Panganteur:  Kuring katarik ku artikel dihandap ieu, pedah eta lalajo 
wawancara mantan Laskar Jihad Ja'far Umar Thalib  dina Metro TV pasca 
ditewakna Ba'asyir ku pulisi. Ustadz Ja'far nyebut ideologi Ba'asyir 
"sesat", malah lamun teu salah mah diisebut Khawarij.  Ngareungeu eta, 
kuring jadi bingung naon atuh definisi Khawarij teh, tah kabeneran dina 
artikel ieu diterangkeun. Duka leres henteuna mah, nyanggakeun we, sakadar 
hayang babagi jeung baraya sadayana:


http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=149865

Ba'asyir dan Pemikiran Radikal
[ Kamis, 12 Agustus 2010 ]

Oleh Yayan Sopyani Al Hadi

DALAM sebuah dialog di MetroTV (Selasa, 10/8), mantan Panglima Laskar Jihad 
Ja'far Umar Thalib menyesatkan pemikiran-pemikiran radikal Amir Jamaah 
Ansharut Tauhid (JAT) Abu Bakar Ba'syir. Dia bersaksi, pola pikir yang 
digunakan dan disebarkan Ba'asyir menggunakan logika takfir. Artinya, 
mengafirkan orang di luar kelompoknya. Ja'far menyebut mantan amir Majelis 
Mujahidin Indonesia (MMI) dan pengikutnya itu sebagai generasi Khawarij.

Dari pernyataan Ja'far tersebut, dapat ditarik dua kesimpulan sekaligus. 
Pertama, Ja'far mengingatkan bahaya laten kelompok Khawarij yang doyan 
mengafirkan pihak lain. Dalam sejarah awal Islam, Khawarij muncul ketika 
terjadi pergolakan politik antara pemimpin Islam yang sah, Ali bin Abi 
Thalib, dan pemberontak Mu'awiyyah bin Abi Sufyan.

Khawarij awalnya merupakan pendukung Imam Ali bin Abi Thalib. Namun, setelah 
Imam Ali melakukan perjanjian dengan Muawiyyah, Khawarij menolak kesepakatan 
damai (tahkim) tersebut dan keluar dari barisan Imam Ali. Khawarij berasal 
dari kata kharaja yang berarti keluar.

Dengan menuduh melanggar hukum Tuhan, pengikut Khawarij membunuh Imam Ali 
bin Abi Thalib dan bersembunyi di gurun-gurun pasir. Mereka melakukan 
kekerasan terhadap umat Islam yang berbeda keyakinan dan pendapatnya. Tidak 
jarang, tindakan mereka berakhir dengan pertumpahan darah.

Kelompok Khawarij mengklaim sebagai satu-satunya juru bicara Islam yang 
paling otoriter dibanding kelompok lain. Mereka mengutuk kelompok yang 
dianggap telah melenceng dan meleset dari fondasi agama yang benar. Mereka, 
dengan mengungkapkan hak istimewa lebih tinggi yang didasarkan pada 
kebenaran agama, membenarkan tuntutan agar etika yang berlaku dalam 
kelompoknya ditingkatkan menjadi suatu moralitas bersama.

Mereka juga menuntut dogmanya dipaksakan dengan cara apa pun, temasuk 
pembunuhan. Mereka berkeyakinan dan memastikan bahwa kebenaran agama yang 
tunggal diturunkan dengan cara yang tidak bisa dipertanyakan.

Kaum Khawarij meyakini bahwa kebahagiaan dan kesempurnaan atau tujuan akhir 
agama adalah monopoli satu golongan tertentu atau bisa dicapai dengan meniti 
worldview (minhaj) dan the way of life (manhaj) kelompok tertentu. Kelompok 
lain juga membawa hakikat dan kebenaran, tapi hanya ada satu pemahaman yang 
membentangkan jalan kebahagiaan.

Penganut ajaran kelompok lain, dalam pandangan Khawarij, walaupun 
keberagamaannya baik dan akhlaknya benar dalam sisi kemanusiaan, mereka 
tetap tidak bisa selamat. Karena itu, untuk meraih keselamatan, mereka harus 
meraih jalan sebagaimana yang ditempuh kelompok Khawarij.

Argumentasi Khawarij itu didukung teologi fatalistik (aqidah jabariyah) yang 
menyatakan bahwa wajib mengimani Allah, tapi tidak berdasar akal. Kewajiban 
tersebut penting karena Allah telah memerintah kita untuk mengenali-Nya 
melaluinash. Corak pembuktian teologis itu menciptakan daur ulang yang tak 
berujung (circular reason). Imanilah Tuhan karena Tuhan telah 
memerintahkannya dalam nash. Padahal, kita tidak tahu siapakah Tuhan itu(?).

Berbeda dari aliran Syiah yang menganggap kewajiban mengimani Allah dan 
menaati segala perintah-Nya adalah kerja akal. Pengenalan terhadap Tuhan 
harus didasari dan diawali oleh nalar rasional (aql burhani).

Aliran teologi jabariyah menyatakan bahwa keselamatan hanya terdapat dalam 
lingkup karunia dan Inayah Ilahi. Ada pun upaya manusia (kasb) untuk 
mencapai keselamatan itu dianggap sia-sia dan tidak akan berhasil. Karena 
itu, konsekuensi dari keselamatan tersebut adalah harus mengetahui 
manifestasi sumber keselamatan.

Manifestasi itu hanya didapat dan hanya bisa diketahui dari pemahaman nash 
yang tekstual. Tekstualisme merupakan episteme dengan metodologi pemikiran 
tekstual-eksplanatif (bayani) yang menjadikan teks suci sebagai otoritas 
penuh untuk memberikan arah dan arti kebenaran (Abed Al- Jabiry, 1991).

Para tekstualis itu memahami nash Alquran dan as-sunnah dengan berpegang 
pada redaksi teks yang partikular dan terkurung pada lokalitas. Sementara 
itu, akal, bagi mereka, hanya digunakan sebagai pengaman ototitas teks 
tersebut. Karena itu, ketika berhadapan dengan teks lain atau pemahaman 
terhadap teks yang berbeda, mereka mengambil sikap mental yang dogmatik, 
defensif, dan apologetik. Begitu juga ketika berhadapan dengan the other 
yang berwujud peradaban yang modern, kosmopolit, sekuler, rasional, dan 
realitif, tindak kekerasan menjadi solusi terbaik bagi mereka untuk 
menyelesaikan problem sosial.

Apakah ide Khawarij Ba'asyir sebagaimana yang disebutkan Ja'far berkaitan 
dengan teror seperti yang ditudingkan Mabes Polri? Tentu, dugaan 
keterlibatan Abu Bakar Ba'asyir dalam gerakan terorisme di Indonesia menjadi 
wilayah kepolisian. Dengan catatan, polisi tidak bisa menghakimi 
pemikiran-pemikiran Ba'asyir, sebagaimana tidak bisa mengadili keyakinan 
seseorang. Yang menjadi wilayah kepolisian adalah tindakan seseorang yang 
berakibat melanggar hukum.

Di sinilah letak tantangan bagi kepolisian. Jika kembali gagal membuktikan 
keterlibatan Ba'asyir, integritas polisi dan pemerintah semakin luluh di 
mata publik. Selain menimbulkan gejolak di masyarakat, kegagalan tersebut 
akan menguatkan prasangka sebagian orang bahwa polisi diintervensi pihak 
luar.

Kesimpulan kedua pernyataan Ja'far adalah terjadinya perbedaan pandangan di 
antara sesama muslim tekstualis yang selama ini dikenal radikal. Tidak 
jarang, perbedaan pemikiran tersebut berujung pada pertentangan dan konflik 
internal. Hal itu menjadi bukti bahwa radikalisasi gerakan Islam yang 
mengaku berdasar pada nash ternyata banyak faksi dan tidak monolitik.

Fakta tersebut juga menunjukkan bahwa tidak ada kelompok yang berhak mengaku 
satu-satunya gerakan atau pembela Islam yang absah. Masih banyak wajah dan 
warna Islam yang lain. Apalagi, gerakan Islam yang radikal bukanmainstream 
di negeri ini.

Muhammadiyah dan NU, misalnya, menjadi cermin gerakan Islam yang menebarkan 
kesejukan dan kedamaian serta diminati banyak orang. Dengan demikian, 
menggeneralisasikan kaum muslim sebagai pelaku tindak kekerasan merupakan 
kesalahan fatal. (*)

*) Yayan Sopyani Al Hadi, peneliti Pusat Studi Agama dan Peradaban/PSAP, 
Jakarta


Kirim email ke