Oleh : Tia Setiadi* [Minggu, 26 April 2009]<br /><br />

Dalam berhadap-hadapan dengan Barat, intelektual dan sastrawan dunia ketiga 
senantiasa berada dalam posisi taksa. Dari satu sisi Barat menjelma sebagai 
gudang khazanah pengetahuan yang melimpah, dengan tradisi intelegensi dan 
literasi yang kaya dan mengagumkan, yang mesti diserap, ditelisik, dan 
dipelajari. Di sisi lain, Barat juga yang telah mengkoloni dan menjarah 
bangsa-bangsa dunia ketiga, menjadikannya objek untuk diteliti dan dikuasai, 
memberadabkannya dengan cara melucuti kemanusiaannya. Dua wajah Barat yang 
hadir serempak ibarat wajah dewa Janus itulah yang menyebabkan intelektual dan 
sastrawan dunia ketiga berada dalam kegoyahan hubungan antara cinta dan benci, 
antara kagum dan kecewa pada Barat. <br />
<br />

Ketaksaan itu, sikap ambigu itu, seringkali menyuruk menjadi semacam perasaan 
inferior dan terpinggir di hadapan Barat, pusat yang gemerlap, mencorong, dan 
selalu memandang itu. Orhan Pamuk, sastrawan Turki pemenang Nobel 2006, 
mengisahkan dengan plastis perasaan marginal itu, yang merundungnya di 
masa-masa awal dia menulis, dalam kuliah nobelnya yang bertajuk <em>My 
Father\\\'s Suitcase: <br />
 <br />
\"Berkenaan dengan tempat saya di dunia--dalam kehidupan, sebagaimana juga 
dalam sastra, perasaan saya yang paling mendalam adalah bahwa saya \"tidak 
berada di pusat\". Di pusat dunia, ada kehidupan yang jauh lebih kaya dan 
menyenangkan ketimbang kehidupan milik kami sendiri, dan dengan segala yang ada 
di Istanbul, segala yang ada di Turki, saya berada di luar semua itu...Dengan 
pandangan yang sama pula, ada sebuah jagad sastra, dan pusatnya, juga amat jauh 
dari saya. Sebenarnya yang ada di kepala saya adalah Barat, bukan dunia, 
sastra, dan kami orang-orang Turki berada di luar semua itu.\"<br />
<br />

Namun Pamuk tak terus-menerus bertungkus lumus dalam perasaan marginalnya 
terhadap Barat. Dengan disiplin baja dan cinta yang keras kepala Pamuk mencipta 
dunia-dunia baru yang ajaib sekaligus unik, memesona sekaligus menegangkan. 
Selama sepuluh jam saban harinya Pamuk mengunci diri di dalam kamar, berkhalwat 
bersama buku-buku warisan ayahnya yang berjumlah sekitar 1.500 buah, menelaah 
dan membaca, merenung dan menelisik, bermusyawarah atau berselisih dengan 
kata-kata dan ide-ide orang lain, kemudian mengisi lembaran-lembaran kosong di 
hadapannya dengan kata-kata dan gagasan-gagasannya sendiri yang menyihir. Tak 
mengherankan, dalam bentang waktu 30-an tahun meditasinya di kamar itu, 
lahirlah karya-karya yang, bukan hanya mendeskripsi dan menirukan dunia, 
melainkan menjadi saingan dan kembarannya. <br />
<br />

<em>My Name is Red, The White Castle, The New Life, Snow, adalah dunia-dunia 
ciptaan Pamuk yang memurubkan tema-tema pergulatan Islam dan Barat, politik dan 
seni, romantika dan <em>thriller, dengan pusaran kata-kata yang berlapis-lapis 
dan berwarna-warni bagaikan lukisan Melling, dengan ditopang oleh tiang-tiang 
sejarah dan filosofi yang kukuh dan meyakinkan, dan penarasian yang lincah dan 
liar, fantastis, dan tak jarang mengejutkan. <br />
<br />

Ada sebenarnya karya Pamuk yang bukan novel, namun kualitasnya tak kalah 
berkilau dibanding karya-karya novelnya. Karya itu berbentuk memoar, dengan 
tajuk <em>Istanbul. Dalam memoar ini, yang diterakan dengan kalimat-kalimat 
prosa yang tenang dan meditatif, dengan nuansa kemurungan yang berpancaran di 
sana-sini seperti panorama ombak-ombak selat Boshporus, Pamuk berkisah ikhwal 
masa kecil dan masa remajanya, ikhwal keluarganya, ikhwal cinta pertamanya, dan 
lebih dari semua itu, ikhwal pertautan kimiawinya dengan kota yang teramat 
dicintainya, yakni Istanbul. Pamuk mempertentangkan dirinya dengan para penulis 
dunia seperti Joseph Conrad, Vladimir Nabokov, V.S Naipul yang dikenal telah 
berhasil melakukan migrasi antarbahasa, budaya, negara, benua, bahkan 
peradaban. Imajinasi mereka mendapat makanan dari pengasingan, zat gizi yang 
diperoleh bukan melalui akar melainkan dari ketiadaan akar, akan tetapi, tulis 
Pamuk, \"Imajinasi saya menuntut saya untuk tetap tinggal di kota yang sama, di 
jalan yang sama, di rumah yang sama, menatap pemandangan yang sama. Takdir 
Istanbul adalah takdir saya: saya terikat pada kota ini sebab ia telah 
menjadikan saya seperti diri saya sekarang ini.\"<br /><br />

Keintiman Pamuk dengan Istanbul menyebabkannya mampu, bukan sekadar menyusun 
sejarah Istanbul secara kronologis, atau menampilkan kronik-kronik peristiwa 
yang ganjil dan tak galib secara kaledioskopik, melainkan dengan piawai 
mengupas lapisan-lapisan jiwa Istanbul. Adapun jiwa Istanbul, menurut Pamuk, 
termaktub dalam sepatah kata, yakni <em>Huzun. <em>Huzun, bisa diartikan 
sebagai kemurungan atau melankolia. Namun Istambul tidak menanggungkan 
<em>Huzun atau melankolianya itu sebagai suatu penyakit tak terobati yang telah 
menyebar ke seluruh kota, atau sebagai suatu kemiskinan abadi yang harus 
ditanggung seperti duka cita, atau bahkan sebagai suatu kegagalan membingungkan 
yang harus dilihat dalam warna hitam putih. Tidak, Istanbul, ujar Pamuk, 
\"menyandang <em>Huzun dengan penuh kehormatan.\"<br /><br />

Dalam memoar itu Pamuk juga banyak mengisahkan para penulis, penyair, dan 
pelukis yang pernah hidup di Istanbul dan yang menjadikan Istanbul sebagai 
ladang pergulatan dan cahaya inspirasi dalam karyanya, baik yang berasal dari 
Turki seperti Ahmed Rasim, Recat Ekrim Kocu, Hadulem Gnaralid, maupun yang 
berasal dari Barat seperti Flaubert, Melling, Nerval, dan Gautier. Yang menarik 
dari kisah Pamuk tentang mereka adalah bahwa ternyata <em>Huzun tak hanya 
merembes dalam tulisan, puisi atau kanvas mereka, tetapi juga memendar dan 
menyelundup ke dalam lorong biografis hidupnya, ke dalam palung jiwanya. 
<strong>(*)</strong><br /><br />

  <em>*) Tia Setiadi, esais dan penyair, tinggal di Jogjakarta

selengkapnya silakan klik http://www.dinamikaebooks.com/artikel.php

Dinamika Ebooks
http://www.dinamikaebooks.com

Kirim email ke