat Kompas dan LSI mewakili median 
voters itu, pemerintah penting merujuknya. 
Jika median voters dirujuk, maka soal pelayanan umum mungkin satu agenda 
mendesak. Contohnya adalah RUU Pelayanan Publik, yang sedang disiapkan oleh 
Menneg PAN. RUU ini dapat menjadi mata tombak reformasi birokrasi sekaligus 
strategi afirmatif mendekatkan negara dengan warga dan merealisasi pelayanan 
umum yang mudah dan terjangkau. Di era otonomi daerah, UU ini dapat menjadi 
"sungai besar" dari berbagai "pulau-pulau" inovasi pelayanan umum yang 
dikerjakan oleh banyak pemerintah daerah. Dengan penataan ulang dan kontrak 
kinerja, lembaga-lembaga seperti Jamsostek, Askes dan lainnya dapat diarahkan, 
ibarat tim sepak bola, untuk lebih banyak "mencetak gol ke gawang lawan": 
meningkatkan kinerjanya dan memperluas cakupan pelayanan. 
Pidato presiden telah mengurai benang kusut reformasi politik dan reformasi 
ekonomi, tetapi belum banyak membedah keruwetan reformasi sosial. Keruwetan 
reformasi sosial perlu lebih menjadi fokus. Sebab, bukankah legitimasi 
pemerintah dan masa depan kita semua sebagai bangsa terletak di sana? 
Sugeng Bahagijo Ko-Penulis Buku Mimpi Negara Kesejahteraan (LP3ES, 2006) 


[Non-text portions of this message have been removed]



http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/
http://barayasunda.servertalk.in/index.php?mforum=barayasunda


[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke