Letusan Krakatau di Mata Pribumi
Repro Suryadi
Halaman penutup Syair Lampung Karam, yang ditulis Muhammad Saleh,
tentang kesaksian meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883. Letusan
gunung tersebut menimbulkan tsunami dan gelombang laut setinggi 40
meter, serta mengakibatkan setidaknya 36.000 orang tewas.
Jumat, 12 September 2008 | 11:10 WIB



Orang banyak nyatalah tentu, Bilangan lebih daripada seribu, Mati
sekalian orangnya itu, Ditimpa lumpur, api, dan abu.

Pulau Sebuku dikata orang, Ada seribu lebih dan kurang, Orangnya habis
nyatalah terang, Tiadalah hidup barang seorang.

Rupanya mayat tidak dikatakan, Hamba melihat rasanya pingsan, Apalah
lagi yang punya badan, Harapkan rahmat Allah balaskan.

Berita ditemukannya satu-satunya sumber pribumi tertulis yang memuat
kesaksian mengenai letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 mengejutkan
banyak orang. Dalam tempo 48 jam, berita yang dimuat pertama kali di
Kompas online (www.kompas.com) itu diunduh sekitar 14.000 orang dari
berbagai belahan dunia. Kemudian berita itu dikutip berbagai media.

Menariknya, tidak hanya ditemukan 125 tahun setelah gunung tersebut
meletus, tetapi ditemukan terpisah-pisah dalam bentuk naskah kuno yang
tersimpan di enam negara, yakni Inggris, Belanda, Jerman, Rusia,
Malaysia, dan Indonesia.

Adalah ahli filologi dan dosen/peneliti di Leiden University, Suryadi,
yang mengungkapkan semua itu setelah melakukan penelitian komprehensif
selama lebih kurang dua tahun. Setelah ia alih aksarakan naskah kuno
tersebut, ternyata catatan saksi mata dalam bentuk syair itu
mengungkapkan banyak hal secara humanis, bagai laporan seorang
jurnalis.

”Laporan orang asing yang selama ini ada tentang letusan Gunung
Krakatau tahun 1883 itu lebih menekankan aspek geologisnya. Letusan
itu menewaskan lebih dari 36.000 orang. Adapun laporan Muhammad Saleh
lebih pada aspek humanis, kemanusiaan, akibat letusan itu,” kata
Suryadi yang sebelumnya juga menemukan bagian sejarah Dinasti Kerajaan
Gowa yang hilang.

Kesaksian langka

Jauh sebelum peneliti asing menulis tentang meletusnya Gunung Krakatau
(Krakatoa, Carcata) tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883, seorang
pribumi telah menuliskan kesaksian yang amat langka dan menarik, tiga
bulan pascameletusnya Krakatau, melalui Syair Lampung Karam yang tiga
bait di antaranya telah dikutipkan di atas.

Menurut Suryadi, kajian-kajian ilmiah dan bibliografi mengenai
Krakatau hampir-hampir luput mencantumkan satu-satunya sumber pribumi
tertulis yang mencatat kesaksian mengenai letusan Krakatau pada tahun
1883 itu. ”Dua tahun penelitian saya menemukan satu-satunya kesaksian
pribumi dalam bentuk tertulis,” katanya.

Sebelum meletus tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883, Gunung Krakatau
telah batuk-batuk sejak 20 Mei 1883. Letusan dahsyat Krakatau
menimbulkan awan panas setinggi 70 kilometer, tsunami setinggi 40
meter, dan menewaskan sekitar 36.000 orang.

Sebelum meletus pada 1883 Gunung Krakatau di Selat Sunda pernah
meletus sekitar tahun 1680. Letusan itu memunculkan tiga pulau yang
saling berdekatan, Pulau Sertung, Pulau Rakata Kecil, dan Pulau
Rakata.

Suryadi menjelaskan, selama ini yang menjadi bacaan tentang letusan
Gunung Krakatau adalah laporan penelitian lengkap GJ Symons dkk, The
Eruption of Krakatoa and Subsequent Phenomena: Report of the Krakatoa
Committee of the Royal Society (London, 1888).

Adapun sumber tertulis pribumi terbit di Singapura dalam bentuk cetak
batu (litography) tahun 1883/1884. Kolofonnya mencatat 1301 H
(November 1883-Oktober 1884). Edisi pertama ini berjudul Syair Negeri
Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu (42 halaman).

”Tak lama kemudian muncul edisi kedua syair ini dengan judul Inilah
Syair Lampung Dinaiki Air Laut (42 halaman). Edisi kedua ini juga
diterbitkan di Singapura pada 2 Safar 1302 H (21 November 1884),”
paparnya.

Edisi ketiga berjudul Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik
Air Laut (49 halaman) yang diterbitkan oleh Haji Said. Edisi ketiga
ini juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 27 Rabiulawal 1301 H (3
Januari 1886). Dalam beberapa iklan, edisi ketiga ini disebut Syair
Negeri Anyer Tenggelam.

”Edisi keempat syair ini, edisi terakhir sejauh yang saya ketahui,
berjudul Inilah Syair Lampung Karam Adanya (36 halaman). Edisi keempat
ini juga diterbitkan di Singapura, bertarikh 10 Safar 1306 Hijriah (16
Oktober 1888),” ungkap Suryadi, yang puluhan hasil penelitiannya telah
dimuat di berbagai jurnal internasional.

Terdapat variasi

Menurut Suryadi, khusus teks keempat edisi syair itu ditulis dalam
bahasa Melayu dan memakai aksara Arab-Melayu (Jawi). Dari perbandingan
teks yang ia lakukan terdapat variasi yang cukup signifikan antara
masing-masing edisi. Ini mengindikasikan pengaruh kelisanan yang masih
kuat dalam tradisi keberaksaraan yang mulai tumbuh di Nusantara pada
paruh kedua abad ke-19.

Suryadi yang berhasil mengidentifikasi tempat penyimpanan eksemplar
seluruh edisi Syair Lampung Karam yang masih ada di dunia sampai saat
ini menyebutkan, Syair Lampung Karam ditulis Muhammad Saleh. Ia
mengaku menulis syair itu di Kampung Bangkahulu (kemudian bernama
Bencoolen Street) di Singapura.

”Muhammad Saleh mengaku berada di Tanjung Karang ketika letusan
Krakatau terjadi dan menyaksikan akibat bencana alam yang hebat itu
dengan mata kepalanya sendiri. Sangat mungkin si penulis syair itu
adalah seorang korban letusan Krakatau yang pergi mengungsi ke
Singapura dan membawa kenangan menakutkan tentang bencana alam yang
mahadahsyat itu,” katanya.

Revitalisasi

Suryadi berpendapat, Syair Lampung Karam dapat dikategorikan sebagai
”syair kewartawanan” karena lebih kuat menonjolkan nuansa jurnalistik.
Dalam Syair Lampung Karam yang panjangnya 38 halaman dan 374 bait itu,
Muhammad Saleh secara dramatis menggambarkan bencana hebat yang
menyusul letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883.

Ia menceritakan kehancuran desa-desa dan kematian massal akibat
letusan itu. Daerah-daerah seperti Bumi, Kitambang, Talang, Kupang,
Lampasing, Umbulbatu, Benawang, Badak, Limau, Lutung, Gunung Basa,
Gunung Sari, Minanga, Kuala, Rajabasa, Tanjung Karang, juga Pulau
Sebesi, Sebuku, dan Merak luluh lantak dilanda tsunami, lumpur, serta
hujan abu dan batu.

Pengarang menceritakan betapa dalam keadaan yang memilukan dan
kacau-balau itu orang masih mau saling menolong satu sama lain. Namun,
tak sedikit pula yang mengambil kesempatan untuk memperkaya diri
sendiri dengan mengambil harta benda dan uang orang lain yang ditimpa
musibah.

Selain menelusuri edisi-edisi terbitan Syair Lampung Karam yang masih
tersisa di dunia sampai sekarang, penelitian Suryadi juga menyajikan
transliterasi (alih aksara) teks syair ini dalam aksara Latin.

”Saya berharap Syair Lampung Karam dapat dibaca oleh pembaca masa kini
yang tidak bisa lagi membaca aksara Arab-Melayu (Jawi). Lebih jauh,
saya ingin juga membandingkan pandangan penulis pribumi (satu-satunya
itu) dengan penulis asing (Belanda/Eropa) terhadap letusan Gunung
Krakatau,” tutur Suryadi.

Peneliti dan dosen Leiden University ini menambahkan, teks syair ini
bisa direvitalisasi untuk berbagai kepentingan, misalnya di bidang
akademik, budaya, dan pariwisata. Salah satunya adalah kemungkinan
untuk mengemaskinikan teks Syair Lampung Karam itu dalam rangka agenda
tahunan Festival Krakatau. Juga dapat direvitalisasi dan diperkenalkan
untuk memperkaya dimensi kesejarahan dan penggalian khazanah budaya
dan sastra daerah Lampung. (YURNALDI)

Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/12/11100833/letusan.krakatau.di.mata.pribumi

Kirim email ke