Debat Cawapres Berjalan Monoton

JAKARTA, (PR).-
Debat calon wakil presiden (cawapres) putaran pertama yang berlangsung
Selasa (23/6), ternyata tidak jauh berbeda dengan debat calon presiden
(capres) yang berlangsung Kamis (18/6) lalu. Acara tersebut tetap
tidak memperlihatkan perdebatan yang mampu menggali visi para calon
dan acara berjalan monoton.

Paparan masing-masing cawapres yang ditayangkan langsung di stasiun
televisi itu, dinilai beberapa pengamat terlalu formal atau normatif.
Meski pertanyaan mengenai masalah-masalah sosial itu bersifat
mendasar, mereka belum mampu memperlihatkan solusi strategis.

Dalam debat kali ini, ketiga cawapres disodori sekitar enam tema besar
pertanyaan. Sebagai pembuka, masing-masing cawapres disodori dengan
pertanyaan mengenai pembangunan jati diri bangsa. Pada kesempatan itu,
cawapres Prabowo mengatakan, pembangunan jati diri bangsa Indonesia
tidak akan berhasil tanpa adanya perbaikan dalam pembangunan ekonomi.

Sambil menunjukkan selembar uang Rp 20.000,00, Prabowo menuturkan,
hampir lima puluh persen penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan
dengan upah masih di bawah Rp 20.000,00. Padahal, ungkap dia,
Indonesia adalah negara yang kaya.

Menurut Prabowo, kekayaan Indonesia selama ini terus mengalir ke luar
dan tidak dinikmati oleh bangsa sendiri. "Jika itu tidak dihentikan,
pembangunan jati diri bangsa akan gagal," ujarnya.

Untuk membangun jati diri bangsa, pasangan Mega-Prabowo akan
menerapkan ekonomi kerakyatan.

Sementara itu, Boediono menekankan pada pemantapkan pembangunan jati
diri bangsa dan membentuk pemerintahan yang bersih. Selain itu,
Boediono menekankan pentingnya pendidikan kebudayaan, politik,
ekonomi, penegakan hukum, serta penerapan demokrasi yang tepat bagi
bangsa.

Sedang Wiranto mengatakan, suatu bangsa yang tidak memiliki jati diri,
tidak akan mempunyai martabat dalam bergaul dengan dunia luar. Untuk
itu, ungkap Wiranto, perlu adanya upaya untuk segera membangkitkan
jati diri bangsa.

Pertanyaan lain yang dilontarkan moderator adalah tingkat kecelakaan
yang masih tinggi baik di darat, laut, maupun udara. Saat ditanya
siapa yang harus bertanggung jawab atas berbagai kecelakaan itu,
Prabowo mengatakan, hal tersebut merupakan kegagalan semua sistem.

Prabowo mencontohkan kegagalan ekonomi yang berpengaruh pada kapasitas
pemerintahan, pengawasan, dan pemeliharaan infrastruktur karena biaya
yang minim.

Perihal perlu tidaknya penggantian pejabat yang gagal, Prabowo
menanggapinya dengan berkelakar. "Kalau kita terapkan seperti di
Jepang, bisa-bisa kita punya dua belas menteri perhubungan. Jadi, saya
lebih cenderung untuk mencari sumber masalahnya," ujarnya.

Sementara Boediono mengatakan, walaupun dunia ini kompleks, tidak
harus ada yang menjadi kambing hitam. Menurut dia, yang harus
dilakukan adalah pembenahan infrastruktur dan memperbaiki sistem
pengawasan.

Wiranto mengatakan, sistem reward dan punishment harus ditekankan
dalam bidang tanggung jawab konstitusional, moral, dan teknis. Wiranto
menegaskan, kalau kecelakaan baru terjadi sekali bisa dikatakan
musibah, kalau dua kali namanya kelalaian. "Tetapi, kalau lebih dari
tiga, itu namanya ketidakpedulian," katanya.

Tak sajikan solusi

Pengamat sosial dari Universitas Parahyangan Pius Suratman
Kartasasmita mengatakan, acara debat itu tidak membuat masyarakat
mendapatkan solusi strategis atau mendasar. Padahal, kata dia,
pertanyaan moderator yang mengangkat masalah-masalah sosial itu sangat
mendasar. Namun, jawaban para cawapres itu tidak mampu menggambarkan
inti persoalan.

Menurut Pius, debat tersebut bernuansa formal dan terlalu
mengedepankan kesantunan. Padahal, ucap Pius, debat yang baik bisa
terfokus pada substansi yang disampaikan secara jujur, jernih, dan
mampu menggali masalah.

Sebelumnya, unsur kesantunan itu disebut-sebut harus tercipta dalam
debat karena terkait budaya timur. Pius tidak sepakat dengan hal itu,
karena budaya timur dan barat tidak dibedakan. Oleh karena itu, kata
Pius, perdebatan tidak serta-merta identik dengan percekcokan.

Pius mengungkapkan, saat ini masyarakat Indonesia sudah siap, cerdas,
dan bisa memilih serta memilah mana yang perlu didengar dan mana yang
tidak.

Setelah melihat debat capres yang lalu dan debat cawapres semalam,
Pius mengatakan, debat tersebut tidak akan memberikan pengaruh efektif
kepada pemilih. Apalagi, kata dia, masyarakat memilih bukan melulu
soal pendapat ataupun keterampilan debat, namun ada banyak aspek yang
memengaruhi.

"Saya tidak yakin debat ini bisa memengaruhi masyarakat untuk
mengalihkan dukungan mereka," ujarnya.

Belum ungkap realitas

Sementara itu, pakar komunikasi politik Suwandi Sumartias berpendapat,
ketiga cawapres belum berhasil mengungkap realitas dalam masyarakat.
"Memang sempat terlontar beberapa visi ke depan, tetapi sayangnya
kurang membumi," katanya.

Jalannya debat, ungkap Suwandi, masih terlalu mendasar dengan tidak
memaparkan hal-hal yang bersifat solutif. Secara garis besar, ujar
dia, debat tersebut menjadi sintesis yang utopis. "Lihat saja dari
garis besar tema seputar Pancasila sebagai jati diri bangsa, bukankah
Pancasila sudah disebut dari dulu?" kata Suwandi.

Menurut Suwandi, hal tersebut disebabkan jalannya debat yang terlalu
di-setting sehingga alur dialog tidak berjalan terbuka, satu arah,
monoton, dan kurang hidup. Seharusnya, kata dia, ada ruang dialog
antara cawapres dan audiens. "Malah lebih bagus kalau ada dialog
dengan pemirsa di rumah. Moderator juga kurang bisa memancing ke arah
realitas yang dihadapi," kata Suwandi.

Kalimat yang dilontarkan oleh ketiga cawapres, menurut Suwandi, masih
terkesan eufimisme dan menggunakan konteks tinggi. Suwandi
mencontohkan tidak adanya persinggungan dan ketidakterbukaan.

Suwandi menegaskan, debat tersebut bersifat parsial, bukan pada
tataran yang seharusnya ada dalam suatu debat. "Yang terjadi adalah
kolaborasi debat yang terlalu cantik sehingga tujuan debat tidak
tercapai," tutur Suwandi. (A-160/A-175/A-177)***

Cite: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=82993

Kirim email ke