KOMPAS Kamis, 06 September 2007 peluncuran roket Orang Biak Dapat Apa?
Aryo Wisanggeni Genthong Hari Kamis ini Presiden Rusia Vladimir Putin berkunjung ke Indonesia selama 20 jam. Rencananya, ia akan menandatangani perjanjian pengembangan Bandar Udara Frans Kaisiepo, Biak, Papua, sebagai tempat peluncuran roket atau air launch system/ALS. Pertanyaannya, bagi masyarakat Biak, apakah kerja sama itu memberikan manfaat atau tidak? Rabu (5/9) sore langit mulai merah ketika sirene keras menelan suara deburan ombak pantai Kampung Ambroben. Beberapa gadis yang sedang mencuci ikan tangkapan di pantai terlihat masih bersenda gurau, tetapi suara mereka tenggelam oleh lengkingan sirene Bandar Udara Frans Kaisiepo. "Itu tanda peringatan ada pesawat mau mendarat. (Juga) peringatan agar orang tidak melintasi landas pacu," kata tokoh wilayah adat Swapodibo, Mananuir Yan Pieter Yarangga. Tak berapa lama kemudian memang terdengar deru mesin pesawat di langit di atas rumah Yarangga yang berjarak sekitar 500 meter dari bandara. Belakangan, bandara yang dibangun tentara Jepang tahun 1943 itu kembali menarik perhatian. Setelah lama tidak terdengar, rencana pembangunan ALS Rusia dari bandara itu bergaung lagi. Bahkan, perjanjian untuk itu akan ditandatangani Presiden Putin Jumat besok. Sayangnya, masyarakat di wilayah adat Swapodibo justru gundah. Pasalnya, Bandara Frans Kaisiepo secara adat merupakan bagian dari tanah ulayat Swapodibo. Terdapat enam marga yang secara bersama-sama memiliki tanah ulayat itu, yakni Rumaropen, Wakum, Ronsumre, Rumbiak, Simopieref, dan Yarangga. "Kami selaku pemilik ulayat tidak pernah diajak bicara soal ALS. Tanah kami dirampas Jepang ketika mereka membangun lapangan terbang pada 1943. Ketika Belanda kembali menguasai Biak, Belanda mengambil alih lapangan terbang itu. Setelah Penentuan Pendapat Rakyat, Pemerintah RI mengambil alih lagi lapangan terbang itu dan secara sepihak menerbitkan sertifikat Bandara Frans Kaisiepo pada tahun 1996. Kini lapangan terbang itu akan menjadi pusat bisnis peluncuran satelit dan kembali lagi, posisi kami selaku pemegang ulayat dalam bisnis itu tidak jelas," kata Yarangga. Yarangga bisa membayangkan betapa hiruk-pikuknya jika ALS benar-benar terwujud. "Pertumbuhan ekonomi dan peluang bisnis pasti muncul dengan adanya ALS, tetapi saya belum bisa membayangkan apa manfaat ALS bagi kami, para penduduk lokal dan pemilik tanah ulayat," katanya. "Data Papua dalam Angka 2006" menyebutkan, hingga tahun 2004 sekitar 50.400 jiwa penduduk Kabupaten Biak Numfor tergolong miskin dan miskin absolut. "Sebagian besar penduduk asli Biak adalah nelayan yang mengandalkan pendapatan tambahan dari menjual kelebihan ikan tangkapan mereka. Berbisnis mereka belum mampu. Jadi, saya belum percaya bahwa orang Biak akan mampu memanfaatkan peluang yang timbul dari keberadaan ALS," kata Yarangga. Pertanyaan besar pun muncul, apakah benar ALS adalah jalan bagi 50.400 penduduk miskin di Biak untuk mengangkat kesejahteraan mereka? Posisi strategis Dalam artikelnya berjudul "Rusia Incar Biak" (Kompas, 19/12/2005) Moch S Hendrowijono menyebut dua modal Biak untuk menangguk keuntungan miliaran rupiah bisnis peluncuran satelit, yaitu dekat garis khatulistiwa dan dekat laut. Letak geografis Bandara Frans Kaisiepo di 01°11'31'' Lintang Selatan dan 136°06'36'' Bujur Timur membuatnya dekat dengan garis khatulistiwa-garis imajiner yang menjadi lokasi orbit satelit-sekaligus dekat Samudra Pasifik. "Posisi kami memberikan banyak keunggulan untuk bersaing dalam bisnis peluncuran satelit. Biaya peluncuran satelit dari Cape Kennedy, AS, mencapai 35.000 dollar AS per kilogram bobot yang diluncurkan, sementara biaya peluncuran satelit dari Biak hanya 3.500 dollar AS per kilogram," kata Bupati Biak Numfor Yusuf M Maryen. Biak adalah pulau yang seluruhnya berupa karang sehingga menggali tanah di Biak, untuk bercocok tanam, misalnya, adalah pekerjaan yang sangat berat. Akan tetapi, dari kacamata penerbangan, kerasnya karang justru modal berharga yang menjadikan 3.570 meter landasan pacu Bandara Frans Kaisiepo sebagai salah satu landasan pacu terkuat di Indonesia. "Landasan pacu itu tidak pernah dilapis ulang sejak tahun 1961. Kerasnya karang membuat landasan pacu itu tidak pernah rusak. Landasan pacu itu mampu menahan sampai 400 ton lebih," kata General Manager Bandara Frans Kaisiepo Purwanto. Sebagai sistem peluncur satelit dari pesawat terbang, ALS memang membutuhkan landasan pacu yang kuat. Dengan sistem ALS, satelit tidak akan dibawa pesawat ulang alik yang meluncur dari Bumi dengan posisi vertikal, sebagaimana peluncuran pesawat ulang alik di Cape Kennedy. Satelit akan diorbitkan roket yang diluncurkan dari udara, setelah sebelumnya roket itu diterbangkan pesawat Antonov An-124 100AL menuju Samudra Pasifik, 600 kilometer arah utara Biak. Di ketinggian 11.000 meter di atas permukaan laut, roket dilontarkan dari pesawat, kemudian meluncur menuju orbit satelit. Asisten Manajer Personalia dan Umum Bandara Frans Kaisiepo Andy Bakker menjelaskan, bobot mati Antonov An-124 100AL 175 ton, sedangkan bobot roket peluncur satelit diperkirakan 120 ton. Tidak heran jika Yusuf M Maryen menilai karang Pulau Biak yang keras itu adalah anugerah bagi 99.798 penduduk kabupaten seluas 2.360 kilometer persegi itu. "Tuhan tidak memberi kami mineral untuk ditambang, tetapi memberi kami posisi yang strategis. Juga tanah yang keras dan kuat," kata Maryen. Bayangan keuntungan pun ada di depan mata. "Secara nonfinansial, anak-anak kami akan melihat sendiri penerapan teknologi angkasa dan antariksa di Biak. Secara finansial, kami mengharapkan royalti dari keuntungan bisnis peluncuran satelit itu. Selain itu, meningkatnya arus barang dan jasa di Biak juga menguntungkan masyarakat," kata Maryen. Yarangga lebih hati-hati. "Ini proyek skala internasional. Jadi, harus ada penjelasan yang utuh apa jaminan keuntungan bagi masyarakat lokal jika proyek itu dilanjutkan. Apa posisi kami selaku pemegang ulayat? Ikut menjadi pemegang saham atau terpinggirkan begitu saja. Apakah anak-anak kami menjadi bagian sesungguhnya dari kegiatan itu atau hanya menonton?"