Perlambatan di Depan Mata Senin, 14 April 2008 | 00:32 WIB M Ikhsan Modjo
Prediksi suram perekonomian dunia pada 2008 terus berlanjut. Setelah Bank Dunia merevisi angka pertumbuhan berbagai negara, hari berikutnya giliran Bank Pembangunan Asia atau ADB mengemukakan hal serupa. Kedua lembaga ini berpendapat akan terjadi penurunan serempak tingkat pertumbuhan di hampir semua negara, yang akan mengakibatkan perlambatan pertumbuhan global. Penyebab perlambatan ini tidak lain adalah kenaikan harga minyak dan krisis subprime mortage yang masih terus memakan korban. Indonesia Perekonomian Indonesia sendiri diprediksi akan mengalami perlambatan pertumbuhan dari 6,3 persen (2007) menjadi 6,0 persen (2008). Lebih rendahnya tingkat pertumbuhan nasional, menurut Bank Dunia dan ADB, disebabkan oleh akan terpasungnya pertumbuhan dari sisi eksternal berupa ekspor dan investasi asing. Ekspor akan melemah akibat turunnya permintaan global, begitu juga investasi asing diperkirakan mengendur akibat kemungkinan adanya realokasi dan diversifikasi aset untuk mencari safe heaven modal. Sejauh ini, respons pengambil kebijakan nasional masih menyangkal dan mengingkari kemungkinan perlambatan. Menteri Keuangan dalam pernyataannya (Kompas, 2/4/2008) bahkan masih optimistis dan menunjuk sektor riil, dalam hal ini industri manufaktur, sebagai sektor penyokong yang paling diharapkan menopang laju pertumbuhan sebagaimana diharapkan, sebesar 6,4 persen. Pernyataan itu bukan hanya tidak berdasar fakta, melainkan juga ahistoris. Dari rekam jejak yang ada tiga tahun terakhir, industri manufaktur tumbuh terseok-seok rata-rata di bawah 5,0 persen per tahun, jauh di bawah target 8,56 persen. Lambatnya pertumbuhan menyebabkan sektor ini kian tertinggal ketimbang sektor lain dalam hal kontribusi pada pendapatan nasional. Bahkan, fenomena deindustrialisasi sudah merupakan kesepakatan antara mereka yang mengelola dari dalam dan mengamati dari luar perekonomian. Potensi batu sandungan Dari pengalaman serupa pada krisis perekonomian global akibat guncangan harga minyak 1982 dan 1985, perekonomian nasional tumbuh lebih rendah rata-rata 1,0 persen dan 3,0 persen. Perekonomian saat itu dapat tertolong dan lepas dari krisis berkat mobilisasi besar-besaran pendanaan domestik melalui liberasi perbankan dan pasar modal. Kini, semua sektor hampir telah terliberalisasi sehingga mengharapkan adanya mobilisasi dengan intensitas yang sama merupakan harapan kosong. Namun, peluang untuk kejatuhan tingkat pertumbuhan hingga di bawah 4,0 persen agaknya juga cukup jauh. Struktur anggaran yang ada kini tidak lagi mengandalkan pendapatan dari minyak. Selain itu, sisi eksternal pendapatan nasional juga akan sedikit tertolongmeski tidak sepenuhnyadengan kenaikan harga beberapa komoditas pertanian dan pertambangan. Skenario paling pas bagi perekonomian nasional dengan kondisi mutakhir adalah tingkat pertumbuhan yang berkisar 5,0 persen, dengan batas atas sebesar 6,0 persen. Angka ini kira-kira sama dengan tingkat pertumbuhan tahun 2003-2005, di mana investasi dan ekspor masih tertekan, serta pertumbuhan hanya mengandalkan tingkat konsumsi dan investasi domestik. Tentu, ada beberapa hal yang berpotensi menjadi batu sandungan. Salah satunya adalah beban berat subsidi pada anggaran negara yang harus segera dicarikan jalan keluar. Tanpa solusi yang pas dan tegas, tekanan defisit berpotensi meningkat hingga di atas 2,0 persen dari PDB. Peningkatan pengeluaran ini akan mendesak pengeluaran domestik lain sehingga melemahkan sumber pertumbuhan yang tersisa. Inflasi Selain subsidi, hal lain yang perlu segera disikapi adalah masalah inflasi. Tingkat inflasi tahun berjalan sudah mencapai separuh lebih (3,41 persen) dari target yang ditetapkan (6,5 persen). Dengan sisa waktu delapan bulan, target ini sulit dicapai. Bahkan, dari tren yang ada, inflasi berpeluang mencapai 7-8 persen, atau lebih sampai akhir tahun. Untuk itu, langkah-langkah nyata penanganan inflasi perlu segera diambil. Sebab, bila inflasi tidak terkendali, semua sendi stabilitas makro yang sudah terbangun akan terganggu. Hal ini pada gilirannya akan menambah tekanan terhadap perekonomian. Di mana akan muncul ketidakpastian dan realokasi pengeluaran inter-temporal, baik investasi maupun konsumsi, yang semuanya berujung pada tertekannya pertumbuhan. Guna menghadapi situasi ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah kejujuran dalam menghadapi masalah. Tindakan penafikan bahwa krisis global akan segera berakhir adalah satu tindakan yang bisa menjadi bumerang. Pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman penanganan krisis moneter 1997-98. Di mana tindakan penafikan justru memperlambat respons dan penyesuaian yang dibutuhkan sehingga akhirnya menambah dalam dampak dan lama waktu yang dibutuhkan untuk keluar. Jangan menjual mimpi Selain itu, halusinasi bahwa Indonesia tidak akan terseret krisis yang ada harus segera dihentikan. Sepanjang riwayat republik ini, tidak pernah ada satu krisis ekonomi global pun yang tidak berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Sebaliknya, tindakan realistis yang dilandasi kejujuran bisa berdampak positif. Kejujuran akan mendatangkan kepercayaan, yang akhirnya mempermudah stimulasi sumber-sumber domestik yang kini amat diperlukan untuk mencegah terulangnya krisis. Sikap jujur ini bisa dimulai dengan penataan asumsi dan struktur anggaran yang lebih realistis. Asumsi yang ada jangan sekadar untuk menjual mimpi, kemudian dibongkar total di tengah jalan. Penataan yang tidak jujur dan sekadar dilandasi pertimbangan politik akan semakin menjatuhkan kredibilitas pemerintah, yang akan berimplikasi luas tidak hanya pada bidang ekonomi, tetapi juga politik. Hendaknya tidak dilupakan bahwa tidak ada pemimpin, bahkan sekuat Mantan Presiden Soeharto, yang bisa bertahan dengan menjual mimpi pada saat gejolak sudah di depan mata. M Ikhsan Modjo Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef)