Tahlilan Sebagai Subkultur Islam
Oleh Luthfi Assyaukanie

Tahlilan adalah sebuah budaya yang sangat dinamis dan dari sudut pandang 
antropologis, sangat menarik. Dia tak hanya menjadi perekat sosial, tapi juga 
mempersatukan elemen masyarakat yang terpisah dalam kompartemen ideologi dan 
keyakinan. Setidaknya itu yang saya rasakan dalam upacara Tahlilan Tujuh Hari 
Gus Dur. Berbagai penganut agama tumpah-ruah, beragam tokoh masyarakat melebur, 
dan berbagai pemeluk keyakinan bersatu ikut membacakan doa-doa untuk Gus Dur. 
Saya tercengang menghadiri acara Tahlilan tujuh hari wafatnya Gus Dur di 
Ciganjur tadi malam. Sudah lama saya tidak ikut Tahlilan, bukan karena saya 
anti-Tahlilan, seperti kaum Wahabi atau para pengikutnya di Indonesia, tapi 
karena malas saja. Untuk Gus Dur, sepertinya saya punya energi lebih untuk 
datang ke acara yang dipadati ribuan orang itu.

Saya kira ini adalah acara Tahlilan terbesar sepanjang hidup saya. Ketika usia 
belasan, saya cukup sering menghadiri acara Tahlilan, baik untuk menghormati 
kerabat atau tokoh agama yang sudah meninggal. Sebagai anak yang dibesarkan 
dalam lingkungan NU, Tahlilan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan 
sosial saya ketika itu.

Tahlilan berasal dari bahasa Arab "tahlil" yang berarti "ekspresi kesenangan" 
atau "ekspresi keriangan." Kata itu bisa juga berarti "pengucapan la ilaha 
illallah." Dalam upacara Tahlil, puji-pujian terhadap Tuhan memang menjadi 
fokus utama. Biasanya dilakukan lewat bacaan ayat-ayat dan doa-doa tertentu. 
Surat Yasin menjadi bacaan utama, diiringi dengan Ayat Kursi dan lantunan 
tasbih (pensucian), tahmid (puji-pujian) dan istighfar (mohon ampunan).

Malam itu saya benar-benar khusyu mengikuti bacaan-bacaan Tahlil yang dipimpin 
oleh KH Said Agil Siradj, Ketua NU yang juga teman baik Gus Dur. Saya melihat 
Pak Yusuf Kalla dan beberapa pejabat negara juga ikut larut dalam upacara yang 
sangat syahdu itu. Saya merasakan lantunan ayat-ayat suci dan doa-doa pada 
malam itu seperti sebuah sakramen yang sangat istimewa.

Drama Kematian. Dalam tradisi NU, Tahlilan biasanya dilakukan di samping makam 
dengan membangun tenda atau di rumah orang yang meninggal. Biasanya, upacara 
Tahlilan dilakukan pada bilangan hari tertentu, misalnya 7 hari, 40 hari, atau 
100 hari. Upacara Tahlilan biasanya dilakukan setiap malam selama 7 hari 
berturut-turut. Ada pula yang melakukannya selama 40 malam berturut-turut.

Saya tidak tahu pasti mengapa jumlah hari-hari itu yang dijadikan patokan. Tapi 
saya menduga bahwa rujukan angka-angka tersebut terkait erat dengan 
cerita-cerita eskatologis yang mengisahkan kondisi orang yang meninggal, 
misalnya bahwa arwah seseorang akan meninggalkan rumahnya pada hari ke-7 atau 
pada hari ke-40 sejak ia meninggal.

NU dan kaum Muslim tradisional secara umum sangat meyakini drama perjalanan 
kematian. Ketika seorang manusia meninggal, fase pertama yang harus dilewatinya 
adalah sebuah ujian di liang kubur di mana Malaikat akan mengajukan 
pertanyaan-pertanyaan standar seperti man rabbuka? (siapa tuhanmu), man 
nabiyyuka? (siapa nabimu), ma dinuka? (apa agamamu), dan seterusnya. Ketika 
kecil saya sudah diberikan "bocoran" untuk menjawab semua pertanyaan itu. Dan 
saya kira, Gus Dur juga.

Tahap alam kubur ini sangat penting bagi seseorang untuk melewati fase-fase 
berikutnya, sebelum akhirnya digiring ke Padang Mahsyar (di mana semua orang 
dalam keadaan telanjang, persis seperti dalam pose fotografer nudist asal AS, 
Spencer Tunick). Dia dan manusia lainnya, diperintah untuk melewati "jembatan 
lurus" (sirathal mustaqim). Jangan bayangkan Suramadu, karena jembatan ini 
sangat tipis, sehingga ada sebuah riwayat mengatakan bahwa ketebalannya 
seukuran rambut dibelah tujuh.

Jembatan itu menghampar begitu panjangnya di atas bara api yang suhunya 
melebihi permukaan Matahari. Itulah Neraka Jahanam. Tidak banyak orang yang 
bisa selamat melewati jembatan supermini namun panjang itu. Tapi, seperti 
diriwayatkan sebuah hadis, mereka yang punya amal saleh yang cukup akan dengan 
mudah melewati sirathal mustaqim untuk kemudian masuk ke surga yang nikmat 
(jannatun naim). Tapi mereka yang banyak dosa akan terjerambab ke dalam Neraka 
Jahanam.

Dengan latar belakang perjalanan kematian yang begitu menegangkan, warga NU dan 
kaum Muslim tradisional mencoba memperingan perjalanan orang yang meninggal, 
yakni dengan cara memberi bantuan amal saleh berupa bacaan-bacaan dan doa-doa 
dalam Tahlilan. Dengan kata lain, Tahlilan adalah upaya untuk memperingan 
perjalanan orang yang meninggal menuju persinggahan terakhir.

Subkultur Islam. Tentu tidak semua umat Islam meyakini kisah dramatis 
perjalanan kematian seperti di atas. Kalaupun meyakini, mereka tidak percaya 
bahwa orang yang hidup bisa membantu orang yang sudah mati. Inilah argumen kaum 
Wahabi dan para pengikutnya di Indonesia, termasuk sebagian besar warga 
Muhammadiyah. Kaum Wahabi percaya bahwa amal perbuatan seseorang akan terputus 
ketika ia meninggal. Tidak ada orang di dunia yang mampu menyelamatkan atau 
membantunya di akhirat sana.

Namun, terlepas dari perdebatan yang tak mungkin bisa dibuktikan itu (karena 
kita harus meninggal dulu untuk membuktikannya), Tahlilan adalah sebuah budaya 
yang sangat dinamis dan dari sudut pandang antropologis, sangat menarik. Dia 
tak hanya menjadi perekat sosial, tapi juga mempersatukan elemen masyarakat 
yang terpisah dalam kompartemen ideologi dan keyakinan.

Setidaknya itu yang saya rasakan dalam upacara Tahlilan Tujuh Hari Gus Dur. 
Berbagai penganut agama tumpah-ruah, beragam tokoh masyarakat melebur, dan 
berbagai pemeluk keyakinan bersatu ikut membacakan doa-doa untuk Gus Dur. Di 
akhir acara, perwakilan dari mereka memberikan sambutan berupa refleksi dan 
kenangan tentang almarhum KH Abdurrahman Wahid.

Mengikuti prosesi Tahlilan di rumah Gus Dur itu, saya tidak melihat sama sekali 
hal-hal yang dikhawatirkan kaum Wahabi, yakni bahwa acara semacam ini bisa 
membuat orang menjadi syirik (menduakan Tuhan) atau bid'ah (mengada-ada). Yang 
saya saksikan adalah sebuah subkultur Islam yang sangat menarik yang bisa 
menjadi kohesi bagi masyarakat kota yang kerap terlena dalam kesibukan 
masing-masing.


Kirim email ke