Oh bedug!
Saya pernah menggunakan istilah "bedug" sebagai padanan kata"gu"dlm bhs 
tionghoa, dalam menerjemahkan sebuah puisi Tiongkok klasik, waktu itu teman yg 
muslim tdk setuju, katanya bedug sdh melekat dng islam!
Saya memang sengaja memilih "bedug" dibanding "tambur", karena Gu dlm puisi itu 
memang sbg petanda waktu.


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

-----Original Message-----
From: hendri f isnaeni <hendrifisna...@gmail.com>
Sender: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Date: Mon, 30 Aug 2010 20:45:19 
To: <islam-kris...@yahoogroups.com>
Reply-To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Cc: <budaya_tionghua@yahoogroups.com>
Subject: [budaya_tionghua] sejarah bedug: Tak-tak-tak, Dung…

*Ia menjadi penanda awal, sebelum azan, yang mengajak umat Muslim untuk
menunaikan ibadah salat. Tapi keberadaannya pernah diperdebatkan.
*

ABDUL Azis alias Imam Samudra, pelaku Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 yang
sudah dieksekusi mati, pernah merusak bedug masjid di desanya, Kampung
Lopang Gede, Serang, Banten. Dia melakukannya karena menganggap bedug adalah
peninggalan Hindu.

Imam Samudra tak terlalu salah karena tak menganggap bedug sebagai
peninggalan Islam tapi dia kurang tepat menyebutkannya sebagai peninggalan
Hindu. Menurut arkeolog Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono, akar sejarah
bedug sudah dimulai sejak masa prasejarah, tepatnya zaman logam. Saat itu
manusia mengenal nekara dan moko yang terbuat dari perunggu, berbentuk
seperti dandang dan banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Roti,
Leti, Selayar, dan Kepulauan Kei. Fungsinya untuk acara keagamaan, maskawin,
dan upacara minta hujan.

Pada masa Hindu, jumlah bedug masih terbatas dan penyebarannya belum merata
ke berbagai tempat di Jawa. Dalam *Kidung Malat*, pupuh XLIX, disebutkan
bahwa bedug berfungsi sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari
berbagai desa dalam rangka persiapan perang. Kitab sastra berbentuk kidung,
seperti *Kidung Malat*, ditulis pada masa pemerintahan Majapahit.

Saat itu nama “bedug” belum biasa digunakan. Istilah lainnya adalah
“teg-teg”, kelompok membraphone menyerupai bedug. Fungsinya sebagai pemberi
tanda, atau petanda bunyi *(time signal). *“Karena *Kidung Malat* menyebut
bedug dan teg-teg, maka keduanya tentu berlainan. Teg-teg sejenis genderang
dengan ukuran lebih besar daripada bedug,” tulis Dwi Cahyono dalam “Waditra
Bedug dalam Tradisi Jawa (1),” yang dimuat *Kompas*, 24 September 2008. **

Kemudian penjelajah Belanda, Cornelis de Houtman (1595-1597) dalam *D’eeste
Boek* –sebuah catatan pelayaran Belanda yang pertama ke Nusantara*– *mencatat
keberadaan bedug, bonang, gender, dan gong. Houtman menulis bahwa bedug
populer dan tersebar luas di Banten. Di setiap perempatan jalan terdapat
sebuah genderang yang digantung dan dibunyikan dengan tongkat pemukul yang
tergantung di sebelahnya. “Bunyinya menjadi tanda mengenai adanya bahaya,
atau merupakan tanda waktu yang dibunyikan pada pagi hari, tengah hari, atau
tengah malam,” tulis Dwi.

Orang China juga punya andil. Seorang China-Muslim Cheng Ho dan bala
pasukannnya pernah datang sebagai utusan dari maharaja Ming. Dialah yang
mempertunjukkan bedug di Jawa ketika memberi tanda baris-berbaris ke tentara
yang mengiringinya. Konon, ketika Cheng Ho hendak pergi dan memberikan
hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan
suara bedug dari masjid. Sejak itulah bedug menjadi bagian dari masjid
seperti halnya bedug di kuil-kuil di China, Korea dan Jepang, sebagai alat
komunikasi ritual keagamaan.

Keberadaan bedug kemudian dikaitkan dengan Islamisasi yang mulai intensif
dilakukan Walisanga sekitar abad ke-15/16. Bedug ditempatkan di
masjid-masjid. Fungsinya: mengajak umat Islam melaksanakan salat lima waktu.
Ini karena, seperti ditulis Kees van Dijk, “Perubahan Kontur Masjid”, dalam
Peter J.M. Nas dan Martien de Vletter, *Masa Lalu dalam Masa Kini:
Arsitektur di Indonesia*, sebelum abad ke-20* *masjid-masjid di Asia
Tenggara tak memiliki menara untuk mengumandangkan azan. Sebagai gantinya,
masjid-masjid dilengkapi sebuah genderang besar (bedug), yang dipukul
sebelum azan dikumandangkan.

