http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail&id=8786

Sabtu, 16 Juni 2007,



Mbah Zarkasih, Penjual Roti yang Jabat Amir Jamaah Islamiyah 

Bertugas Jaga Stok dan Pengiriman Senpi-Bom
Satu per satu petinggi Jamaah Islamiyah (JI), organisasi teror yang beroperasi 
di Asia Tenggara, dibekuk polisi. Selain Abu Dujana, tokoh lain yang telah 
ditangkap adalah Zarkasih. Pria berambut putih yang akrab dipanggil Mbah itu 
adalah amir darurat JI.

FAROUK ARNAZ, Jakarta

LEWAT rekaman video yang dipancarkan ke layar proyektor, Zarkasih tampak 
berbicara dengan tenang. Sesekali lelaki dengan noda hitam di dahi itu 
berbicara sambil tersenyum. Tak ada kesan bahwa dia adalah pemimpin organisasi 
teror yang paling diburu polisi.

Mengenakan kaus warna biru, di dalam rekaman itu, dia mengaku terus terang 
bahwa dialah pimpinan JI sekarang. "Kawan-kawan yang tersisa menunjuk saya. 
Saya tidak tahu disebut amir atau apa. Pokoknya, saya ketuanya. (Saya dapat 
tugas) untuk mencari sosok pimpinan yang terbaik, baik sisi dakwah maupun 
jihadnya," katanya di Aula Bareskrim, Mabes Polri, kemarin. 

Lelaki kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, 29 Desember 1962, itu mempunyai tujuh 
nama. Selain Zarkasih, ada yang menyebut Zuhroni, Abu Irsad, Nuaim, Oni, 
Zainudin, atau Mbah, panggilan akrabnya. Khusus sebutan terakhir (Mbah, dalam 
bahasa Jawa berarti kakek) ini dikaitkan dengan rambutnya yang sudah banyak 
uban. 

Di kalangan para pemburu pelaku teror (khususnya Densus 88), nama dan wajah 
Zarkasih sudah tidak asing. Fotonya sudah disebar polisi dalam poster-poster 
pasca ledakan bom J.W. Marriott Jakarta lalu. Bedanya, dibanding keadaan 
sekarang, dia kelihatan lebih tua. 

Sebagai buron, Mbah disejajarkan dengan enam buron lain; Abu Dujana, Hasan, 
Rois, Dzulkarnaen, Umar alias Patek, dan Dulmatin. Kepalanya dihargai Rp 500 
juta. Harga ini memang hanya separo dibanding almarhum Dr Azhari (terbunuh 
dalam penggerebekan di Batu) dan Noordin M. Top yang dihargai Rp 1 miliar. 

"Ternyata dia inilah (Zarkasih) yang sejak 2005 duduk sebagai amir alias 
mahshul atau ketua darurat JI, menggantikan Adung yang sudah kita tangkap," 
kata Direktur I Kamtrannas Bareskrim Polri Brigjen Pol Surya Dharma dengan 
suara keras. 

Surya Dharma patut lega. Sebab, saat membekuk kaki tangan Abu Dujana di Jogja 
dan sekitarnya pada 20 Maret lalu, -khususnya ishobah wilayah Semarang Sarwo 
Edhi- polisi tidak mengetahui pucuk pimpinan tertinggi struktur baru JI itu. 
Yang mereka tahu, Sarwo Edhi hanya menyebut bahwa posisi Mbah lebih tinggi 
daripada Abu Dujana. 

"Dia sebagai rujukan. Tapi, posisinya apa, kami tidak tahu hingga penangkapan 
Abu Dujana itu," kata seorang anggota Satgas Bom. Maka, begitu Abu Dujana buka 
mulut, polisi bergerak cepat. Jika Abu Dujana dibekuk di Kebarongan, Banyumas, 
Mbah dibekuk sekitar enam jam kemudian di Ngaglik, Kabupaten Sleman, 
Jogjakarta. "Dia tidak melawan," tambahnya. 

Pengakuan pun meluncur dari bibir Mbah. Pada 1987, misalnya, dia menimba ilmu 
militer di Akademi Militer Saddah di perbatasan Pakistan dan Afghanistan. Dia 
masuk angkatan kelima dan lulus nomor dua di bawah Nasir Abbas, anggota JI yang 
sudah keluar.

"Selama pendidikan, dia cukup dekat dengan saya. Saya sedih mendengar teman 
saya ditangkap polisi. Kemampuan akademisnya cukup bagus. Dia punya jiwa 
kepemimpinan dan wibawa," kata Nasir kepada Jawa Pos tadi malam.

