DARI  SING  MING  HUI  KE  CANDRA  NAYA, 

dari  Gajah  Mada  ke  Jembatan  Besi.

 

            Tahun ini genap 61 tahun  usia Perhimpunan Sosial Candra Naya. 
Jarang ada organisasi Tionghoa yang bisa bertahan lebih dari setengah abad di 
Indonesia.Apalagi setelah berbagai organisasi Tionghoa diberangus pada masa 
pemerintahan Orde Baru. Sungguh luar biasa perjuangan para pengurusnya yang 
berhasil bertahan menghadapi berbagai goncangan politik di negara ini dan 
tarik-menarik berbagai kepentingan  pribadi  di antara para pengurus organisasi 
tersebut. 

            Keberhasilan bertahan Candra Naya hanya dapat dibandingkan dengan 
Yayasan Pendidikan Warga, Solo sebagai metamorfosa dari Tiong Hoa Hwe Koan Solo 
yang dua tahun lalu baru saja merayakan 100 tahun berdirinya organisasi 
tersebut. Seperti juga Yayasan Warga, Candra Naya sampai saat ini masih 
mengelola sekolah, panti asuhan dan berbagai kegiatan lainnya.Hanya sangat 
disayangkan Rumah Sakit Sin Ming Hui (diresmikan oleh Walikota dan Jawatan 
Kesehatan Kota pada 24 Juni 1957) yang dipimpin Dr.Loe Ping Kian yang kemudian 
berganti nama menjadi Rumah Sakit Sumber Waras telah lepas dan menjadi rumah 
sakit yang tidak ada hubungannya dengan organisasi yang mendirikannya.Demikian 
juga dengan Universitas Tarumanagara (Yayasannya didirikan 11 September 1959) 
yang dipimpin Drs.Kwee Hwat Djien telah menjadi universitas yang tidak ada 
kaitannya sama sekali dengan Candra Naya.Malahan dalam usaha memperebutkan  
kedua asset tersebut, kasus ini sampai ke pengadilan dan Mahkamah Agung.

            Sin Ming Hui atau “Perkumpulan Sinar Baru” didirikan atas prakarsa 
beberapa orang Tionghoa yang prihatin dan merasa peduli akan keadaan nasib 
orang Tionghoa yang banyak menderita akibat penjajahan Jepang.

            Dalam sebuah artikel berjudul “Masyarakat Baru Dalam Aliran Baru” 
yang di yang dimuat harian Sin Po 2 Januari 1946, sembilan orang dari harian 
Sin Po dan Keng Po yang menanda-tangani artikel tersebut menyerukan kepada 
pembacanya untuk mendirikan sebuah perkumpulan baru yang akan diberi nama Sin 
Ming Hui. Perkumpulan baru tersebut menunggu calon anggotanya.    

            Seruan tersebut sebagai hasil pertemuan beberapa orang Tionghoa, 
antara lain Thio Tong Hay,Khoe Woen Sioe, Lie Tek Ho, Lay Ie Thong dan Chang 
Ming An. Pertemuan tersebut berlangsung di sebuah ruangan  di lantai dua kantor 
harian Sin Po, Jalam Asemka,Jakarta. Pertemuan kecil ini perlu dicatat dalam 
sejarah perkembangan orang Tionghoa di Indonesia,tidak kalah dengan sejarah 
berdirinya Tiong Hoa Hwe Koan,karena dari pertemuan tersebut lahir sebuah 
organisasi sosial Tionghoa yang kelak memainkan peranan yang sangat penting dan 
besar bagi kehidupan masyarakat Tionghoa terutama di Jakarta dan Bandung. 
Tujuan Sin Ming Hui adalah “bergerak menuju cita-cita dan aliran baru”. 

            Dalam pemilihan pengurus, kriteria yang menentukan pimpinan bukan 
berdasarkan kekayaan yang bersangkutan tetapi kualitas 
pengabdian,kejujuran,tanggung jawab dan integritasnya.Sungguh suatu langkah 
yang maju, mengingat pada pada masa-masa sebelumnya pemimpin orang Tionghoa 
selalu dipilih berdasarkan kekayaannya.

            Sebagai hasil seruan di harian Sin Po tersebut,pada hari Minggu 
pagi 20 Januari 1946, berkumpul 40 orang di sebuah ruang lantai dua harian Sin 
Po untuk meresmikan berdirinya Perkumpulan Sin Ming Hui.

            Pengurus pertama yang dipimpin Khoe Woen Sioe sebagai ketuanya 
ternyata orang-orang nekat,karena mereka memutuskan untuk menyewa gedung 
almarhum Mayor Tionghoa Khouw Kim An yang terletak di Jalan Gajah Mada 188, 
walaupun ongkos sewanya mahal sekali, yaitu f 750.- setiap bulannya, padahal 
jumlah anggotanya baru dua ratus orang saja. Namun ternyata  keputusan ini 
adalah keputusan strategis yang tepat, karena dengan menempati gedung yang 
luas, kegiatan Sin Ming Hui cepat berkembang dan jumlah anggotanya dalam waktu 
singkat mencapai tujuh ribu orang.

            Kemajuan luar biasa yang dicapai Sin Ming Hui disebabkan juga oleh 
situasi masa itu, di mana keamanan sangat buruk, apalagi setelah terjadi 
peristiwa rasialis Tangerang yang menelan korban ratusan orang Tionghoa mati 
terbunuh dan ribuan orang lainnya lari ke Jakarta untuk menjadi pengungsi yang 
sebagian ditampung di gedung Sin Ming Hui. Ketika peristiwa itu terjadi, tidak 
ada seorang Tionghoa pun yang berani pergi ke Tangerang untuk meninjau dan 
memberikan pertolongan, kecuali dua orang anggota Sin Ming Hui bersama seorang 
wartawan dan seorang pegawai Kementerian Penerangan. Tanpa mengenal waktu, 
siang dan malam Sin Ming Hui bekerja memberikan pertolongan kepada para korban 
peristiwa rasialis tersebut.

            Kegiatan pertama yang dilaksanakan pada 1 April 1946, adalah 
membuka poliklinik yang sangat dibutuhkan masyarakat Tionghoa. Demikian juga 
dengan berdirinya seksi Buruh dan Klinik Bantuan Hukum mendorong orang-orang 
Tionghoa di Jakarta  mendaftarkan diri menjadi anggota Sin Ming Hui.

            Pada 15 Juni 1946,Hua Chiao Hsieh Hui Bandung menggabungkan diri 
dengan merubah namanya menjadi Sin Ming Hui Bandung dan berpusat di Jalan 
Braga.Langkah berikutnya untuk memperkokoh organisasi, pada 14 September 1946 
Sin Ming Hui Bandung melakukan fusi dengan Hua Chiao Tsing Nien Hui.

            Tokoh-tokoh Tionghoa yang pernah memimpin dan menjadi pengurus Sin 
Ming Hui antara lain : Khoe Woen Sioe,Mr.Lie Kian Kim,Mr.Liem Tjing Hien,Mr.Oei 
Tjoe Tat,Drs.Khoe Soe Khiam, Mr.Phoa Thian Hian, Mr.Go Tie Siem, Thung Tiong 
Soen,Liem Tjong Tong,Tan Kwie Seng, Go King Liong,Gho Tjeng Kie,Tjhio Jan 
Seng,Ny.Lauw In Nio,Go Gak Cho,Ang Jan Goan,Poey Seng Tjay, Thio Tek Hong, Oei 
Kim Sen,Drs.Kwee Hwat Djien,Mr.Auwjang Peng Koen, Mr.Yap Thiam Hien, Tan Kwat 
In, dan lain-lainnya.

