SUARA MERDEKA
Sabtu, 30 Juni 2007

78% Siswa Tidak Siap Belajar 
Oleh Gunarso 


HASIL maksimal dalam pembelajaran di sekolah tidak hanya ditentukan oleh 
kualitas guru, daya dukung materi, dan kondisi sekolah. Faktor gizi dan cacing 
pun ternyata ikut bicara dan memberikan pengaruh!

Temuan soal betapa besarnya peran gizi dan cacing dalam proses pembelajaran itu 
dilontarkan oleh Wakil Kepala Dinas Pendidikan dan Kabudayaan Jawa Tengah, 
Gatot Bambang Hastowo, dalam Lokakarya Sehari tentang Pengembangan Pelaksanaan 
Program Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA) di Semarang, Kamis (28/6) lalu.

Dalam forum itu, Gatot menyatakan bahwa tinggi-rendahnya mutu pendidikan 
dipengaruhi oleh banyak hal. Kesiapan siswa dalam menerima pembelajaran 
termasuk salah satunya. Repotnya, ketika menerima proses pembelajaran tersebut, 
separo pelajar di Jateng ternyata memiliki tingkat kesiapan rendah. 
Penyebabnya, 28% karena kekurangan gizi dan 50% lainnya akibat menderita 
cacingan. 

Tahun 2007 ini, total jumlah pelajar di Jawa Tengah mencapai 6.320.120 orang, 
dengan rincian 3.937.500 anak SD, 1.502.198 siswa SMP dan 880.428 pelajar SMA. 
Jika separo dari angka itu menderita cacingan, maka jumlahnya mencapai lebih 
dari 3,16 juta siswa. Sementara yang kurang gizi lebih dari seperempatnya, atau 
di atas 1,6 juta siswa. 

Rendahnya kesiapan siswa dalam menerima pembelajaran ini membuat mereka 
kesulitan menangkap apa yang disampaikan guru. Tidak semua materi yang 
disampaikan oleh guru bisa mereka cerna. Ini membuat pembelajaran yang 
berlangsung tidak membawa hasil maksimal. 

Sebagai dampak, salah satunya adalah angka ketidaklulusan dalam ujian nasional 
(UN) masih tetap tinggi. Tahun ini misalnya, angka ketidaklulusan di Jateng 
masih mencapai 11,32% untuk SMP/MTs. Rinciannya, dari 495.381 siswa yang ikut 
ujian hanya 438.328 yang lulus. Sebanyak 56.053 harus mengulang atau mengikuti 
ujian Paket B jika ingin melanjutkan sekolah ke jenjang SMA/SMK.

Memang, ketidaklulusan tidak sepenuhnya karena faktor kurang gizi dan serangan 
cacing, namun -seperti diungkapkan oleh Gatot Bambang Hastowo tadi, dua 
persoalan tersebut ikut berpengaruh. 

Zat Besi

Gizi amat berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran. Ini harus disadari penuh 
oleh orang tua, guru, dan siswa itu sendiri. Ketidakmengertian akan pentingnya 
gizi bisa berdampak jelek. Anak tanpa asupan gizi cukup, sulit untuk tumbuh 
sehat dan cerdas.

Banyak zat gizi dibutuhkan oleh siswa agar bisa berkonsentrasi dalam menjalani 
proses pembelajaran. Salah satu di antaranya adalah zat besi. Asupan zat besi 
sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan kecerdasan. Kekurangan zat besi akan 
memicu timbulnya anemia, yakni kondisi di mana kadar hemoglobin (Hb) dalam 
darah menjadi kurang normal.

Hemoglobin berfungsi sebagai pengangkut oksigen dalam darah. Karena itu, ketika 
kadar Hb-nya rendah, sirkulasi oksigen terganggu. Dampak yang timbul pada siswa 
penderita anemia gizi besi adalah lesu, lemah, pucat, daya tahan tubuh menurun, 
konsentrasi belajar rendah, kemampuan berpikir kurang, mudah lupa, gampang 
mengantuk, dan tidak bergairah. Dalam jangka panjang, anemia bahkan bisa 
mengakibatkan kerusakan pada sel otak secara permanen. Sel-sel otak yang sudah 
rusak tidak bisa dipulihkan kembali. 

Di Indonesia, persentase penderita anemia defisiensi besi memang masih besar. 
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2006, prevalensi anemia pada 
anak balita diperkirakan mencapai 337 per 1.000 anak laki-laki dan 492 per 
1.000 anak perempuan. Usia 5-14 tahun mencakup 428 per 1.000 anak lelaki dan 
492 per 1.000 anak perempuan. 

Kekurangan zat besi bisa terjadi bila kandungannya dalam makanan; seperti 
daging, ikan, telur, hati, sayuran hijau tua dan kacang-kacangan yang 
dikonsumsi oleh siswa tidak mencukupi. Tahu dan tempe yang harganya murah pun 
kaya akan gizi besi. Tiap 100 gram tahu atau tempe mengandung 2,5 mg gizi besi 
yang penting untuk membangun kecerdasan dan kesehatan. Kacang-kacangan juga 
punya gizi besi besar, yakni sekitar 5 mg dari tiap 100 gramnya. 

Bukan hanya kebiasaan makan siswa di rumah yang berpengaruh terhadap kesiapan 
dalam proses pembelajaran. Kesukaan siswa akan jajanan sekolah pun bisa 
berpengaruh. Soalnya, banyak jajanan yang tidak sehat. Pada tahun 2006, Balai 
Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Semarang menemukan fakta bahwa sebagian 
besar jajanan sekolah di daerah Jawa Tengah mutunya buruk. Jajanan-jananan itu 
tidak memenuhi syarat konsumsi karena mengandung angka lempeng total (ATL) 
32,72%, sakarin (29,01%), MPN coliform (16,5%), siklamat (24,69%), rhodamin B 
(8,64%), dan formalin (3,09%). Semua jenis campuran itu berbahaya jika 
dikonsumsi.

Saat ini, pendidikan telah semakin maju. Persaingan antarsiswa pun kian ketat. 
Tuntutan terhadap mereka untuk berprestasi juga sangat besar. Karena itu, 
anak-anak membutuhkan konsentrasi tinggi untuk bisa menjawab 
tantangan-tantangan itu. Masalahnya, jika siswa lemah, mudah lupa, tidak 
bergairah, dan sulit berkonsentrasi karena menderita anemia gizi besi, 
bagaimana akan mewujudkan itu semua?

Ada banyak cara mengatasi siswa yang kurang gizi ini. Namun cara terbaik adalah 
meningkatkan konsumsi makanan bergizi, terutama yang banyak mengandung zat 
besi. Tidak harus selalu memberikan menu makanan mahal kepada mereka, karena 
gizi tidak hanya ada di makanan mahal. Banyak produk makanan murah khas 
Indonesia yang terbukti memiliki gizi besar, seperti tempe dan tahu. Yang 
penting adalah cara kita mengolahnya agar yang murah itu tak membosankan.(11)

--- Gunarso, wartawan Suara Merdeka di Semarang


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke