Selasa, 13 Feb 2007, Keluarga Para TKI yang Divonis Mati di Luar Negeri (2-Habis)
Tunggu Eksekusi, Zainab Jadi Juru Masak Penjara Para TKI yang divonis hukuman mati di luar negeri umumnya tulang punggung keluarga. Karena itu, saat mereka menunggu eksekusi di penjara, keluarga yang ditinggalkan di tanah air secara ekonomi juga ikut menderita. TAUFIQURRAHMAN, Bangkalan ZAINAB binti Duhri Rupa, 35, TKW yang kini terancam hukuman pancung di Arab Saudi, adalah profil tenaga kerja wanita (TKW) sejati. Sejak usianya masih belasan tahun, wanita asal Desa Mertajasah, Kecamatan Kota, Bangkalan, Madura, sudah merantau ke Malaysia. Di negeri jiran itulah, dia mengenal Usman, pria asal Bugis, yang juga bekerja di sana. Dari pernikahan mereka, lahir Sarifuddin, 15, dan Moh. Ali Rido, 11. Saat Jawa Pos berkunjung ke Desa Mertajasah, Minggu lalu, kedua anak Zainab itu sedang asyik menyantap nasi bungkus di depan rumah. Meski bertelanjang dada, mereka terlihat sangat menikmati nasi yang dibeli seharga Rp 2 ribu per bungkus itu. Sarifuddin dan Ali Rido hidup layaknya yatim piatu. Sebab, sang ayah, Usman, sejak menikahi ibunya (Zainab) di Malaysia, tidak pernah menjenguk sang anak di Madura. "Ibunya nggak ada. Bapaknya juga sudah tidak mau tahu kondisi anaknya. Saya harus bertanggung jawab merawatnya meski hidup saya juga seperti ini," kata Moh. Hasan, sang paman, kepada Radar Madura (Grup Jawa Pos). Menurut Hasan, Sarifuddin yang lahir pada 26 Mei 1992 di Malaysia dibawa pulang ke tanah kelahiran ibunya pada 1996. Saat pulang, Zainab mengandung tiga bulan anak keduanya, Ali Rido. Setiba di kampung, wanita itu menyambung hidup dengan berjualan nasi bungkus di Makam (Pesarean) Syaichona Cholil, dekat rumahnya. Karena hidup serba kekurangan, pada 1998 Zainab memutuskan mengadu nasib ke Arab Saudi. Dia berangkat melalui PT Panca Banyu Aji Sakti yang berkantor di Jalan Cilangkap Baru, Jakarta Timur. Oleh perusahaan di Arab Saudi, Zainab dipekerjakan kepada seorang majikan yang dinilainya sangat galak. "Saking galaknya, Zainab sampai menyebut seperti serigala," kata Hasan. Dalam surat terakhir yang ditulis pada 2 September 1999 kepada keluarga di Bangkalan, Zainab menyatakan sudah tak betah lagi. Dia bertekad pulang sebelum Idul Fitri pada 2000. Namun, rencana itu tak kesampaian. Ini setelah terjadi insiden yang membuat hidup Zainab berubah drastis. Dia dijebloskan ke penjara dengan tuduhan membunuh majikan perempuannya, Nuroh Binti Abdullah. Menurut Hasan, berbagai upaya sudah dilakukan untuk membebaskan Zainab dari hukuman kisas (mati). Mulai berkirim surat ke presiden, wakil presiden, hingga ke Komnas HAM. Namun, upaya tersebut tetap belum bisa meloloskan Zainab dari hukuman mati. "Waktu Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid, Red), kami banyak dibantu sehingga eksekusi mati bagi Zainab ditangguhkan. Termasuk pada era pemerintahan Megawati, setiap surat kami selalu dibalas," ungkap Hasan. Namun, pada pemerintahan SBY, dia harus mengelus dada. Surat yang dilayangkan tidak pernah ditanggapi. "Sudah dua kali kami mengirim surat. Tapi, sampai sekarang belum ada tanggapan dari pemerintah," katanya. Selain kepada SBY, keluarga mengirim surat ke Wakil Presiden Jusuf Kalla. Lagi-lagi surat itu tidak ditanggapi. "Terpaksa saya mendatangi Komnas HAM. Lalu surat dari saya diteruskan ke presiden, wakil presiden, DPR, Menlu, Menkum HAM, dan Menaker," papar pria yang bekerja serabutan itu. Baik Hasan maupun kedua putra Zainab tidak percaya terhadap tuduhan pembunuhan kepada Zainab. "Waktu saya bertemu Zainab di penjara Arab Saudi pada 24 Oktober 2001 lalu, dia bilang membela diri," jelasnya. Sambil menangis Zainab mengatakan tidak bermaksud membunuh majikan perempuannya. Alkisah, saat itu Zainab memasak air. Lalu, majikan perempuan memukul kepalanya dari belakang. Dia juga menjambak rambut dan mencekik lehernya. "Dengan sisa kekuatan yang dimiliki, Zainab mengambil pisau dan menusukkan ke perut majikannya. Jadi, dia (Zainab, Red) membela diri," katanya. Saat ini Zainab menunggu kepastian nasibnya. Dia menunggu apakah dari anak korban atau ahli waris memaafkan Zainab. Jika dimaafkan, Zainab bisa bebas dari hukuman kisas. Jika dia menolak, Zainab harus berhadapan dengan tim eksekusi mati. Hanya, untuk mendapat jawaban itu, Zainab mesti menunggu enam tahun lagi, sampai sang anak masuk akil balik sempurna (usia 15 tahun). "Staf Departemen Luar Negeri RI beberapa bulan lalu mengabarkan bahwa saat ini kondisi Zainab baik-baik saja. Sekarang dia dipercaya menjadi juru masak di penjara," kata Hasan. Seperti halnya Zainab, Adi bin Asnawi, TKI asal Lombok Barat, NTB, yang kini menjadi terpidana mati di Malaysia, juga belum genap 16 tahun saat merantau ke Negeri Jiran pada 1990-an. Adi yang anak tertua pasangan Asnawi dan Zakiyah bertekad ingin mengubah ekonomi keluarganya. "Saat berangkat dia tidak pakai dokumen resmi," kata Saeful Kahfi, adik Adi Bin Asnawi, kepada Lombok Post (Grup Jawa Pos). Pada tahun-tahun pertama memeras keringat di negeri tetangga, Adi memang sering berganti majikan. Suatu hari, dalam "pelariannya" dari lokasi kebun kelapa sawit yang satu ke lokasi lainnya, Adi bertemu Acin, pemilik kebun yang belakangan menjadi majikannya. Karena merasa cocok dengan lingkungan tempat kerja dengan majikan yang baik hati, Adi bertekad untuk tetap bekerja di kebun kelapa sawit milik Acin. Setelah sekian tahun bekerja, dia sempat dideportasi pemerintah Malaysia. "Tapi, Kakak kemudian masuk ke Malaysia lagi setelah mengurus dokumen lengkap di Batam," kata Saeful. Pada akhir tahun 2000, mendapat cuti 45 hari dari majikannya. Peluang ini dipergunakan Adi untuk pulang ke kampung halamannya. "Saat pulang, dia tidak membawa uang banyak. Sisa gajinya (5.000 ringgit) akan dikirim majikan setelah Adi berada di Lombok," tutur Zakiyah, ibunda Adi. Namun, sisa gaji itu tidak kunjung dikirimkan. "Adi sering menelepon majikannya untuk menanyakan sisa gajinya," tambah ibu Adi. Karena sisa gajinya tidak datang juga, Adi tampak terpukul. Ia seperti orang linglung. Ia sempat sebulan dirawat RS Jiwa Mataram. Tak lama setelah dinyatakan sembuh, Adi memutuskan kembali ke Malaysia. Sekitar sebulan di tempat majikannya (Acin), Adi sempat menelepon orang tuanya. "Dia mengaku belum menerima sisa gajinya dari majikan. Bahkan, untuk makan saja dia (Adi) harus utang," kata Zakiyah. Telepon pada hari itu ternyata menjadi komunikasi terakhir. Sebab, setelah itu keluarga menerima surat dari penjara di Malaysia bahwa Adi menjadi terpidana mati. Ia tidak tahu persis apa yang dilakukan anaknya sehingga Adi sampai divonis mati. "Saya berharap anak saya tidak dijatuhi hukuman seberat itu. Karena dia anak yang baik dan menjadi tulang punggung keluarga," pinta Zakiyah. Rencananya, Zakiyah akan berangkat ke Malaysia untuk menjadi saksi meringankan hukuman Adi di Mahkamah Kerajaan Malaysia. (*)