Pada 1998, Mbah mengajar di kamp Hudaibiyah di Mindanao, Filipina Selatan. 
Sebelum duduk sebagai amir JI, Mbah lebih dulu meniti "karir" sebagai ketua 
mantiqi II menggantikan Abu Fatih (buron). Ketika dia menjabat itulah, bom 
meledak di JW Marriott. 

Saat Ustad Andung (lihat grafis di halaman 1) dibekuk polisi di Sukoharjo, 
Solo, pada 2005, untuk mengisi kevakuman kepemimpinan JI, dia dipilih menjadi 
amir darurat. Karena sifatnya darurat, dia juga duduk sebagai ketua Lajnah 
Ikhtiar Lisnabil Amir alias komisi yang terdiri atas para pejabat tinggi untuk 
menyiapkan amir. Belum sempat amir baru terpilih, dia keburu dibekuk polisi.

Lantas, apa saja yang dilakukannya selama dua tahun menjabat? Mbah mengaku 
mengendalikan penyimpanan senjata api dan bahan peledak di Jawa dan Poso, lalu 
mengendalikan lalu lintas pengiriman barang-barang berbahaya itu dari wilayah 
Solo-Jogja-Surabaya-Poso. 

Selain itu, dia mengirimkan Abu Fatih sebagai penanggung jawab operasi di Poso 
dan dr Agus (buron) selaku ketua (mashul) mantiqi khusus Poso. Mbah juga 
menerima uang hasil rampokan Pemda Poso yang dianggap sebagai dana fai serta 
rutin menerima laporan dari Hasanudin (juga sudah tertangkap) sebagai ketua 
wakalah Poso.


Keluarga Raib

Satu ember plastik berisi sepasang sandal dan celana loreng teronggok di depan 
rumah. Lampu di teras rumah belakang dan depan menyala.

Itulah yang tersisa dari rumah kontrakan yang ditempati Zarkasih bersama 
keluarga di Dusun Watugedeg, Desa Donoharjo, Kecamatan, Ngaglik, Kabupaten 
Sleman. Selebihnya, rumah itu tampak kosong. 

Ketika wartawan Radar Jogja (Grup Jawa Pos) menyanggong di rumah itu Rabu lalu, 
salah seorang anggota keluarga Zarkasih mau menemui. Hanya, pria yang enggan 
menyebutkan namanya itu menemui dari balik pintu. "Kalau mau wawancara, 
langsung ke polisi saja. Ibu (istri Zarkasih) masih shock," katanya.

Di rumah kontrakan yang ditempati sejak enam bulan lalu, Zarkasih 
memperkenalkan diri kepada tetangga dengan nama Suharto. Begitu Mabes Polri 
mengumumkan Zarkasih bertempat tinggal di desa itu, semua anggota keluarga 
meninggalkan rumah tersebut. 

Rumah dengan bangunan sekitar 150 meter persegi itu memang jauh dari lingkungan 
perumahan warga sekitar. Lokasinya berada di tengah sawah, barat SMA Negeri 
Ngaglik. Pagar dibuat dari kombinasi tanaman dan bambu. Selain itu, ada tanaman 
tebu dan melinjo yang membuat rumah itu tampak "tertutup". 

Menurut keterangan warga sekitar, keluarga Zarkasih meninggalkan rumah sejak 
Kamis malam. "Kamis lalu ada dua orang mau menitipkan kunci ke saya. Tetapi, 
saya sarankan untuk langsung ke pemilik rumah saja," kata Suyono, 60, tetangga 
Zarkasih.

Suyono mengatakan, Zarkasih atau Suharto menyewa rumah itu sejak enam bulan 
lalu. "Mereka mengaku pindah dari Bantul. Karena trauma gempa, mereka mencari 
kontrakan di sini," tuturnya.

Di rumah itu tinggal dua kepala keluarga. Namun, Suyono hanya mengenal Suharto. 
"Yang satu lagi saya tidak tahu," ucapnya.

Dia tidak menyangka bahwa tetangganya itu salah seorang tersangka teroris yang 
paling dicari polisi. "Ketika pulang dari sawah, saya sering melihat lima atau 
enam orang datang ke rumah Suharto. Tetapi, saya tidak mengetahui siapa 
mereka," jelasnya.

Para tetangga mengenal Suharto sebagai penjual roti cokelat. "Dia kalau keluar 
rumah selalu pakai topi atau peci," tuturnya.

Menurut Suyono, Suharto relatif jarang keluar rumah. Dia hanya sesekali keluar. 
Salah satu di antaranya pernah menghadiri acara tahlilan tetangga yang 
meninggal. "Saat Idul Adha lalu, dia menyembelih kambing bersama kelompoknya. 
Padahal, kampung sini juga menyelenggarakan kurban. Saya sempat dikasih daging 
kurban," kata Suyono. (Oto Pranyoto melengkapi laporan ini dari Jogja.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke