Aya anu apal euy saha si Adjie Suradji ieu? Gaya oge manehna wani ngritik
pamimpina :D.... tina ngarana mah siga urang sunda... Aji Suraji... Iti
Latifi... Kokom Komariah... Toto Suroto... Asep Surasep... jrrd... ngarana
murwakanti ;)).

Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan
Senin, 6 September 2010 | 03:10 WIB
 
Adjie Suradji
Anggota TNI AU
Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin
cerdas yang bisa membawa perubahan.

Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin
sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat
keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan
berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko.
Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri
kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko,
bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan
lain.

Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan tiap presiden menghasilkan
perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno membawa perubahan besar bagi bangsa
ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.

Soekarno barangkali telah dilupakan orang, tetapi tidak dengan sebutan
Proklamator. Soe- harto dengan Bapak Pembangunan dan perbaikan kehidupan
sosial ekonomi rakyat. Habibie dengan teknologinya. Gus Dur dengan
pluralisme dan egaliterismenya. Megawati sebagai peletak dasar demokrasi,
ratu demokrasi, karena dari lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa
jabatan tanpa kekisruhan. Yang lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan
negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan.

Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum
berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi
warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye
politik, isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya
bisa diimplementasikan secara proporsional.

Artinya, apabila pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya
fiat justitia pereat mundus—hendaklah hukum ditegakkan—walaupun dunia harus
binasa (Ferdinand I, 1503- 1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK,
Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), korupsi pun
hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala
perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat
berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.

Quid leges sine moribus (Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai
moralitas? Apa artinya hukum dengan sedemikian banyak perkuatannya jika
moral pejabatnya rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong,
dan pemalas?

Keberanian
Meminjam teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang
membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah
keberanian (The 10 Law of Leadership). Keberanian harus didasarkan pada
pandangan yang diyakini benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko
apa pun. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian
dapat timbul dari komitmen visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas
kebenaran yang diperjuangkan.

Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari
kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek
kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin—kepentingan rakyat—keraguan
lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri.

Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih
dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para
pemimpin yang dulu pernah memimpinnya.
Memang, secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap
konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan
situasi menyenangkan. Namun, dalam konteks korupsi yang kian menggurita,
tersisa pertanyaan, apakah SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini
betul-betul terbebas dari korupsi?

Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada komitmen perubahan? Atau
justru ide perubahan yang dicanangkan (2004) hanya tinggal slogan kampanye
karena ketidaksiapan menerima risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY
dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten
dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan
berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala
pencitraannya?

Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani
membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada
pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan.
Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan
bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan
signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang
berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan
berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales
(Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela).

Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu
kepemimpinannya—dengan jargon reformasi gelombang kedua—SBY bisa memberikan
iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan
sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya.
Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara
negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan
abadi negeri ini. Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar
Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.

Adjie Suradji Anggota TNI AU



Kirim email ke