2010/3/2 Remi <rsyaif...@yahoo.com>:
>
>
> --- In Baraya_Sunda@yahoogroups.com, Dudi Herlianto <dudi.herlia...@...> 
> wrote:
>>
>> baraya, bilih aya nu bade nulungan urang indramayu nu bade kaleungitan hiji
>> warisan budayana nu mangrupa sapeti wayang cepak nu umurna geus ratusan taun
>> cenah.
>>
>
> Ari wayang cepak teh nu kumaha, wayang na TNI kitu? Pan ari tangtara mah 
> kabeh sirah na dicepak lin? he he he....
>

======
Menyoal Wayang Cepak
07 Feb 2010

Aly Jumat 18 Desember 2009 lalu, belasan pelajar SMKN Indramayu
melakukan demonstrasi. Unjuk rasa yang dilakukan mereka bukan menuntut
kepala sekolah mereka mundur atau menggugat transparansi keuangan.
Akan tetapi, mereka melakukan aksi budaya. Aksi ini dikomandani oleh
Rofiqoh Djawas, S.Ds., seorang desainer grafis wanita yang peduli
dengan budaya lokal.

Para pelajar itu berjalan dari Bundaran Kijang bergerak menuju Jalan
Sudirman, Bundaran Jam, Jalan Ahmad Yani, dan berhenti di Sport
Centre. Masing-masing dari mereka membawa wayang golek cepak. Ada 18
wayang golek cepak yang mereka bawa, antara lain Lamsijan, Demang,
Pen-dita, Satria, Putri, Serdadu, prajurit, dan beberapa wayang golek
cepak dasar. Para pelajar ini mengawal dalang wayang golek cepak Ki
Ahmadi yang berasal dari Anjun Paoman Indramayu. Sepanjang perjalanan,
tangan kanan Ki Ahmadi memegang tokoh Wiralodra sedangkan tangan
kirinya memegang tokoh Gagak Singalodra. Ia mengisahkan Babad Dermayu
secara berulang-ulang.

Beragam respons masyarakat diperlihatkan terhadap unjuk rasa budaya
ini. Umumnya, generasi tua bertanya keheran-heranan, apa wayang golek
cepak itu masih ada? Sementara kalangan muda bertanya, jenis wayang
apa ini?Melelui pers re/ease-pya, demo ini ditujukan untuk
bersama-sama mengingat kembali budaya yang terlupakan serta mengajak
masyarakat untuk peduli terhadap pelestarian budayaiokal Indramayu.

Dijual ke London

Demo yang dilakukan dalang Ki Ahmadi memang beralasan. Menurut catatan
Supali Kasim dalam bukunya Cinta yang Keras Kepala Apa dan Siapa
sejumlah Seniman Tradisional Indramayu ditulis bahwa pada 1960-an
wayang golek cepak merasakan zaman keemasannya. Dalang Ahmadi masih
bisa mendapatkan order panggungan antara 20 hingga 28 kali per
bulannya. Ia manggung di daerah Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal,
Subang, Karawang, dan Jakarta. Bahkan ia pernah mentas di Jepang dan
London. Biasanya grup keseni-annya tampil di acara hajatan, upacara
adat, dan acara tahun baru Cina (Imlek) di kelenteng.

Namun, keadaan berbalik sejak 1980-an. Dalam satu tahun, order
panggungan bisa dihitung dengan jari. Selain karena serga-pan organ
tunggal atau tarling dangdut masyarakat juga lebih memilih wayang
golek purwa.

Kondisi seperti ini membuat wayang golek cepak memasuki "masa
sekarat". Keadaan ini sangat memengaruhi ekonomi keluarga sang dalang.
Untuk menopang ekonomi keluarga, istri Ahmadi membuka waning kecil di
rumahnya. Namun itu tak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi yang banyak.
Apalagi tatkala Ki Ahmadi menderita sakit yang berkepanjangan. Ia
butuh biaya berobat yang tidak sedikit Tak ada lagi harta berharga
yang ia miliki kecuali perangkat keseniannya. Maka dengan terpaksa ia
menjual gamelan. Tak hanya itu, tokoh wayang golek cepak Buta Ula,
Lamsijan, Ketek, dan Garuda serta beberapa replika wayang golek
lainnya terpaksa ia jual ke London. Menurut Rofiqoh Djawas hal yang
cukup memprihatinkan wayang golek cepak yang konon motif dan bentuknya
hanya ada di Cirebon dan Indramayu itu hak ciptanya belum dipatenkan.