            Masyarakat Tionghoa Jakarta yang tua-tua tentunya masih ingat 
upacara-upacara Sin Cia, Peh Cun dll perayaan tradisi Tionghoa lainnya dengan 
tarian langliong Tjeng Bu Tee Jok Hwee dan barongsay Khoen Lok Siah yang sering 
diselenggarakan Sin Ming Hui secara besar-besaran di gedungnya yang luas. 
Demikian juga dengan fancy fair atau bazaar yang setiap tahun diselenggarakan 
secara meriah dalam rangka fund raising atau merayakan ulang tahun Sin Ming Hui 
dan Hari Kemerdekaan RI. Demikian juga seksi sandiwara yang berhasil 
mementaskan drama “Mawar Hutan” , banyak menarik perhatian masyarakat, 
sampai-sampai diundang Presiden Soekarno untuk mementaskannya di Istana Bogor. 
Para pemainnya antara lain Ivonne Thio,Khoe Wie Hien, Harry Tjan Dhiam Hok dan 
lain-lainnya.

            Namun prestasi yang paling penting dan berhasil adalah di bidang 
pendidikan dan kesehatan. Dimulai dengan mendirikan SD Min Teh disusul dengan 
sekolah Asisten Apoteker  (SAA), kemudian SMP,SMA dan mencapai puncaknya dengan 
mendirikan Universitas Tarumanegara di daerah Grogol.Universitas Tarumanegara 
berkembang dengan pesat dan kini menjadi salah satu universitas swasta yang 
terkenal dengan gedungnya yang modern di Jakarta. 

            Di bidang kesehatan ambisi para pengurus Sin Ming Hui untuk 
mendirikan sebuah rumah sakit modern berhasil diwujudkan, yaitu Rumah Sakit 
Sumber Waras yang sampai sekarang masih berdiri dan beroperasi serta memainkan 
peranan yang penting dalam memberikan layanan medis kepada penduduk Jakarta.

            Pada tahun 1962 sesuai dengan kondisi politik pada masa itu, 
Perkumpulan Sin Ming Hui berganti nama menjadi Perhimpunan Sosial Tjandra Naja 
(Berita Negara RI No.32 tanggal 19 April 1962) yang kemudian disesuaikan dengan 
ejaan baru menjadi Perhimpunan Sosial Candra Naya.

            Setelah tragedi G30S, hampir seluruh organisasi yang dibangun etnis 
Tionghoa di Indonesia  dibubarkan penguasa Orde Baru dan seluruh asetnya dengan 
sewenang-wenang diambil alih tanpa dasar hukum yang jelas,tetapi Candra Naya 
berhasil “selamat” dan tetap eksis sampai sekarang. 

            Namun sangat disayangkan  Candra Naya yang telah berhasil lolos 
dari berbagai huru-hara dan gejolak politik, gagal mempertahankan gedung 
perkumpulannya yang terletak di jalan Gajah Mada 188. Konon dengan bantuan para 
pejabat Orde Baru, gedung bersejarah tersebut berhasil dikuasai konglomerat 
hitam Tionghoa yang secara tidak bertanggung jawab merobohkan gedung yang 
menjadi monumen eksistensi masyarakat Tionghoa Jakarta. Ironisnya,konglomerat 
tersebut  terkena imbas krismon dan proyeknya gagal setengah jalan, sehingga 
apabila kita melintas di muka jalan Gajah Mada 188, suasana suram dan seram 
yang kita lihat menggantikan suasana lembut dan sosial yang sebelumnya 
terpancar dari gedung tersebut.

            Gedung Candra Naya sekarang pindah ke daerah Jembatan Besi, di 
tengah-tengah daerah kumuh, namun yang penting masih tetap eksis ibarat kata 
pepatah “Tak Lapuk disiram hujan, tak lekang dibakar matahari”.

            Dirgahayu Candara Naya !

 

 

Jakarta,28 Maret 2007.

 

Benny G.Setiono

Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Jakarta.


[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Website global http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :.

Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke