*Service Excellence: The Moment Of Truth

Service is 1). Tangibilize the intangible, 2). Maintaining the evidence.
Service excellence is exceeding the customer's expectations and paying
attention to detail."*

Setiap perusahaan, organisasi, atau instansi sangat mengidam-idamkan yang
namanya service excellence alias pelayanan prima. Tidak bisa dibantah, di
tengah persaingan dan perkembangan dunia usaha, dunia bisnis, dan dunia
pelayanan publik yang begitu ketat dan semakin "mirip-mirip", salah satu
bentuk strategi unggulan yang paling dikejar adalah service excellence.
Service excellence adalah fungsi competitive advantage yang berlaku permanen
sepanjang masa.

Materi tentang service excellence begitu dalam dan multi dimensi, mencakup
berbagai disiplin ilmu dan metode pendekatan, yang jelas tak bisa diuraikan
satu-persatu di sini. Apa yang saya sharing di bawah ini adalah sekedar
inspirasi, dari kacamata saya selaku trainer, motivator, dan praktisi di
bidang motivasi, komunikasi, entrepreneurship, dan leadership. Semoga
bermanfaat.

Apa yang dimaksud dengan *The Moment of Truth*, adalah outcome atau hasil
akhir dalam bentuk pengalaman-pengalaman nyata dari pihak yang kita sebut
customer atau client. Pengalaman itulah yang secara nyata membuktikan
prima-nya sebuah pelayanan.

Untuk mencapai hasil akhir itu, diperlukan tidak hanya berbagai hal teknis,
sistemik, dan ruwet sebagaimana yang sering kita temui di berbagai institusi
publik, perusahaan swasta, dan organisasi, melainkan juga sebuah cara
pandang yang sangat mendasar mendahului disain dan implementasi service
excellence. Berikut ini semoga bisa menginspirasi Anda.

*Apa Itu Service Excellence?*

Service Excellence adalah "memanusiakan manusia". Organisasi itu benda yang
tidak ada, yang ada adalah kumpulan manusia yang saling berinteraksi dan
saling melayani. Konteks yang paling kental dalam service excellence adalah
"hubungan antar manusia". Setiap strategi, metode, disain, implementasi, dan
operasi service excellence, tidak boleh bergeser dari fokus dan orientasi
pada aspek ini. Dalam konteks pola berpikir, service excellence identik
dengan *"end-user thinking"*. Secara harafiah, service excellence sama
dengan *"melayani lebih dari sekedar pas, dan memberi perhatian kepada
detil."*

*Service Excellence Framework*

Kerangka kerja service excellence meliputi:

1. Membangun komitmen seluruh SDM yang terkait.
2. Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pelayanan.
3. Pengukuran kinerja yang efektif.
4. Membangun komunikasi yang efektif.

*Langkah Awal*

Orientasi awal dari proses membangun sebuah fenomena service excellence -
sebagaimana banyak dianjurkan, adalah menciptakan sebuah tim pelopor
"service excellence team benchmark". Sesuai namanya, tim ini akan menjadi
standar ukur atau benchmark bagi pengembangan keseluruhan strategi service
excellence. Kurang lebih, tim ini adalah project pilot dari keseluruhan
proses perencanaan, disain, dan implementasi service excellence. Anjuran
semacam ini bisa dimaklumi mengingat rumitnya pengelolaan service
excellence, yang notabene adalah kerumitan "mencetak manusia unggul".

*The Clients Model*

Terkait dengan strategi service excellence, pendefinisian atau pendefinisian
ulang tentang siapa itu "klien" adalah keharusan. Sebab, aturan pertama dari
service excellence thinking adalah "mengubah aturan". Perubahan paling
penting yang perlu dilakukan, bukan tidak mungkin adalah menjawab
pertanyaan, "siapakah sebenarnya klien kita?".

*Klien Internal - Klien Eksternal*

Klien bisa dipersepsi sebagai klien internal dan klien eksternal.

Tidak jauh-jauh, klien internal adalah teamwork alias unit-unit kecil yang
terkait dengan proses pelayanan. Lebih jauh, klien internal adalah
keseluruhan SDM yang terlibat di dalam perusahaan, institusi, atau
organisasi. Mengapa pihak-pihak ini juga disebut "klien"? Karena service
excellence adalah tentang "memanusiakan manusia". SDM internal adalah
manusia, dan jelas; juga perlu dilayani. Dengan kacamata ini, maka sebuah
program atau rencana "internal customer service (ICS)" perlu menjadi
pertimbangan. *"The corporation is never be something that we are not"*,
kata Max Dupree dalam "Leadership Is An Art".

Klien eksternal adalah setiap pihak yang berada di luar struktur atau jalur
proses dari operasi bisnis, manajemen perusahaan, atau birokrasi pelayanan
publik. Klien eksternal adalah setiap pihak yang secara langsung atau tidak
langsung menggunakan dan memanfaatkan pelayanan yang diberikan.