Wayang realis

Wayang golek cepak adalah salah satu jenis kesenian tradisional yang
ada di Indramayu dan Cirebon. Golek artinya boneka sedangkan kata
cepak diambil dari bentuk kepala (mahkota) wayang yang papak (rata).
Karena bentuk inilah jenis kesenian ini dinamakan wayang golek cepak.
Konon wayang ini diciptakan oleh Sunan Gunung Djati sebagai media
dakwah.

Berbeda dengan wayang kulit purwa, dalam wayang golek cepak tidak
dikenal tokoh seperti Arjuna atau Shinta. Tokoh-tokoh yang ada dalam
wayang golek cepak adalah subjek yang ada dalam babad atau sejarah.
Maka dikenallah Nyi Mas Gandasari, Wiralodra, Ki Tinggjl, Kuwu
Sangkan, Bagal Buntung, dan lain-lain. Dengan demikian, wayang ini
sesungguhnya teater sejarah, panggung pendidikan. Dengan kata lain, ia
sebuah diorama yang bergerak.

Selain grup "Sekar Harum" pimpinan dalang Ki Ahmadi, ada juga grup dan

dalang kesenian wayang golek lainnya. Mereka adalah Dalang Warsyad
dengan gmp "Jaka Baru" dari Gadingan Sliyeg dan dalang Ki Tayut dari
Desa Juntinyuat dengan nama grupnya "Sri Budi". Ki Tayut boleh
dikatakan dalang senior untuk wayang golek cepak. Ia kemudian
mewariskan ilmu dan perangkat keseniannya kepada anak dan cucunya,
antara lain Taram, Asmara, dan Tarjaya.Setali tiga uang, nasib grup
kesenian dan dalangnya sama; dalam titik nadir.

Inovasi dan kreasi

Kembali ke soal nasib dalang Ki Ahmadi dan keprihatinan wayang golek
cepak. Demi kelestariannya, secara kuratif pemerintah dapat
mengamankan wayang dan gamelan-nya sebagai benda cagar budaya. Untuk
para dalangnya yang telah mengabdikan dan memberi andil dalam khazanah
budaya dalam waktu sekian lama maka layaklah bila mereka mendapatkan
dana kehormatan budaya.

Namun demi kehidupan keseniannya, maka kreasi dan inovasi parut
dilakukan. Beberapa dalang seperti Haji Anom Rusydi (Indramayu), Asep
Sunarya (Bandung), Ki Entus (Tegal), Dalang Mansyur (Cirerbon) hingga
kini bertahan baik dalam musik atau gaya tutur. Namun, itu tidak
berarti menganut motto "wayangnya bingung, dalangnya bingung, yang
penting penonton senang". Sebab kesenian tetap mengemban misi "tri
smara bhakti," yaitu pendidikan, informasi, dan hiburan.

Peluang lebar untuk kreasi dan inovasi sesungguhnya sangat terbuka
dalam wayang golek cepak karena tokoh-tokoh dalam wayangnya cenderung
realis dan fleksibel. Maka di sini sang dalang tidak hanya dituntut
mendalang sekadar menjadi pekerjaan (dalang makarya) atau mendalang
tanpa memahami filsafat dan karakter wayang (dalang micara). Akan
tetapi, ia lebih memosisikan dirinya sebagai seorang dai atau mubalig
yang terus mengasah metodologi dan komunikasi (dalang mukti), untuk
akhirnya ia menjadi dalang yang seluruh kerja keseniannya hanya
mengharap pada keridoan Ilahi (dalang sejati)."*

SAPTAGUNA,
Ketua Komite Filsafat dan Komunikasi Seni Dewan Kesenian Indramayu (DKI).
web: http://bataviase.co.id/node/87034

Kirim email ke