Oleh: Hujan

Pernah suatu masa
Ketika matahari begitu dipuja-puja
Semua alam begitu berharap pada sinarnya
Sekalian alam menjadi gelap dengan sirnannya

Masa itu, masa terang benderang, gilang gemilang
Matahari begitu disanjung semua orang
Peduli setan mereka di sahara, atau antartika
Semua punya salam takzim buat yang sama; surya

Pernah suatu masa
Ketika matahari menjadi satu-satunya sumber kekuatan mahluk bumi kita
Sinarnya dibagi rata, yang di timur maupun di barat, di selatan maupun utara, 
semua mendapat porsi, meski ala kadarnya

Suatu masa
Matahari jadi dua
Bukan bayangan cermin, atau pantulan di genangan sisa hujan,
Tapi benar-benar dua, kembar, meski tak identik.

Suatu masa kelak
Matahari pertama hanya akan menjadi dongeng bagi kanak-kanak
Tidak pernah terlihat, dan hanya hidup di dalam ingatan orang-orang yang 
mengenal persis matahari sebenarnya.

Kelak
Meski pada malam hari, manusia tetap bisa merasakan terang benderang, meski 
semua tumbuhan bisa berproduksi tanpa bantuan dan campur tangan matahari, tapi 
kehadirannya akan kembali dinanti-nanti

Suatu masa
Bu guru berkisah pada kami, generasi baru yang lahir dari jiwa-jiwa peragu, 
tentang legenda matahari

Di dalam kisahnya, bu guru berusia 40, menggambarkan wujud matahari; matahari 
itu bundar, warnanya kuning, sepasang matanya terus mengawasi manusia, serta 
bibirnya tersungging membagi sinarnya dengan iklas, tanpa berharap, suatu hari 
ada manusia yang akan membalas.

Suatu malam aku bermimpi
Di dalam mimpi, aku pun menggambar matahari. Tidak seperti yang dikisahkan ibu 
guruku, aku menggambar matahari persis seperti buah dadu.

Hari ini,
Yang kupahami
Matahari hanya satu
Tidak dua, tidak tiga, tidak empat
Tidak lima
Tidak pula enam

Pada siang hari di hari minggu
Dunia tetap gelap
Sebab matahariku ikut bertanggang, menonton piala Eropa di televisi.

Palmerah, 22 Juni 2008


       

Kirim email ke