*INDONESIA* sesungguhnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah
baik sumber energi berupa minyak dan gas maupun sumber-sumber pangan, namun
anehnya kita sekarang justru tidak bisa menikmati secara penuh keuntungan
dari kenaikan harga minyak dunia dan harga berbagai komoditas pangan yang
saat ini sedang meroket. Pada tahun 1970-an, kita bisa menikmati kenaikan
harga minyak karena Indonesia waktu itu sepenuhnya masih sebagai
negara-negara pengekspor minyak.

Sekarang, Indonesia sudah menjadi net importir minyak sehingga kenaikan
harga minyak dunia dirasakan dampaknya pada anggaran negara. Ibaratnya, kita
bagaikan tikus yang nyaris mati di lumbung padi. Pemerintah dan DPR telah
menyepakati anggaran subsidi bahan bakar minyak dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Perubahan 2008 sebesar Rp 126 triliun.

Sedangkan konsumsi BBM bersubsidi yang disetujui dalam APBN-P 2008 sebanyak
39 juta kilo liter sementara produksi minyak (*lifting*) ditetapkan sebesar
927.000 barrel per hari dan patokan harga minyak sebesar 95 dolllar AS per
barrel. Sekarang kita bisa mengamati secara bersama kenaikan harga minyak di
pasar spot sudah mencapai 120 dollar AS per barrel bahkan diperkirakan
hingga akhir tahun ini bisa saja mencapai 140 dollar AS per barrel.

Memang, patokan harga minyak dalam APBN tidak didasarkan pada harga minyak
di pasar spot tetapi berpedoman pada harga rata-rata minyak Indonesia
atau *Indonesia
Crude Price* (ICP) baik harga bulanan, tiga bulan maupun harga ICP tahunan.
Dengan kata lain, harga minyak di ICP juga mengacu pada harga minyak dunia
di pasar spot. Berdasarkan perhitungan sementara, saat ini harga ICP tiga
bulan pertama tahun 2008 su dah mendekati 100 dollar AS per barrel.

Angka ICP tersebut merupakan batas terakhir dari kemampuan anggaran
pemerintah tahun ini. Artinya, jika ICP diatas 100 dollar AS per barrel,
harga BBM bersubsidi di dalam negeri dimungkinkan untuk dinaikkan oleh
pemerintah kalau program penghematan tidak berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Kalau Indonesia saat ini sedang *deg-degan* dengan kenaikan
harga minyak dunia, negara-negara di Timur Tengah justru sekarang sedang
bingung dengan uang yang melimpah dari keuntungan minyak dunia.

*Kelebihan dana *

Dalam Forum Ekonomi Islam Dunia (*World Islamic Economic Forum* -WIEF)
keempat di Kuwait, tanggal 29 April-1 Mei 2008, berbagai negara berkumpul
termasuk Indonesia yang mengirim delegasi sebanyak 70 orang. Delegasi
Indonesia dipimpin Irman Gusman, yang juga Wakil Ketua Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhalangan hadir.

Forum itu dimanfaatkan oleh berbagai negara Islam untuk menjalin kerja sama
di bidang ekonomi. Indonesia sudah pasti memiliki kepentingan untuk menarik
para investor dari Timur Tengah termasuk dari Kuwait yang saat ini sedang
kelebihan dana. Sebagai salah satu negara petro dollar, pendapatan perkapita
Kuwait pada tahun 2007 sebesar 34.500 dollar AS dengan jumlah penduduk
sekitar 2,5 juta jiwa. Sementara Indonesia yang berpenduduk sekitar 210 juta
jiwa, pendapatan per kapitanya hanya 2.000 dollar AS.

Ekspor minyak dari Kuwait pada tahun 2006 sebesar 40,3 miliar dollar AS atau
naik dibandingkan tahun 2005 yang sebesar 36,9 miliar dollar AS. Dalam upaya
memenuhi tuntutan untuk mengelola perekonomian, setelah diporak-porandakan
oleh Irak pada awal tahun 1991, saat ini pemerintah Kuwait sedang
mengembangkan berbagai proyek industri senilai 40 miliar dollar AS.
Pengembangan proyek tersebut akan dilakukan dalam jangka waktu 15 tahun.

Beberapa mega proyek yang akan dibangun di Kuwait antara lain jalan layang
diatas laut sepanjang 25 kilometer (Kuwait City ke Subbiya), Bubiyan
International Port (pelabuhan kontainer senilai 1,2 miliar dollar AS), dan
jalan network regional sepanjang 250 km. Rencana pengembangan berbagai mega
proyek itu, sebagian besar dilakukan melalui dana yang sudah dimiliki oleh
negara Kuwait sendiri.

Berbeda dengan di Indonesia, berbagai rencana kegiatan di sektor riil
termasuk pembangunan proyek-proyek infrastruktur lebih banyak mengandalkan
pada dana-dana dari investor. Saat ini pemerintah tidak lagi berperan lagi
sebagai penggerak utama perekonomian nasional seperti di zaman rezim Orde
Baru.

Peran swasta dan masyarakat luas sangat diandalkan untuk bisa meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional. Sekarang sebenarnya kita tidak bisa lagi
terbius pada ungkapan hampa yang menyebutkan Indonesia negara kaya raya,
tapi ternyata tidak bisa berbuat apa-apa dengan kekayaan yang dipunyai
Indonesia. Namun, tidak berarti kita harus pesimis dengan masa depan bangsa
Indonesia.

taken from kompas.co.id today


-- 
Aldo Desatura (R) & (c)
62.0817.19.40.50
========
Sibukkan diri kita dengan Dzikrullah dan sempatkan diri kita menghadiri
majelis-majelis dakwah


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke