'Bojoloro' Beberapa hari yang lalu saya dan beberapa teman secara tak sengaja memasuki sebuah warung makan yang bernama ''Bojoloro''. Dari namanya tentu si pemilik warung adalah seorang yang sangat pro atau bahkan mungkin sangat menyarankan poligami.
Sembari makan kami hanya bisa saling tertawa. Maksud kami bertemu adalah hendak membicarakan masalah rencana kenaikan harga BBM yang sedang menjadi bahan polemik. *Lha kok malah ketemunya* di warung makan yang bernuansa poligami. Pembicaraan mengenai BBM dibuka dengan terlebih dahulu membahas poligami. Kebetulan di antara kami ada yang pernah hampir saja ber-'bojo loro'. Ceritanya begini. Setahun yang lalu teman ini pernah kepincut seorang gadis ayu yang ternyata adalah bekas pacar lamanya sewaktu kuliah. Kemudian, dia mengajukan proposal kepada istrinya untuk diizinkan menikah lagi. Kontan istrinya menangis selama seminggu dan mengadu pada sanak saudara. Dalam rapat keluarga, sang mertua juga mengingatkan bahwa ketika meminang anaknya, teman saya tersebut pernah berjanji tidak akan pernah beristri dua atau lebih. Merasa diingatkan dengan janji tersebut, teman saya akhirnya mengurungkan niatnya. Mirip dengan janji gombal ini, kita semua tentu masih ingat bahwa beberapa waktu yang lalu Presiden SBY pernah berjanji kepada rakyat bahwa tidak akan ada kenaikan harga BBM walau harga minyak dunia menembus angka 100 dolar AS per barel. Yang jadi masalah adalah apakah Presiden akan bersikap ksatria seperti teman saya itu. Kelihatannya sih, janji itu sulit dipegang. Perlu diingat bahwa rakyat lapisan terbawah saat ini jauh lebih terpukul dibanding dengan sewaktu pemerintah menaikkan harga BBM pada 2005. Sekarang, masyarakat sudah terpukul lebih dahulu oleh kenaikan harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya. Walau ada raskin, operasi pasar minyak goreng murah, dan kedelai bersubsidi; kondisi perekonomian masyarakat tetap terpuruk. Kenaikan harga pangan turut memicu kenaikan harga-harga kelompok barang lainnya. Dalam teori ekonomi, kenaikan harga secara berantai bisa diakibatkan oleh hukum harga relatif seperti yang diangkat oleh pemenang Nobel Robert Lucas. Manakala harga sebuah komoditi naik, maka produsen komoditi lain akan melakukan hal yang sama untuk mempertahankan pendapatan relatifnya. Karena itu, ketika harga pangan meningkat maka harga barang-barang lainnya ikut naik. Apalagi, nanti setelah kenaikan harga BBM, pasti kenaikan harga akan terjadi secara lebih serempak. Dengan demikian, kalaupun kelak harga BBM dinaikkan maka pemerintah harus memperhitungkan secara cermat dampak sosial ekonominya. Sampai saat ini, pemerintah masih menyatakan skema kompensasi yang akan diterapkan akan mirip dengan yang dilakukan tiga tahun yang lalu. Selain itu, Sri Mulyani menegaskan bahwa data *base* orang miskin yang menjadi dasar penyaluran kompensasi adalah masih tetap sama, yaitu hasil pendataan orang miskin yang dilakukan oleh BPS tahun 2005. Ini sungguh berbahaya. Mengasumsikan secara di atas kertas bahwa kondisi sekarang sama dengan tiga tahun yang lalu adalah kesalahan yang sangat fatal. Hasil survei Danareksa Institut menunjukkan indeks kepercayaan konsumen telah jatuh sampai ke tingkat hampir sama dengan pascakenaikan harga BBM pada 2005. Selain itu, tingkat kepercayaan kepada pemerintah juga telah jatuh pada titik terendah selama enam tahun terakhir. Implikasinya apa? *Pertama*, kemungkinan besar kenaikan harga BBM tahun ini akan menyebabkan kepercayaan konsumen menjadi lebih jatuh lagi. Biasanya hal ini diikuti dengan melemahnya konsumsi. Rumah tangga akan melakukan pengencangan ikat pinggang dan semakin hati-hati menggunakan uangnya. Ini berita buruk bagi para pengusaha yang juga akan menghadapi tuntutan kenaikan upah dari serikat buruh. Selain itu, dunia usaha juga akan diempas kenaikan suku bunga yang dilakukan BI. Secara keseluruhan dampaknya terhadap perekonomian menjadi amat berat. *Kedua*, tingkat keyakinan masyarakat terhadap pemerintah akan semakin * jeblok* yang pada gilirannya menambah tingkat pesimisme masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam mengendalikan perekonomian. Hal ini juga ditunjukkan oleh riset dari beberapa lembaga survei. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kemungkinan reaksi masyarakat akan mengalami *overshooting * atau berlebihan. Konsekuensinya, dampak sosial ekonomi tidak bisa diperhitungkan secara pasti lagi. *Ketiga*, adalah tidak bertanggung jawab sama sekali kalau mengasumsikan jumlah orang miskin sekarang sama dengan 2005. Banyak dari mereka yang sudah meninggal, berpindah tempat, atau bahkan ada pula orang miskin baru. Dalam data *base* 2005, ada sekitar 20 persen orang miskin yang tidak terekam. Kalau data *base* itu tidak diperbaharui, akan terjadi kesalahan penyaluran kompensasi. Hal seperti ini akan mengakibatkan kekisruhan dalam eksekusinya yang kemudian dapat memicu beragam tragedi dan konflik. *Terakhir*, pemerintah pernah menyebutkan kalau harga BBM dinaikkan 30 persen maka akan dihemat subsidi sebesar Rp 25 triliun. Dengan kompensasi yang direncanakan memakan biaya Rp 11 triliun, maka penghematan bersihnya hanya Rp 14 triliun. Harap diingat kalau pemerintah bisa menghemat *cost recovery* dalam kontrak *production sharing* dan sekaligus memberangus perburuan rente dalam pengadaan BBM, maka penghematan bisa mencapai Rp 20 triliun. Intinya, kenaikan harga BBM masih bisa dihindari kalau pemerintah mau menempuh jalan lain. Persoalannya bukan bisa atau tidak, tetapi mau atau tidak. Sebagai penutup, mungkin ada baiknya pemerintah berpikir ulang. Cobalah langkah lain dulu. Teman saya tadi sempat menjadi figur yang sangat tidak disukai di tengah keluarga besarnya. Itulah yang membuat dia kemudian memenuhi janjinya dan mengurungkan niatnya ber-'bojo loro'. (Iman Sugema (InterCAFE, IPB) ) -- Aldo Desatura (R) & (c) 62.0817.19.40.50 ======== " kau membuatku mengerti hidup ini kita terlahir bagai selembar kertas putih tinggal ku lukis dengan tinta pesan damai" [Non-text portions of this message have been removed]