Kepemimpinan Dan Keteladanan

By: Prof. Dr. Achmad Mubarok MA

Al-Quran mengabadikan dalam banyak ayat-ayatnya sejumlah nama tokoh/pemimpin 
masyarakat dari ummat-ummat terdahulu, bukan saja pemimpin-pemimpin pahlawan 
perjuangan kebenaran dan keadilan seperti para nabi dan rasul, tetapi juga 
diabadikan nama tokoh-tokoh pemimpin kezaliman (ketidakbenaran dan 
ketidakadilan)  seperti Firaun, Haman, Qorun, Namruz dan lain sebagainya. Kita 
semua ummat zaman akhir ini diajak berfikir dan mengambil pelajaran dari 
sejarah masa lalu  itu, di antaranya betapa perilaku yang berubah dalam diri 
para pemimpin (dari komitmen idealisme ke penyelewengan) berujung pada 
merajalelanya kezaliman dan penindasan (ketidakbenaran dan ketidakadilan), dan 
akhirnya menyeret mereka bersama-sama dengan ummatnya ke dalam suatu perubahan 
total dimana rakyat ditelan oleh krisis, yang disadari atau tidak mereka para 
pemimpin telah menjadi faktor penyebabnya. Al-Qur’an kemudian menjelaskan bahwa 
hal yang demikian yakni kehidupan jaya yang mereka
 nikmati berubah menjadi derita— terjadi disebabkan perubahan yang mereka 
lakukan atas sikap hidup dan perilakunya yang berujung pada kezaliman dan 
penindasan (Dzalika bi anna Allah lam yaku mughayyiran ni‘matan ’an‘amaha ‘ala 
qaumin hatta yughayyiru ma bi anfusihim, al-Anfal ayat 53).

Dengan merujuk petunjuk Al-Quran tersebut di atas, dapat kita lihat betapa 
faktor peran pemuka masyarakat menjadi penting dalam suatu perubahan yang 
terjadi atas sesuatu masyarakat dari suatu kondisi positif beralih ke kondisi 
negatif. Oleh karena itu, upaya penanggulangan krisis moral yang disadari 
menjadi pangkal krisis-krisis lainnya yang sedang melanda bangsa dan negara 
kita dewasa ini, haruslah bertitik tolak dari reformasi moral kepemimpinan. 
Upaya ini harus dimulai dari pembersihan niat, perilaku dan moralitas 
pemimpin-pemimpin masyarakat/pemegang kendali di sektor-sektor kehidupan 
masyarakat (ulama dan umara). 

Mereka diharapkan mampu mengembangkan dalam kehidupan pribadinya masing-masing, 
pola hidup BERSIH, SEDERHANA, dan MENGABDI. Yang lebih penting lagi bagi ulama 
dan umara adalah upaya menjadikan dirinya (kehidupan pribadinya) suatu 
keteladanan dan pencerminan yang meyakinkan bahwa penerapan pola kehidupan yang 
Bersih, Sederhana dan Mengabdi  yang merupakan wujud nyata dari moralitas luhur 
(Akhlak Mulia) itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, maka 
masyarakat akan percaya kepada pemuka atau pemimpinnya. Pola hidup BSM (Bersih, 
Sederhana dan Mengabdi) itu yang perlu dimasyarakatkan dengan kepeloporan para 
ulama dan umara hingga menjadi moral ekonomi, moral politik dan moral hukum, 
dan terus diupayakan pengembangannnya di sektor-sektor kehidupan lainnya 
sehingga pada saatnya menjadi Akhlak Bangsa dan Moral Nasional sebagai landasan 
Pembangunan Nasional. Umara (Para Pemuka Pemerintahan dan Pemuka-Pemuka 
lainnya) perlu berupaya menciptakan
 suatu iklim yang kondusif bagi pemasyarakatan dan penyebarluasan pesan-pesan 
moral (yang terutama ditangani para ulama). Juga dipandang perlu, ulama dan 
umara secara bersama-sama menyatakan perang terhadap kejahatan dalam suatu 
kampanye antikejahatan, yang membina terus-menerus upaya menegakkan kedaulatan 
moral menjadi bagian dari kedaulatan rakyat. Insya Allah taufiq dan ma‘unah-Nya 
akan senantiasa menyertai bangsa Indonesia.

Sebagai makhluk sosial budaya, menusia mengenal lembaga kepemimpinan, termasuk 
ketika menjalankan ritual ibadah. Dalam bahasa Arab, pemimpin disebut dengan 
istilah imam, amir, za`im, ra’is, dan qa’id, tetapi istilah imam dipergunakan 
untuk menyebut kepemimpinan secara umum,  termasuk dalam ritual ibadah. Dalam 
menjalankan salat jamaah kaum muslimin juga dipimpin oleh seorang imam. Laiknya 
kepemimpinan dalam masyarakat, dalam salat jamaah juga dikenal 
kriteria-kriteria (a) siapa yang layak menjadi imam salat, (b) apa etika 
seorang imam, (c) apa kewajiban makmum, dan (d) hak-hak makmum. Secara 
fiqhiyyah, siapa saja dengan syarat-syarat tertentu bisa menjadi imam salat, 
tetapi pada hakekatnya, karena salat merupakan amal ibadah dimana manusia 
menghadap, melapor dan berdialog dengan Tuhan Yang Maha Agung, maka hanya 
orang-orang tertentu yang layak menjadi imam salat jamaah.

Imam Ghazali dalam  Ihya Ulum ad Din, kitab fiqh, menyebut enam kriteria 
persyaratan etis seorang imam. (1) Mempunyai kredibilitas moral dan senioritas 
keilmuan agama; Bermakmum kepada orang yang dikenal rendah kredibilitasnya akan 
membuat makmum tidak dapat tuma’ninah  (2) Tidak boleh rangkap jabatan, sebagai 
muazzin dan imam sekaligus, (3) Sang imam sendiri harus terbiasa disiplin salat 
awal waktu setiap harinya, (4) Imam harus ikhlas menjalankan amanah Allah, (5) 
Sebelum bertakbir harus meyakinkan dirinya bahwa barisan makmum di belakangnya 
telah berbaris rapih, dan (6) Bertakbir dengan suara lantang serta membaca 
Al-Qur’an dengan fasih.

Salat berjamaah melambangkan sistem kepemimpinan dalam masyarakat, oleh karena 
itu, karena seorang imam akan menjadi panutan yang diikuti secara patuh oleh 
makmum di belakangnya, maka seorang imam harus mengerti aspirasi makmum di 
belakangnya. Seorang imam salat berjamaah tidak boleh beruku’ atau sujud 
berlama-lama, karena belum tentu semua makmum di belakangnya sanggup 
melakukannya. Ia juga tidak boleh membaca ayat Qur’an terlalu panjang sekiranya 
ia tahu bahwa jamaah di belakangnya sedang berpacu dengan berbagai urusan 
pekerjaan. Imam juga harus memberi peluang makmum menggenapi kekurangannya, 
yakni diam sejenak sebelum membaca ayat Qur’an, memberi kesempatan makmum yang 
belum sempurna membaca Fatihah. Laiknya sistem kepemimpinan, makmum harus patuh 
total mengikuti gerak imam yang sudah dipilih secara syah, tidak boleh pula 
mendahului gerakan imam, tetapi jika  imam melakukan kekeliruan, makmum diberi 
hak untuk mengingatkan, yakni dengan
 mengucapkan kalimat Subhanallah. Sebagai imbangan dari keharusan makmum 
mematuhi imam, seorang imam  secara sportif langsung harus mengundurkan diri 
jika di tengah-tengah salat ia terkena hadas, buang angin misalnya, karena 
buang angin membatalkan wudu, dan batalnya wudu membuat salatnya tidak sah.

Jabatan Imam salat sangat tinggi kedudukannya dalam agama, melebihi jabatan 
muazzin. Tetapi profesi imam bukan bersifat duniawi, oleh karena itu banyak 
orang justru merasa tidak layak menjadi imam salat jamaah. Para sahabat dulu 
juga tidak berebutan untuk menjadi imam, sebaliknya justru saling 
dorong-mendorong yang lain. Seorang imam salat yang ideal adalah imam yang bisa 
meneladani perilaku Rasulullah dan sahabat model Abu Bakar dan Umar bin 
Khattab. Imam salat adalah teladan bagi makmum, karena semua gerakan imam akan 
diikuti oleh makmum di belakangnya. Karena itu Imam Ghazali membuat bab tentang 
imam dengan judul (al-bab fi al imamah wa al qudwah) Bab tentang keimaman dan 
keteladanan di dalam buku karya utamanya Ihya’.

Sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com

Wassalam,
Agussyafii
------                                                                                                                                          
 Senyum menyambut ramadhan, senyum kemenangan adalah senyum amalia. Yuk, 
berkenan berbagi senyuman dalam sebuah program ‘Senyum Amalia.’ Kegiatan 
program ‘Senyum Amalia’ adalah Obrolan Puasa (Opus), Tadarus, Berbuka Puasa 
Bersama,  Santunan Dan Paket Bingkisan Untuk  Senyum Amalia, akan 
diselenggarakan pada hari Ahad, 30 Agustus 2009 di Rumah Amalia. Kirimkan 
dukungan, komentar dan senyuman anda di http://agussyafii.blogspot.com, 
http://www.facebook.com/agussyafii atau sms di 087 8777 12431





      

Kirim email ke