Budaya Baca Indonesia Terendah di Asia Timur
Kamis, 18 Juni 2009 | 02:59 WIB

SURABAYA, KOMPAS.com--Budaya baca masyarakat Indonesia menempati
posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur berdasarkan data
yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD), kata
Kepala Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya Arini.

Saat berbicara dalam seminar "Libraries and Democracy"  digelar
Perpustakaan Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya bersama
Goethe-Institut Indonesien dan Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan
Informasi Indonesia (ISIPII) di Surabaya, Rabu, dia mengatakan, OECD
juga mencatat 34,5 persen masyarakat Indonesia masih buta huruf.

"Karena itu, pengembangan minat baca merupakan solusi yang tepat,
apalagi anak SD yang dibiasakan dengan budaya baca dan tulis memiliki
prestasi tinggi dibanding anak SD yang selama enam tahun tidak
dibiasakan dengan budaya baca dan tulis," katanya dalam seminar yang
juga menampilkan pakar perpustakaan dari Jerman Prof Dr Phil Hermann
Rosch itu.

Menurut dia, pembiasaan membaca dan menulis itu harus dilakukan dengan
program pemaksaan pinjam buku di perpustakaan, lalu diberi tugas
membuat kesimpulan dari buku yang dipinjam.

"SD swasta yang melaksanakan hal itu umumnya memiliki prestasi yang
sangat memuaskan dibandingkan sekolah negeri yang belum memiliki
kebiasaan itu," katanya.

Oleh karena itu, katanya, Perpustakaan Kota Surabaya mengembangkan
program ke arah sana, di antaranya membuka perpustakaan selama tujuh
hari dalam seminggu.

"Kami juga mengembangkan program pembinaan perpustakaan yang ada
dengan pengadaan 157.095 buku setiap tahunnya, sekaligus melatih
pustakawan yang ada," katanya.

Program lain yang sangat penting adalah pengembangan "Sudut Baca" di
berbagai kawasan publik seperti puskesmas, balai kelurahan,
perkantoran, perusahaan, dan pusat-pusat keramaian.

"Karena itu, kami merancang rancangan peraturan daerah untuk
penyediaan fasilitas sudut baca di berbagai lokasi layanan publik di
Surabaya," katanya.

Senada dengan itu, pakar perpustakaan dari Jerman Hermann Rosch
menyatakan, perpustakaan itu menunjang pembelajaran sepanjang hidup,
pengembangan pandangan yang tak muncul di permukaan, dan mendukung
transparansi.

"Perpustakaan itu tidak hanya berfungsi pendidikan, tapi juga sosial,
politik, dan informasi. Fungsi sosial terkait dengan pengembangan
emansipasi, sedangkan fungsi politik terkait dengan kompetisi ide dan
transparansi. Untuk fungsi informasi terkait dengan upaya mendorong
keterbukaan dalam masyarakat," katanya.

Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2009/06/18/02590466/budaya.baca.indonesia.terendah.di.asia.timur

Kirim email ke