*Jadi Kaya karena Orang Miskin* Sabtu, 31 Mei 2008 | 00:44 WIB *Kartono Mohamad*
Pemilik pabrik rokok masuk dalam lima besar orang terkaya di Indonesia. Mereka menjadi kaya karena menjual rokok, yaitu memanfaatkan sifat adiktif nikotin untuk menarik keuntungan meskipun mereka tentu tahu dampak buruk rokok terhadap kesehatan pengisapnya. Ironisnya, sebagian besar perokok terdapat di kalangan rakyat yang berpenghasilan rendah. Dalam buku Profil Tembakau Indonesia yang diterbitkan oleh Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), tahun 2008, jumlah perokok dari kalangan berpengasilan rendah adalah 35,5 persen, sementara dari kelompok penghasilan tinggi sebesar 32,8 persen. Artinya, sebagian besar penghasilan (kekayaan) pemilik pabrik rokok berasal dari rakyat yang berpenghasilan rendah. Bagi orang miskin dan berpendidikan rendah, merokok mungkin satu-satunya jalan pelepas lelah atau pengalih tekanan kesulitan yang paling terjangkau. Tanpa disadari bahwa dengan demikian ia telah terjerat kepada kecanduan nikotin yang sulit dilepaskan. Untuk memenuhi kecanduan itu, ia rela mengeluarkan uang yang cukup besar. Merelakan uang belanja untuk keluarga dan uang sekolah untuk anak-anaknya. Proporsi uang yang dikeluarkan orang miskin untuk rokok mencapai 11 persen dari penghasilannya, sementara orang berpenghasilan tinggi hanya 9 persen (Susenas 2004). Semakin miskin seorang perokok, semakin kecil uang yang disishkan untuk kesehatan, gizi, dan sekolah anak-anaknya. Risiko selanjutnya, kemiskinannya akan dilanjutkan oleh keturunannya. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan oleh keluarga miskin itu untuk mengobati penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh rokok. Penelitian Kosen Suwarna, tahun 2005, menemukan angka Rp 127,7 triliun biaya yang dibelanjakan masyarakat untuk mengobati penyakit-penyakit yang berkaitan dengan rokok dalam setahun, sebagian tentu berdampak pada penghasilan pemerintah karena produktivitas rakyat menurun. Sementara penghasilan pemerintah dari cukai tembakau hanya Rp 16,5 triliun. Namun, karena pengeluaran untuk mengobati penyakit akibat rokok itu berlangsung "diam-diam", angka sebesar itu tidak mudah tampak di depan mata. Lain halnya dengan pemasukan cukai yang segera tampak rupiahnya. Lebih menyedihkan lagi, sebagian dari kekayaan yang diperoleh dari pemanfaatan kecanduan rakyat ini mengalir ke Amerika Serikat dan dinikmati oleh orang-orang Amerika. Dalam koran Kontan (29/5) diberitakan, Phillip Morris meraup keuntungan sebesar Rp 1,6 triliun dari HM Sampoerna. Karena Philiip Morris menguasai saham 97,95 persen, tentulah ia akan memperoleh bagian (dividen) terbesar dan mengalir ke Amerika Serikat. *Siapa peduli?* Phillip Morris atau pemilik pabrik rokok yang lain tentu tidak peduli apakah rakyat Indonesia akan menjadi lebih miskin dan lebih sakit karena ketergantungan kepada rokok, yang penting ia dapat meraih keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan, kemudian, mereka menarik anak-anak dan remaja untuk ikut menjadi perokok. Dengan mengikat remaja pada ketagihan rokok, bukan saja semakin besar jumlah yang akan memberinya keuntungan, melainkan juga semakin panjang jangka waktu kecanduan itu. Dari sejak anak sampai dewasa, yang mungkin berarti selama 40-50 tahun akan terikat kepada rokok. Lalu, siapa yang harus peduli terhadap masalah itu. Pemerintah? Pemerintah RI adalah pemerintah yang paling tidak peduli terhadap dampak buruk rokok bagi rakyatnya. Dalam buku Enam Strategi Penanggulangan Dampak Buruk Tembakau (MPOWER) yang diterbitkan WHO untuk menyambut Hari Tanpa Tembakau 31 Mei 2008, dalam soal melindungi rakyat terhadap dampak tembakau, Indonesia menduduki tempat yang sejajar dengan Guinea Bissau, Malawi, dan Eritrea. Bahkan, dibandingkan dengan Timor Leste, Indonesia masih lebih buruk. China, yang juga memproduksi rokok dan memiliki jumlah perokok yang besar, sudah melakukan regulasi-regulasi yang ditujukan untuk melindungi rakyatnya dari dampak tembakau. MPOWER adalah singkatan dari monitoring (pemantauan penggunaan tembakau dan kebijakan pencegahan), protect (melindungi rakyat dari dampak tembakau), offer help (memberikan pertolongan terhadap mereka yang ingin berhenti merokok), warn (ingatkan tentang bahaya tembakau), dan raise tobacco tax (naikkan cukai tembakau). Pemerintah Indonesia yang terdiri atas elite-elite politik yang mengutamakan kedudukan politiknya mungkin sangat menggantungkan donasi pabrik rokok untuk kampanye dirinya sehingga lebih baik membiarkan rakyat terkena penyakit dan diserap penghasilannya oleh pabrik rokok daripada kehilangan kesempatan terpilih (lagi). Maka, kata-kata regulasi terhadap rokok, FCTC, atau dampak buruk tembakau, tidak boleh terucap di dalam Istana Negara, sidang kabinet, atau sidang DPR. Seperti kata anggota DPR, Dr Hakim Sorimuda Pohan, DPR lebih tertarik mengatur satwa langka daripada melindungi kesehatan rakyat. Bahkan, road map industri rokok menempatkan industri rokok sebagai salah satu industri unggulan dan ditargetkan jumlah produksi meningkat sampai 260 miliar batang dalam tahun 2015. Dengan kata lain, akan ditingkatkan jumlah rakyat yang kecanduan rokok. Sementara untuk menaikkan cukai tembakau, pemerintah masih setengah hati. Dibandingkan dengan negara sekitar kita, cukai rokok di Indonesia masih terkecil (sekitar 2 persen), sementara di Thailand mencapai 7 persen. Jelas bahwa yang diinginkan Pemerintah RI bukan menaiknya jumlah pendapatan dari perdagangan rokok, melainkan pada semakin besarnya rakyat yang kecanduan. Mungkin rakyat sendiri yang harus sadar. Namun, mungkinkah orang yang sedang mengisap candu dapat sadar bahwa hal itu berbahaya bagi dirinya? *Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum PB IDI* *http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/31/00441898/*<http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/31/00441898/> -- Aldo Desatura (R) & (c) 62.0817.19.40.50 ======== " hanya atas kasihnya, hanya atas kehendaknya kita masih bertemu matahari .... " [Non-text portions of this message have been removed]