Sistem Parasitik
Kamis, 19 Agustus 2010 | 02:58 WIB

Sri Palupi

Pada tahun 1960, seorang ekonom kondang, Benjamin Higens, menilai Indonesia 
sebagai bangsa yang sulit berkompetisi dalam percaturan global dan kesulitan 
ini menurutnya bersifat kronis.

Pada tahun 1964, Soekarno menyampaikan keprihatinan, Indonesia yang mencoba 
untuk hidup kembali sebagai bangsa pada akhirnya kembali menjadi satu kuli di 
antara bangsa-bangsa. Kini, dengan maraknya warga Indonesia yang menjadi tenaga 
kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, sebutan sebagai bangsa kuli semakin 
menjadi.

Bangsa kuli

Predikat sebagai bangsa kuli sering dikaitkan dengan semakin banyaknya warga 
yang jadi TKI di luar negeri. Padahal, bukan hanya peningkatan jumlah TKI yang 
menjadikan Indonesia bangsa kuli. Mayoritas warga Indonesia dan bahkan 
Pemerintah Indonesia sendiri pada dasarnya adalah kuli. Ini bisa kita simak 
dari beberapa fenomena berikut.

Pertama, dalam hal penguasaan pendapatan. Sepertiga (1/3) warga Indonesia, yang 
merupakan warga terkaya, menguasai dua pertiga (2/3) dari pendapatan total. 
Sepertiga warga terkaya ini memiliki kapital atau aset 18 kali lipat aset yang 
dimiliki dua pertiga warga miskin. Sumber pendapatan sepertiga warga terkaya 
ini bukan berasal dari kerja-kerja mereka sebagai buruh, melainkan dari kapital 
atau aset yang mereka miliki.

Sementara dua pertiga warga miskin hanya memiliki kapital seperdelapanbelas 
(1/18) dari aset yang dimiliki warga terkaya. Sumber pendapatan utama warga 
miskin ini tentu saja bukan dari aset yang mereka miliki, melainkan dari 
kerja-kerja mereka sebagai buruh. Ini berarti, dua pertiga (2/3) warga 
Indonesia pada dasarnya adalah kuli.

Kedua, maraknya penguasaan asing atas aset ekonomi di sektor-sektor strategis, 
seperti sektor pertambangan (sekitar 90 persen dikuasai asing), ritel, 
perbankan, telekomunikasi, air, dan sektor-sektor lain. Ke depan, sektor usaha 
kecil menengah (UKM) juga akan dikuasai asing mengingat Undang-Undang Penanaman 
Modal memberikan peluang bagi asing membiayai sektor UKM. Kemudahan bagi asing 
untuk menguasai sektor-sektor vital semakin sulit dibendung karena kebijakan di 
dalam negeri sangat mengagungkan kepentingan asing.

Ketiga, sistem ekonomi Indonesia yang semakin liberal dan posisi Indonesia yang 
kian menjadi pasar bagi produk-produk asing. Sekarang ini semakin sulit kita 
menemukan barang-barang buatan negeri sendiri di pasar dalam negeri.

Posisi sebagai kuli di antara bangsa- bangsa pada akhirnya tidak hanya tampak 
pada peningkatan jumlah TKI, tetapi juga melekat pada sosok para pemimpin 
negeri ini. Kalau kita simak kebijakan pemerintah selama ini, akan kita temukan 
betapa produk kebijakan yang dihasilkan para pemimpin negara ini condong 
melayani kepentingan asing.

Dengan posisi sebagai bangsa kuli, tidak mudah bagi Indonesia untuk bisa 
bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam sistem ekonomi global. Sebab, bicara 
soal persaingan global adalah bicara kepemilikan aset ekonomi. Padahal, aset 
ekonomi kita sudah banyak dijual dan dikuasai asing.

Inferior

Menghadapi realitas bangsa kuli, bisa saja kita mengatakan, Indonesia adalah 
Indonesia dan tidak bisa diperbandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Namun, 
kalau kita mau sedikit berkaca pada perkembangan Indonesia dan negara tetangga 
kita, sulit dibayangkan bahwa bangsa sebesar Indonesia bisa sedemikian bangkrut 
dan rela menjadi kuli negara kecil seperti Singapura dan Malaysia.

Singapura, negara kecil yang miskin sumber daya alam itu, kini mampu menjadi 
pemilik demikian banyak aset ekonomi sejumlah negara, termasuk Indonesia. 
Bangsa sebesar Indonesia kalah bersaing dengan Singapura dan terpaksa menjadi 
kuli bangsa Singapura.

Jangankan bersaing dengan Singapura dalam hal-hal yang strategis. Bahkan 
negosiasi dengan Pemerintah Singapura untuk mendapatkan hak libur sehari dalam 
sebulan bagi TKI kita di Singapura saja Pemerintah Indonesia tidak mampu.

Itulah mengapa setiap tahun ada saja TKI di Singapura yang meninggal akibat 
kecelakaan kerja atau bunuh diri karena depresi sebagai dampak dari tiadanya 
hak libur bagi TKI.

Hal serupa terjadi dengan Malaysia. Meski kita adalah bangsa besar, pemerintah 
kita tak mampu mendesak Malaysia untuk menandatangani nota kesepahaman (MOU) 
terkait perlindungan TKI. Pemimpin bangsa kuli jelas akan cenderung inferior 
apabila berhadapan dengan pemimpin negeri kaum tuan. Posisi sebagai bangsa 
Indon atau bangsa kuli tampaknya membuat Malaysia tidak sudi untuk duduk sama 
tinggi dengan Indonesia. Itulah mengapa ratusan TKI mati di Malaysia akibat 
kondisi kerja mirip perbudakan yang dipraktikkan para tuan di Malaysia, 
pemerintah kita tak kuasa untuk mempersoalkannya.

Sistem parasitik

Merosotnya posisi Indonesia dari bangsa merdeka menjadi bangsa kuli tidak 
terlepas dari kegagalan masyarakat sipil Indonesia dalam melahirkan dan memilih 
pemimpin yang tidak bermental kuli. Nyatanya, para pemimpin negeri ini condong 
lebih suka menjadi pelayan kepentingan kekuatan ekonomi asing daripada 
memerdekakan bangsa sendiri.

Bahkan, mental kuli itu terkesan semakin mengental. Ini bisa kita lihat pada 
sikap para pemimpin yang tidak melihat kebergantungan Indonesia pada kekuatan 
ekonomi asing sebagai masalah.

Bahkan, utang negara yang melambung tinggi justru mereka baca sebagai tanda 
peningkatan kepercayaan dunia pada Indonesia. Perspektif semacam ini mencirikan 
kepemimpinan yang inferior terhadap kekuatan asing.

Selain punya kecondongan inferior terhadap kekuatan asing, para penguasa 
bermental kuli juga punya kecenderungan untuk menjalankan sistem ekonomi 
politik yang parasitik. Disebut parasitik karena sistem ini ibarat sel kanker 
yang memakan tubuhnya sendiri.

Sistem parasitik ini hadir secara telanjang, di antaranya dalam rupa: korupsi 
yang kian sistematis, mafia hukum, impunitas pelanggar HAM, birokrasi yang 
inefisien dan melayani diri sendiri.

Sistem yang parasitik ini tidak akan memberi ruang bagi hadirnya para pemimpin 
sejati yang memiliki komitmen memerdekakan bangsa. Sebaliknya, sistem semacam 
itu justru ramah terhadap para penguasa politik dan ekonomi yang suka menguras 
kekayaan negara demi kepentingan diri sendiri dan para tuan yang mereka layani.

Tidak heran kalau pada akhirnya kebocoran APBN kita mencapai 45 persen, utang 
negara kian menumpuk, kualitas hidup rakyat kian memburuk, sementara rekening 
pejabat publik dan konglomerat hitam kian mengembang.

Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/19/02585473/sistem.parasitik

Kirim email ke