Di sejumlah masjid, bedug diletakkan di beranda atau di lantai atas. Ada
juga yang diberi rumah kecil, terpisah dari masjid. Jika masjid memiliki
gerbang besar, bedug sering diletakkan di atasnya. “Suara bedug, pada waktu
belum ada pengeras suara, lebih nyaring daripada suara manusia, dan menjadi
alat komunikasi yang penting untuk menandai dan merayakan momen-momen
keagamaan,” tulis Dijk.

Masjid juga sering memiliki alat komunikasi lain sebagai teman bedug:
kentongan, kohkol, kerentung, atau ketuk-ketuk, yakni semacam tetabuhan yang
terbuat dari batang kayu. Alat ini, bersama bedug, digunakan untuk
memperingatkan orang-orang sebelum azan berkumandang.

Memukul bedug, lanjut Dijk, sepertinya merupakan tradisi lama. Pada 1659,
ketika Wouter Schouten, seorang dokter kapal Belanda mengunjungi Ternate,
dia mencatat penggunaan bedug untuk memanggil orang-orang datang ke masjid.
Dua tahun kemudian, ketika berada di Banten, dia melihat sebuah bedug dengan
tinggi dan lebar delapan kaki di samping menara masjid. Suaranya terdengar
bermil-mil sampai ke pegunungan.

Selain untuk memberi tahu warga desa atau kampung bahwa waktu salat sudah
tiba, “… pukulan bedug juga menandai awal dan akhir puasa serta hari raya
haji... kebiasaan itu umum berlaku di seluruh pelosok Nusantara,” tulis
Denys Lombard dalam *Nusa Jawa: Silang Budaya 2*.

Belakangan, tak semua umat Muslim di Indonesia menerima kehadiran bedug di
masjid-masjid. Ia akrab dengan warga Nahdlatul Ulama (NU), tapi tidak bagi
kelompok musim Persatuan Islam (Persis) dan Muhammadiyah yang menganggap
bedug bid’ah. Penggunaan bedug tampaknya sempat menjadi perdebatan hangat di
kalangan Islam tradisional dan modernis. NU sendiri, pada Muktamar ke-11 di
Banjarmasin Kalimantan Selatan tahun 1936, kembali mengukuhkan penggunaan
bedug dan kentongan di masjid-masjid karena diperlukan untuk syiar Islam.
Perdebatan itu, selain soal-soal lainnya, masih mengemuka pada 1950-an dan
1960-an.

Ada upaya untuk menjembatani perbedaan yang berkaitan dengan hal semacam itu
tapi tidak sepenuhnya berhasil. Sampai-sampai cendekiawan Nurcholish Madjid,
yang pada 1970-an melontarkan desakralisasi, akhirnya berkesimpulan bahwa
umat Muslim bukan hanya menyucikan bedug tapi sudah sampai menyucikan
organisasi atau partai; partai mereka yang paling benar, paling suci.

Mirisnya, pertentangan itu masih bertahan hingga bertahun-tahun kemudian.
Gara-gara bedug, pada 1987, warga Kampung Gunung Kembang di Tasikmalaya
bersitegang. Seperti ditulis Sofyan Samandawai dalam *Mikung: Bertahan dalam
Himpitan, *warga Persis menyerang praktik penggunaan bedug di masjid-masjid
NU. Sebaliknya warga NU menyerang ijtihad yang dilakukan Persis. Konflik itu
berlanjut hingga 1988, yang kemudian diselesaikan dengan pembagian wilayah
Kampung Gunung Kembang secara administratif.

Perdebatan mengenai bedug mulai mereda sekarang. Peran bedug sudah
tergantikan dengan pengeras suara. Tapi ada sejumlah masjid yang tetap
menabuhkan bedug dan kentongan sebagai pembuka azan. Ia juga dianggap
sebagai praktik budaya dan seni, yang ditabuhkan untuk menyambut bulan
Ramadan dan Idulfitri. *[HENDRI F. ISNAENI]*

*Sumber:
http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-304-taktaktak-dung%E2%80%A6.html
*

*Untuk tulisan-tulisan sejarah lainnya:
http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/home*

*Salam, Redaksi Majalah Historia Online
*

Kirim email ke