*Client - Stakeholder*

Pihak yang disebut dengan klien adalah setiap pihak yang secara langsung
atau tidak langsung menggunakan atau memanfaatkan pelayanan yang diberikan.
Pihak yang disebut stakeholder adalah setiap pihak yang punya interest
tentang bagaimana suatu pelayanan diberikan. Misalnya, otoritas
pemerintahan, otoritas standar, auditor, asosiasi, kamar dagang, lembaga
negara, lembaga konsumen, holding company, brother atau sister company,
subsidiary atau anak perusahaan, vendor dan pemasok, outsource partner, dan
service partner atau berbagai pihak lain yang terkait dalam kerjasama
pelayanan.

*Voluntary - Non Voluntary Client*

Klien juga bisa diposisikan sebagai voluntary client yaitu klien yang secara
sukarela dan punya pilihan dalam menggunakan atau memanfaatkan suatu
pelayanan, atau non voluntary client yaitu klien yang diwajibkan atau
terpaksa menggunakan dan memanfaatkan suatu pelayanan. Voluntary client
banyak terkait dengan dunia swasta, dan non voluntary client banyak terkait
dengan institusi pelayanan publik atau pemerintahan, atau lembaga otoritas
lain di dunia swasta.

Tantangan terbesar biasanya dihadapi oleh institusi pelayanan publik atau
sektor pemerintahan, di mana budaya birokrasi masih berakar kuat, dan
ditimpali dengan aspek "wajib" yang melekat pada klien. Tantangan yang besar
- dan biasanya berat - ini, adalah kombinasi unik dari fenomena penegakan
hukum (law enforcement) dan keterbatasan sumber daya yang harus diwarnai
dengan pelayanan yang prima.

*Direct Service Provider - Service Partner*

Direct service provider adalah unit atau pihak yang secara aktif
mengoperasikan pelayanan yang melakukan kontak secara langsung maupun tidak
langsung dengan klien, dan service partner adalah pihak lain yang terkait
dengan proses pelayanan seperti unit atau institusi yang berbeda, perusahaan
outsource baik vertikal maupun horisontal, perusahaan provider (baik content
maupun infrastruktur), atau pihak, perusahaan, institusi, dan organisasi
lain yang terlibat dalam kerjasama pelayanan, misalnya "model satu atap"
yang belakangan banyak diterapkan.

*Do Not Re-invent The Wheel, Or Maybe...*

Selain benchmark, strategi service excellence juga melibatkan best
practices, yaitu berbagai model atau contoh strategi service excellence yang
diambil dari berbagai unit, organisasi, perusahaan, dan institusi lain yang
telah berhasil menerapkan strategi service excellence. Atau, sebagaimana
yang terjadi pada organisasi, institusi, dan perusahaan yang fenomenal dan
menjadi bagian dari sejarah keberhasilan, menemukan sebuah rumusan unik dari
strategi service excellence yang orisinal, dan sekaligus menjadi contoh best
practice.

*ISO Related Issue*

Sikap urgensi dan reaktif dari berbagai organisasi, perusahaan, atau
institusi yang memunculkan kebutuhan akan sebuah strategi service
excellence, seringkali terkait dengan upaya untuk menjawab pertanyaan,
"bagaimana mempertahankan ISO?"

Di tingkat tertentu, khususnya pada level operasional yang menjadi tulang
punggung dari strategi service excellence, sertifikasi ISO bisa jadi tidak
ditransparansikan sampai ke tingkat yang paling bawah. Jika demikian yang
terjadi, maka upaya mempertahankan ISO adalah sesuatu yang cenderung utopia
bagi sumber daya manusia di level ini. Dampaknya, adalah kerumitan yang
memunculkan kebingungan yang bermuara pada kekakuan operasional atau bahkan
fenomena arogansi, yang justru makin menjauh dari "memanusiakan manusia".

Terkait dengan pertanyaan di atas, perlu ditekankan di sini bahwa
sertifikasi ISO bukanlah sebuah standar, melainkan semata-mata sebuah
pengakuan bahwa seperangkat standar yang dipilih sendiri oleh penerima
sertifikat ISO, adalah benar diterapkan di dalam operasi. Sehingga,
mempertahankan ISO pada dasarnya adalah upaya untuk kembali kepada
standar-standar internal, termasuk berbagai perbaikan dan perubahan
kapabilitas dan kualitas yang diterapkan oleh unit, institusi, organisasi,
atau perusahaan itu sendiri. Singkat cerita: *Do the best!*

Semua inspirasi di atas, adalah titik awal yang baik untuk melanjutkan
strategi service excellence ke tingkat disain, perencanaan teknis, dan
implementasi. Jika fase penting ini dilewatkan begitu saja, maka upaya
mengoperasionalkan strategi service excellence, cenderung akan mengalami
berbagai kendala dan hambatan yang memberatkan. Bukan tidak mungkin,
kesenjangan ini jugalah yang menciptakan fenomena "angin-anginan" terkait
dengan strategi service excellence "a la melayu" sebagaimana yang sering
kita dengar. Padahal, katanya kita ini adalah bangsa melayu yang penuh
ramah-tamah dan manusiawi.

Semoga bermanfaat.
*Ikhwan Sopa*
Master Trainer E.D.A.N.
021-70096855
http://milis-bicara.blogspot.com
http://www.facebook.com/motivasi

Kirim email ke